Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Hukum Melakukan Perayaan Hari Ketujuh (Sabuu’) Bagi Bayi Yang Baru Lahir Seperti Kebiasaan Banyak Orang

131939

Tanggal Tayang : 14-01-2015

Penampilan-penampilan : 11478

Pertanyaan

Saya ingin mengetahui tentang hukumnya merayakan yang dikenal orang sebagai “Sabuu” ?, Apakah perbuatan teresebut diharamkan atau tidak ?, yang saya ketahui pada hari ke tujuh seorang bayi ada aqiqah, dicukur rambutnya dan bersedekah perak sesuai dengan berat rambut tersebut. Ada acara lain seperti memberi hadiah dan hidangan sabuu` apakah hal itu juga haram ?, dan jika sabuu` hukumnya haram, sedangkan keluarga saya merayakannya, apakah saya berdosa meskipun saya sudah menasehati mereka, apa yang seharusnya dilakukan pada kondisi seperti itu ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Yang disunnahkan bagi seorang bayi yang baru dilahirkan, disembelihkan hewan aqiqah pada hari ke tujuhnya, bagi anak laki-laki dua ekor kambing dan bagi anak perempuan satu ekor kambing, diberi nama dan dicukur rambutnya, dan bersedekah perak seberat timbangan rambut tersebut.

Abu Daud telah meriwayatkan (2838) dari Samrah bin Jundub –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

)كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى) صححه الألباني في "صحيح أبي داود" .

“Setiap anak akan tergadai dengan aqiqahnya, maka disembelihkan pada hari ketujuhnya, dan mencukur rambutnya”. (Dishahihkan Al Baani dalam Shahih Abu Daud )

Imam Ahmad (26642) juga telah meriwayatkan dari Abu Rafi` -radhiyallahu ‘anu- berkata:

(لَمَّا وَلَدَتْ فَاطِمَةُ حَسَنًا قَالَتْ أَلَا أَعُقُّ عَنْ ابْنِي بِدَمٍ؟ قَالَ لَا وَلَكِنْ احْلِقِي رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِي بِوَزْنِ شَعْرِهِ مِنْ فِضَّةٍ عَلَى الْمَسَاكِينِ وَالْأَوْفَاضِ . وَكَانَ الْأَوْفَاضُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجِينَ فِي الْمَسْجِدِ أَوْ فِي الصُّفَّةِ . فَفَعَلْتُ ذَلِكَ ، قَالَتْ : فَلَمَّا وَلَدْتُ حُسَيْنًا فَعَلْتُ مِثْلَ ذَلِكَ) حسنه الألباني في "الإرواء" (4/402-403) .

“Pada saat Fatimah melahirkan Hasan ia berkata: “Tidakkah saya menyembelihkan hewan aqiqah untuknya ?, beliau bersabda: “Tidak, akan tetapi cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat rambutnya tersebut kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang lemah/fakir. Orang-orang fakir pada zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah orang-orang yang membutuhkan yang berada di masjid atau di teras masjid. Maka saya pun melakukannya. Aisyah berkata: “Ketika saya melahirkan Husain, saya juga melakukan hal yang serupa”. (Dihasankan oleh Tirmidzi dalam al Irwa’: 4/402-403)

Al Hafidz dalam At Talkhish Al Habiir: 4/366-367 berkata:

“Semua riwayat dalam masalah tersebut menyebutkan bahwa sedekah berat rambut bayi senilai dengan perak, tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan senilai emas. Berbeda dengan pendapat ar Rafi`i yang mengatakan: “Bahwa disunnahkan untuk bersedekah dari hasil timbangan rambut bayi setara dengan emas, kalau tidak maka senilai dengan perak”.

Sabuu’ adalah sebagaimana yang sudah dikenal oleh masyarakat semacam ritual yang termasuk bid’ah dan diyakini dengan keyakinan yang menyimpang, seperti: menaburkan garam, menumbuk di lumpang (alat tumbuk); untuk menolak penyakit a’in (mata), menyalakan banyak lilin dan lain sebagainya.

Syeikh Ali Mahfudz –rahimahullah- dalam bukunya “al Ibda’ fi Madharil Ibtida’ “ berkata, di antaranya adalah: “Adalah termasuk bid’ah apa yang dilakukan pada hari ke tujuh dari kelahiran bayi dan pada malam harinya, dengan menghiasi semacam kendi dengan beberapa perhiasan dan wewangian, menaburkan garam, menyalakan banyak lilin, menumbuk dengan lumpang atau semacamnya dari kata-kata yang sudah tidak asing lagi. Kemudian mengalungkan biji-bijian disertai garam pada bayi”.

Dan termasuk dalam kategori bid’ah adalah dibawakan semacam bejana yang diisi air, di tengahnya diberi lilin besar yang selalu menyala pada malam hari selama satu pekan, bayinya tidur di sebelahnya sampai hari kedua.

Mereka juga memasukkan beberapa tujuh macam biji-bijian ke dalam bejana tersebut, yaitu; beras, kacang, kapri, halbah dan lain-lain, agar diberkahi –menurut mereka- dengan kekayaan yang melimpah ruah.

Demikian juga mereka membawa tungku kemenyan, ibunya melangkahinya sebanyak tujuh kali, diiringi dengan nyanyian anak-anak, dan banyak para ibu-ibu menaburkan beberapa biji-bijian dan garam.

Dan lain sebagainya dari macam-macam bid’ah yang mungkar dan mengandung kesyirikan.

Disamping juga mengandung berlebih-lebihan dan pemborosan dalam perayaan sabuu’ tersebut.

Hal tersebut dan yang serupa dengan itu tidak boleh dilakukan, juga tidak boleh membantunya, menjadi sebuah kewajiban untuk menyuruh kepada yang ma’ruf, dengan menegakkan sunnah, dan mencegah kemungkaran. Maka barang siapa yang mencegah dan mengingkarinya, tidak  ikut serta di dalamnya, tidak memberikan kontribusi kepadanya, maka ia telah terbebas dan selamat dari perbuatan tersebut.

Allah –‘Azza wa Jalla- berfirman:

(وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ) المائدة/2

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maidah: 2)

Adapun jika hanya membagikan permen, beberapa hadiah dan dihadiri oleh anak-anak lain, atau yang serupa dengannya, maka hal itu tidak masalah, selama tidak diyakini dengan keyakinan tertentu yang rusak atau mengandung hal-hal yang diharamkan.

Banyak di antara masyarakat yang bersemangat untuk mengerjakan Sabuu’ yang bid’ah ini, dan meninggalkan sunnah yang dianjurkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka dari itu benar apa yang telah disebutkan oleh para ulama: “Tidaklah masyarakat itu mengamalkan bid’ah kecuali dia akan meninggalkan sunnah yang senilai dengannya”.

Imam Syathibi –rahimahullah- berakata:

“Tidaklah sebuah bid’ah itu terjadi kecuali sunnah yang menjadi kebalikannya akan padam,  cukuplah apa yang pernah disampaikan oleh generasi salaf dalam masalah tersebut. Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
“Tidaklah datang suatu hari kepada manusia kecuali mereka akan mengamalkan perkara bid’ah, dan memadamkan pada hari yang sama perkara sunnah, sehingga perkara bid’ah berkembang dan banyak sunnah yang padam”. Dan di sebagian riwayat dikatakan: “Tidaklah seseorang mengamalkan perkara bid’ah kecuali dia telah meninggalkan sunnah yang lebih baik darinya”. Dari Luqman bin Abi Idris al Khoulani bahwa beliau telah berkata: “Tidaklah ummat ini melakukan perkara bid’ah pada agamanya, kecuali satu sunnah akan diangkat dari mereka”. Dari Hassan bin ‘Athiyyah berkata: “Tidaklah suatu kaum melakukan perkara bid’ah, kecuali Allah akan mencabut sunnah yang sepadan dengannya, kemudian tidak kembali lagi sampai hari kiamat”.

Dan masih banyak lagi pernyataan yang serupa dengan itu dan sudah tidak asing lagi di telinga kita”. (Al I’tishom: 1/15)

Sebaiknya bagi seorang mukmin untuk bersemangat untuk mengamalkan sunnah dan berpegang teguh kepadanya dan menjauhi perkara yang bid’ah.

Untuk penjelasan lebih lanjut bisa dibaca pada jawaban soal nomor: 20646.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam