Rabu 3 Jumadits Tsani 1446 - 4 Desember 2024
Indonesian

APAKAH MALAS TERMASUK MAKSIAT

114489

Tanggal Tayang : 08-01-2012

Penampilan-penampilan : 66833

Pertanyaan

Bagaimana cara kita menggabungkan ungkapan kita ‘Kalau seorang muslim (imannya) tidak bertambah, maka dia akan berkurang' dengan ungkapan bahwa ' Seorang muslim kadang mengalama futur (malas) dalam ketaatan.' Apakah malas termasuk maksiat? Kalau dia meninggal dunia dalam kondisi malas, apakah termasuk seperti orang yang bersungguh-sungguh beramal, namun mengakhiri hidupnya dalam keadaan buruk (su'ul khatimah)?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Futur adalah kemalasan dan berleha-leha setelah semangat dan giat. Tidak diragukan lagi, hal itu merupakan penyakit pada diri seseorang pada suatu waktu. Baik dalam masalah agama atau urusan dunia. Hal itu merupakan tabiat yang Allah telah ciptakan. Setiap orang muslim –bahkan setiap manusia- di dapatkan pada dirinya semangat dalam beribadah, berakhlak nan mulia dan (semangat) dalam mencari ilmu dan berdakwah. Kemudian setelah berjalan beberapa waktu, ditimpa kemalasan. Sehingga semangatnya melemah untuk melakukan kebaikan yang telah dilakukannya beralih pada kemalasan dan  ingin istirahat. Setiap orang sesuai dengan kemalasannya akan diperhitungkan. Barangsiapa yang ketika malas sampai meninggalkan kewajiban dan jatuh ke sesuatu yang diharamkan, maka dia dalam bahaya besar. Maka kemalasannya menjadi suatu kemaksiatan, harus dikhawatirkan sampai pada suul khatimah. Kami momohon kepada Allah kebaikan.

Sedangkan jika malas melaksanakan keutaman dan sunnah, tapi  dia tetap menjaga kewajiban, menjauhi dosa besar dan sesuatu yang diharamkan, hanya saja waktu melakukannya (kebaikan) berkurang   seperti dalam mencari ilmu, qiyamul lail dan membaca Al-Qur’an. Maka kemalasannya seperti itu diharapkan hanya sesaat saja, semoga selesai dalam waktu dekat insyaallah. Akan tetapi memerlukan sedikit cara yang bijaksana dalam mengobatinya. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat Abdullah bin Amr radhiallahu’anhuma, dia berkata:

ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالٌ يَجْتَهِدُونَ فِي الْعِبَادَةِ اجْتِهَادًا شَدِيدًا فَقَالَ : ( تِلْكَ ضَرَاوَةُ الْإِسْلَامِ وَشِرَّتُهُ ؛ وَلِكُلِّ ضَرَاوَةٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ ، فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى اقْتِصَادٍ وَسُنَّةٍ : فَلِأُمٍّ مَا هُوَ ، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى الْمَعَاصِي : فَذَلِكَ الْهَالِكُ ) رواه أحمد (2/165) وحسنه الألباني في "السلسلة الصحيحة" (رقم/2850)

“Diceritakan kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam tentang orang-orang yang sangat semangat sekali dalam beribadah,  maka beliau berkata, "Itulah puncak semangat (pengamalan) Islam dan kesungguhannya. Setiap setiap semangat akan mencapai puncaknya, dan setiap puncaknya akan ada masa kemalasan. Barangsiapa yang waktu malasnya dalam batas wajar dan tetap dalam sunnah, maka dia telah menempuh jalan yang lurus. Dan barangsiapa yang kemalasannya melakukan kemaksiatan, maka itulah yang celaka.’ (HR. Ahmad, 2/165. Dihasankah oleh Al-Albany dalam kitab As-Silsilah As-Shahihah, no. 2850)

Ungkapan ‘Faliammin ma huwa’ adalah bisa kembali di waktu kemalasannya kepada asal yang agung yakni (sesuai dengan) sunnah. Atau ia dalam kondisi di jalan yang lurus selagi masih berpegang teguh dengan Al-Kitab dan Sunnah. Dalam sebagian redaksi lain dikatakan, ‘Faqad aflaha (sungguh dia telah beruntung)’.

Abu Abdurrahman As-Sulami rahimahullah berkata:

“Di antara aibnya –jiwa – adalah kemalasan yang menimpanya dalam hak-hak yang sebelumnya dilakukannya. Yang lebih aib lagi adalah orang yang tidak memperhatikan kekurangan dan kemalasannya. Yang lebih aib lagi, orang yang tidak tahu kemalasan dan kekurangannya. Kemudian yang lebih aib lagi, adalah orang yang menyangka bahwa dia semangat padahal dalam kondisi malas dan kurang. Ini adalah sikap kurang bersyukur ketika mendapatkan taufiq dalam melaksanakan hak-hak. Karena kurang bersyukur, maka semangat dialihkan menjadi kurang beremangat. Dia menutupi kekuarangannya dan menyangka baik keburukannya.

Allah Ta’ala berfirman,

"Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ?" (QS. Fathir: 8)

Agar terhindar  dari itu semua adalah dengan mengharap kepada Allah Ta’ala, senantiasa mengingat-Nya, membaca Kitab-Nya, mengagungkan kemuliaan orang-orang Islam dan meminta didoakan oleh para wali Allah (orang bertakwa) agar dikembalikan kepada kondisi semula. Semoga Allah memberikan kenikmatan dibuka baginya jalan untuk berbakti dan dalam ketaatanNya.(Uyubun-Nafsi, hal. 8)

Seorang muslim yang menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, menjauhi larangan-laranganNya, dia dalam kondisi kebaikan insyaallah. Kalau malaikat pencabut nyawa datang sementara dia dalam kondisi seperti itu, maka kabar gembira dengan mendapatkan keutamaan dan rahmat Allah. Cukuplah dalam hatinya ada kalimat tauhid dengan merealisasikan dalam perbuatannya.

Adapun tentang riwayat  dari Syaqiq bin Abdullah rahimahullah yang berkata, "Abdullah bin Mas’ud menderita sakit, maka kami menjenguknya. Kemudian dia menangis dan mengeluh sambil berkata, ‘Sesungguhnya saya tidak menangis karena sakit. Karena saya mendengar Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam bersabda: ‘Sakit itu sebagai penebus dosa.’ Sesunggunya saya menangis karena saya (sakit) dalam kondisi malas, bukan dalam kondisi semangat. Karena seorang hamba ditulis pahalanya ketika sakit, sama pahalanya ketika dia beramal saat sehat, namun kali ini terhalang oleh sakit.’ Dinukil oleh Ibnu Atsir dalam kitab ‘Jamiul Usul’ karangan Razin.

Riwayat tersebut tidak dapat ditafsirkan bahwa kalau dia meninggal dunia dalam kondisi malas artinya meninggal dalam kondisi suul khatimah. Cuma saja dia ingin berada dalam kondisi sempurna dan berupaya agar selalu dalam kondisi terbaik. Akan tetapi tidak setiap muslim dimudahkan meniggal dunia dalam kondisi yang dia inginkan. Yang penting adalah Allah telah memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mendapatkan pahala dan kebaikan dalam firmanNya:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ  (سورة  البقرة: 277)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 277)

Dan firman Allah lainnya:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (سورة الأحقاف: 13-14)

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-Ahqaf: 13-14)

Ibnu Qayim rahimahullah berkata: “Pergantian kondisi bagi pelaku (amalan) adalah merupakan suatu kelaziman. Barangsiapa yang waktu malasnya itu ke lebih dekat pada kebenaran, tidak keluar dari kewajiban, dan tidak masuk dalam ranah yang diharamkan, ada harapan dia cepat kembali kepada kebaikan sebagaimana yang lalu."

Umar bin Khattab radhiallahu’anhu berkata, ‘Sesungguh dalam hati ini ada kondisi menerima dan menolak. Kalau sedang menerima maka manfaatkan dengan menunaikan yang sunnah-sunnah. Kalau sedang menolak, maka konsistenlah dengan kewajiban-kewajiban. Dalam kondisi malas, mendung dan tertutup (hatinya)  yang mana pelakunya mendapatkan hikmah yang tidak diketahui perinciannya melainkan Allah. Dari sini diketahui mana yang jujur dan mana yang bohong. Pembohong akan terbalik dan kembali ke belakang serta  kegagalan dalam tabiat dan hawa nafsunya. Sementara orang yang jujur menunggu pertolongan dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Dia menghempaskan dirinya  di depan pintu ampunan dalam kondisi mengaduh, merendah, miskin serta merasa kekurangan. Bagaikan bejana kosong yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Menunggu pemilik bejana dan pembuatnya menaruh sesuatu yang dapat memperbaikinya. Bukan disebabkan oleh seorang hamba –meskipun rasa kekurangan ini merupkan sebab terbesar- akan tetapi ia bukan dari anda, akan tetapi Dia-lah yang akan memberikan kenikmatan kepada anda, melepaskan dari anda serta mengosongkan dari anda. Dia yang menghalangi antara seseorang dan hatinya. Kalau anda telah melihat dalam kondisi dan posisi seperti ini, maka ketahuilah bahwa Dia akan mengisi bejana anda. Kalau hati tidak ditempatkan dalam posisi seperti ini, ketahuilah ini adalah hati yang kosong. Maka mohonlah kepada kepada Tuhannya dan Yang diantara jemariNya agar mengembalikan anda, mengumpulkan yang berserakan dari anda.

Sungguh apa yang diungkapan seseorang, "Jika anda meletakkan hati bukan pada tempatnya  dan  tanpa bejana, maka ia adalah hati yang hilang."

Madarijus As-Salikin, 3/126.

Tidak ada kontradiksi antara posisi orang yang terhalang mencapai kesempurnaan dengan orang yang terkena kemalasan, dari dua sisi;

1. Bahwa orang mukmin, kemalasannya itu sedikit dan terjaga. Diharapakan setelah itu dapat kembali menjadi lebih semangat dalam kebaikan. Lebih menjaga untuk mendapatkan pahala. Sehingga dapat mengganti yang hilang kepada derajat yang lebih tinggi dan menggapai sebab kesempurnaan.

2. Jika masih ada perbedaan di antara orang-orang mukmin yang masih malas sebagian, dan sebagian lainnya telah semangat, maka itu adalah keutamaan yang Allah Ta’ala berikan untuk membedakaan di antara derajat orang mukmin di surga.

Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata:

“Menyia-nyiakan waktu yang benar menggiring anda pada lembah kekurangan. Jika seseorang menyia-nyiakan waktunya, maka dia tidak sedang berdiri di tempantnya, tapi sedang turun ke derajat yang lebih rendah. Kalau tidak ke depan, maka dia pasti ke belakang. Seorang hamba pasti berjalan tidak berhenti. Mungkin ke atas, atau ke bawah, ke depan atau ke belakang. Tidak ada dalam tabiat maupun dalam syariat sesuatu yang sifatnya diam. Seluruhnya tak lain hanyalah fase-fase yang berjalan cepat. Baik ke surga atau ke neraka. Maka ada yang cepat ada yang lambat. Di depan dan di belakang. Tidak ada yang berhenti di jalan. Akan tetapi berbeda kecepatan perjalanannya, ada yang cepat ada yang lambat.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهَا لإِحْدَى الْكُبَرِ . نَذِيرًا لِّلْبَشَرِ . لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ   (سورة المدثر: 35-37)

“Sesungguhnya Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur." (QS. Al-Mudatsir: 35-37)

Di sana tidak disebutkan diam di tempat. Karena tidak ada tempat di antara surga dan neraka. Tidak ada jalan sama sekali bagi yang melalui selain dua jalur. Barangsiapa yang tidak maju dengan amalan saleh ini, maka dia akan mundur dengan amalan buruk. Kalau anda mengatakan, setiap orang yang semangat dalam mencari sesuatu, dia akan terkena kemalasan kemudian bangkit untuk mencarinya lagi? Saya katakan, hal itu merupakan suatu keharusan.

Akan tetapi orang yang malas ada dua kondisi. Mungkin dia berhenti menahan diri, dan mempersiapkan untuk berjalan. Ini adalah pemberhentian dalam perjalanan, tidak merusak dalam berhenti. Karena setiap amalan ada waktu semangat, dan ketika semangat ada waktu kemalasan. Kemungkinan berhenti karena ada seruan dari belakang, ada yang menyeret dari belakang. Kalau dia ikuti, maka pasti ke belakang. Kalau Allah menolong dengan rahmat-Nya dan melihat atas ketertinggalannya, maka dia bangkit dengan kebangkitan orang marah dan menyesali keterputusasaan, dan meloncat serta berjalan cepat agar bergabung kembali dengan rombongan.

Tapi kalau dia terlena dengan mengikuti penyeru di kebelakangnya. Tidak rela dikembalikan ke kondisi semula. Tetap dalam kondisi lengah dan mengikuti seruan hawa nafsu sehingga menjerumuskan ke kondisi yang lebih buruk, meluncur ke bawah. Maka jatuhlah dalam jurang yang sangat rendah. Terkena penyakit. Maka (kondisi seperti) itu lebih berbahaya dan lebih sulit.

Kesimpulannya,   jika hamba ini mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala, Dia akan menyelamatkannya  dari tangan musuhnya agar terlepas darinya. Tapi kalau tidak, maka dia akan terus ke belakang sampai meninggal dunia. Berjalan ke belakang serta memalingkan punggungnya. Maka tiada kekuatan melainkan dari Allah. Dan yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah.”

(Madarijus Salikin, 1/ 267-268. Silahkan lihat soal jawab no. 47565, 20059)

Wallahu’alam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam