Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

APAKAH SEORANG IBU MENUNAIKAN AQIQAH BAGI ANAKNYA JIKA BAPAKNYA TELAH MENCERAIKANNYA?

Pertanyaan

Saya mempunya teman yang baru mansuk Islam, akan tetapi dia tinggal bersama keluarganya yang masih non muslim. Sekarang dia dalam keadaan hamil sedangkan suaminya telah menceraikannya dan tinggal di negeri lain. Suaminya juga muslim. Dia bertanya tentang hukum aqiqah. Apakah wajib baginya melakukan aqiqah untuk bayi yang akan dilahirkan. Bagaimana melaksanakannya, apakah dia wajib melakukan azan di telinga bayi setelah dilahirkan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama;

Aqiqah adalah sunnah, bukan kewajiban bagi orang mukallaf. Siapa yang menunaikan sunnah, maka baginya pahala dan keutamaan. Dan siapa yang tidak menunaikannya, dia telah lalai, namun tidak mendapatkan dosa. Demikianlahpendapat mayoritas ulama sebagaiman telah dijelaskan pada jawaban no. 162021, 20018, 38197.

Kedua:

Pada dasarnya, aqiqah disyariatkan dari harta bapak sang anak, bukan dari harta ibunya, bukan pula dari harta anak itu sendiri. Karena yang diperintahkan dalam hal ini adalah sang bapak dalam hadits-hadits yang terkait dengan syariat aqiqah.

Akan tetapi, para fuqoha berkata, "Dibolehkan bagi selain bapak untuk melakukan aqiqah bagi sang anak dalam kondisi berikut;

1-Jika sang bapak lalai dan enggan melakukan aqiqah.

2-Jika dia telah minta izin dari sang bapak untuk menggantikannya melakukan aqiqah untuknya dan dia kemudian mengizinkannya.

Mereka berdalil dengan riwayat shahih dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husain radhiallahu  anhuma dengan dua kambing-dua kambing." (HR. An-Nasa'I, no. 4219, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa'i)

Mereka berkata, "Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan aqiqah untuk cucunya, Hasan dan Husain radhiallahu anhuma, merupakan dalil dibolehkannya bagi selain bapak melakukan aqiqh apabila telah izin kepadanya dan dia menyetujuinya."

Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahulalh berkata dalam penjelasan hadits,

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ ، وَيُحْلَقُ ، وَيُسَمَّى (رواه أبو داود، رقم 3838 وصححه الألباني في " صحيح أبي داود)

"Semua bayi yang dilahirkan, tergadai dengan aqiqahnya. Disembelih untuknya pada hari ke tujuh (kelahirannya), lalu digundul dan diberi nama." (HR. Abu Daud, no. 3838. Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Ucapan beliau 'Disembelih' menunjukkan bahwa yang menyembelih tidak ditentukan. Menurut kalangan mazhab Syafii, ditentukan terhadap mereka yang wajib menafkahi sang bayi. Sedangkan menurut kalangan mazhab Hambali, ditentukan terhadap sang bapak, kecuali jika dia terhalang melakukannya, misalnya dia wafat atau tidak bersedia melakukannya.

Ar-Rafi'I berkata, "Seakan hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan aqiqah untuk Hasan dan Husain dipahami dengan pemahaman lain."

An-Nawawi berkata, "Ada kemungkinan bahwa kedua orang tuanya ketika itu sedang kesulitan, atau di beliau (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) menyumbang atas izin sang bapak." Atau makna (عق)  dalam hdits tersebut maksudnya adalah memerintah. Atau perkara tersebut merupakan kekhususan Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagaimana beliau menyembelih hewan qurban untuk siapa saja dari ummatnya yang belum berkurban. Perkara ini dianggap sebagian ulama sebagai kekhususan beliau." (Fathul Bari, 9/595)

Kesimpulannya adalah bahwa tidak wajib bagi sang ibu untuk menyembelihkan aqiqah bagi bayinya. Akan tetapi disunnahkan baginya hal tersebut jika sang bapak tidak melakukannya. Atau sang bapak tidak dapat menyembelihkannya karena lokasinya yang jauh atua dia tidak tahu peristiwa kelahiran tersebut dan semacamnya. Allah Azza wa Jallah akan memberi anda pahala.

Mohon dibaca jawaban no. 71161.

Ketiga:

Adapun azan di telinga bayi yang baru dilahirkan, tidak ada hadits yang shahih dalam masalah ini. Sebagian ahli fiqih berkata bahwa hal tersebut dianjurkan. Penjelasan tersebut telah dijelaskan dalam jawaban soal no. 136088.

Imam Malik rahimahullah telah menetapkan tentang tidak dianjurkannya perbuatan ini.

Jika kita katakan hal ini disyariatkan sebagaimana pendapat mazhab Syafii dan lainnya, maka pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkannya bagi wanita, baik ibunya atau lainnya dari wanita muslimah melakukan azan di telinga sang bayi. Berbeda dengan pendapat yang menetapkan syarat bahwa orang laki lah yang seharusnya melakukan hal itu, sebagaimana halnya dalam azan untuk shalat.

Asy-Syibromalisi rahimahullah berkata,

Adapun ucapnnya, 'Disunnahkan melakukan azan' maksudnya walaupun oleh seorang wanita. Karena perkara ini bukan azan yang khusus pekerjaan orang laki. Tapi tujuannya hanya sekedar zikir dan mohon berkah." (Nihayataul Muhtaj, 8/149)

Hal inilah yang terdapat dalam Kitab Hasyiatul Asy-Syaubari atas Al-Manhaj, bahwa tidak disyaratkan laki-laki untuk melakukan azan di teling bayi laki-laki yang baru dilahirkan. Hal ini disetujui sebagian syekh yang menyatakan bahwa telah dianggap sunnah apabila bidan yang melakukan azan di teling bayi yang baru dilahirkan."

(Hasyiah Ath-Thablawi, atas Tuhfatul Muhtaj, 1/461)

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam