Alhamdulillah.
Kami rasa anda, saudara penanya, tidak perlu heran. Shalat yang dapat menahan dari perbuatan keji dan munkar adalah shalat yang benar. Dilaksanakan oleh pelakunya dengan hati, ruh dan jiwanya. Menundukkan diri di hadapan Allah, menampakkan ubudiyah dan mengakui kekurangan di hadapan-Nya. Kondisinya adalah mengharapkan apa yang ada pada-Nya Azza Wajalla, jujur bertaubat dan kembali (kepadaNya) serta ikhlas di hatinya hanya untukNya semata. Barangsiapa yang hatinya tidak melaksanakan hal tersebut ketika berdiri di hadapan Allah saat shalat, maka shalatnya tidak akan berbuah seperti yang diharapkannya dimana yang terpenting adalah mengingat Allah serta menahan dari (berbuat) keji dan munkar. Pahala shalat sangat tergantung dengan makna dan tujuan yang telah direalisasikan dalam shalat.
Allah Azza Wajalla berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (سورة العنكبوت: 45)
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)
“Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata:
‘Seseorang bertanya, Wahai Rasulullah ! Seseungguhnya fulanah yang terkenal dengan disebutkan shalat, puasa dan shodaqahnya dikenal pula suka menyakiti tetangganya dengan mulutnya? (Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam) bersabda: ‘Dia di dalam neraka.' Lalu orang tersebut berkata lagi, "Wahai Rasulullah! seungguhnya fulanah yang dikenal sedikti berpuasa, shodaqah dan shalat, namun dia bershadaqah secuil dari keju dan tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. (Beliau sallallahu’alaihi wa sallam) bersabda: “Dia di surga.’
(HR. Ahmad di Musnad, 2/440. Dishahihkan oleh Al-Munziri dalam kitab At-Targib wa At-Tarhib, 3/321. Dan syekh Al-Albany dalam kitab As-Silsilah As-Shahihah, no.190)
Imam Al-Qurthuby rahimahullah berkata:
“Dalam ayat ada penafsiran yang ketiga, yang disetujui oleh para peneliti, dan pendapat Syekh Sufi, disebutkan oleh para ahli tafsir. Dikatakan maksud dengan ‘Aqimis sholah’ (tegakkan shalat) adalah menjalankan dengan terus menerus dan menunaikan batasan-batasannya.
Kemudian disebutkan latar belakang mengapa shalat dikatakan dapat menahan pelakunya dari prilaku keji dan munkar. Hal itu karena di dalamnya terdapat bacaan Al-Qur’an yang mengandung nasehat dan karena shalat menyibukkan seluruh anggota badan. Jika seorang yang shalat masuk ke tempat shalat di mihrabnya, lalu dengan khusyu dan tertunduk kepada Tuhannya, dia teringat bahwa dirinya sedang berdiri dihadapan-Nya dan bahwa Dia memperhatikan serta melihatnya. Maka jiwanya akan baik, tunduk dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah. Maka seluruh tubuhnya akan melihat kewibaan shalat. Hal itu terus berlangsung sampai datang waktu shalat berikutnya dan kembali dalam kondisi yang lebih baik lagi.
Ini maksud arti dari ayat tersebut, karena shalat seorang mukmin seharusnya begitu.
Saya berkata –yakni Al-Qurthuby- apalagi kalau dirinya merasa ini adalah akhir dari amalannya. Dan ini yang lebih mengena dalam maksud (shalat), lebih sempurna dari yang diinginkan. Karena kematian tidak mempunyai umur tertentu, waktu khusus dan sakit diketahui. Hal ini yang tidak ada perbedaannya.
Diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, ketika menunaikan shalat, dia gemetar dan berubah menjadi pucat pasi. Ketika ditanyakan hal itu, beliau berkomentar: ‘Saya berdiri dihadapan Allah Ta’ala, kalau saya dapat mengalami hal seperti ini di hadapan raja dunia, bagaimana lagi kalau di hadapan Raja seluruh kerajaan.' Tidak diragukan lagi, shalat seperti inilah yang dapat menahan perbuatan kejia dan mungkar.
Barangsiapa yang shalatnya sebatas sahnya saja, tidak khusu’, tidak mengingat dan tidak memenuhi keutamaan-keutamaan –seperti shalat kita-, maka dia akan ditinggalkan shalatnya dalam kondisinya saat itu. Kalau jalan yang dia tempuh adalah kemaksiatan yang menjauhkan dari Allah Ta’ala, maka shalatnya meninggalkannya semakin jauh. Inilah penafsiran hadits yang diriwayatkan olah Ibnu Abbas, Hasan dan Al-Akmasy dengan ungkapan “Barangsiapa shalatnya tidak mampu menahannya dari perbuatan keji dan munkar. Maka tidak bertambah darinya kecuali semakin jauh kepada Allah.”
Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, 13/348. Hadits yang disebutkan terakhir tadi dilemahkan oleh Syekh Al-Albany dalam kitab ‘As-Silsilah Ad-Dha'ifah, no. 2.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Jika shalat dilakukan seperti yang diperintahkan, maka ia dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Kalau tidak dapat mencegah, maka hal itu menunjukkan (bahwa shalatnya) telah lalai dalam menunaikan hak-haknya.
Allah Ta’ala telah berfirman, ‘Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat’ (QS. Maryam: 59)
Yang dimaksud menyia-nyiakan adalah meremehkan kewajibannya meskipun dia menunaikan (shalat). " Majmu Fatawa, 22/6.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Kalau ada orang yang mengatakan, ‘Bagaimana shalat menjadi penolong seseorang?'
Maka jawabannya adalah akan menolong kalau dia laksanakan dengan sesempurna mungkin. Yaitu dengan menghadirkan hati dan menunaikan apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban). Sementara kebanyakan shalat pada waktu sekarang, sekedar shalat gerakan tubuh bukan shalat yang keluar dari hati. Oleh karena itu kita dapatkan, semenjak seseorang bertakbir, maka dibukakan pintu yang luas sekali dari lintasan-lintasan yang tidak ada faedahnya dan baru hilang ketika dia salam. Akan tetapi shalat yang benar adalah bahwa seseorang merasakan berdiri di hadapan Allah, bahwa ia seperti olah raga pada setiap hasil dari ibadah. Dan ia merupakan hiburan saat galau, karena saat itu dia berkomunikasi dengan Allah Azza Wajalla yang dicintainya dan yang sangat dicintainya. Oleh karena itu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
جعلت قرة عيني في الصلاة
“Dan dijadikan shalat sebagai penyejuk mataku.”
Sedangkan yang shalat untuk mendapatkan hiburan, akan tetapi hatinya sibuk dengan lainnya, maka shalatnya tidak akan menolong dirinya. Karena shalatnya kurang, maka dampaknya berkurang sebanding dengan kekurangan yang ada pada (shalatnya).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Kebanyakan orang ketika masuk dan keluar shalat, hatinya tidak berubah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, tapi masih tetap pada kondisi semula. Hatinya tidak melunak dengan zikir dan tidak berubah untuk cinta pada ibadah.’ Tafsir Surah Al-Baqarah, 1/164, 165. Silahkan lihat ‘Al-Liqa As-Syahry karangan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, 1/soal no. 17.
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata:
“Shalat yang benar akan berdampak pada prilaku seorang hamba dan amalan-amalan lainnya. Allah berfirman ‘Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Orang yang shalat dengan menghadirkan hati, khusyu dan menghadirkan keagungan Allah, akan keluar dari shalatnya dengan mendapatkan faedah yang bermanfaat, menahan dari kekejian dan kemunkaran serta mendapatkan kemenangan. Sedangkan orang yang shalatnya asal-asalan tanpa menghadirkan hati, tanpa khusyu, hatinya di suatu tempat dan jasadnya di tempat lain, maka shalatnya tidak mendapatkan keutamaan.’ (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 3/53, 54)
Silakan lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/86 .
Wallahu’alam.