Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Apakah Di Dalam Teks Wahyu Ada Istilah Qath’i Dilalah dan Dzanni Dilalah ?

170581

Tanggal Tayang : 12-01-2015

Penampilan-penampilan : 42108

Pertanyaan

Pertanyaan saya adalah mengenai hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang dibagi dengan “qath’I dilalah dan dzanni dilalah” (satu petunjuk dan multi penafsiran). Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada anda.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Para ulama ushul fiqh membagi dalil-dalil syar’i dari al Qur’an dan Sunnah dilihat dari petunjuknya, dibagi dua: dalil-dalil qath’i dilalah (menunjukkan satu penafsiran) dan dzanni dilalah (multi penafsiran).

Adapun perbedaan dari keduanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Abdul Wahab Khollaf –rahimahullah- adalah: “Dalil yang qath’I”adalah yang menunjukkan satu pemahaman saja dan tidak mungkin ditakwil dan difahami dengan makna lain, seperti firman Allah –ta’ala- :

( وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ) النساء/ 12

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak”. (QS. An Nisa’: 12)

Ayat ini adalah qath’i dilalah bahwa bagian suami dengan kondisi seperti itu mendapatkan ½ dari harta istri dan tidak boleh ada penafsiran lain.

Contoh lain dalam firman Allah tentang orang yang berzina laki-laki dan perempuan:

( فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ ) النور/ 2

“… maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. An Nuur: 2)

Ayat ini juga qath’i dilalah bahwa hukuman bagi yang berzina adalah 100 kali cambukan tidak lebih dari itu dan tidak kurang. Demikian juga semua nash yang menunjukkan angka tertentu dalam hal warisan atau hukuman atau nishab zakat maka juga qath’i dilalah.

Sedangkan nash yang “dzanni dilalah” adalah yang menunjukkan satu arti tertentu, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwil dan dirubah ke arti yang lain, seperti dalam ayat berikut ini:

( وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ ) البقرة/ 228

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (QS. al Baqarah: 228)

Kata “Quru’ “ dalam bahasa Arab adalah termasuk kata yang mempunyai lebih dari satu arti, yaitu; arti pertama adalah suci dan arti kedua adalah haid, sedangkan ayat di atas menunjukkan bahwa yang dicerai suaminya ia menunggu selama tiga quru’, artinya bisa jadi tiga kali suci atau tiga kali haid. Maka kata tersebut bukan termasuk kata “qath’i dilalah”. Oleh karenanya para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang masa iddah (menunggu) seorang istri yang dicerai oleh suaminya antara tiga kali suci atau tiga kali haid”. (Ilmu Ushul Fiqh: 35)

Demikian juga yang terjadi pada hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebagiannya qath’i dilalah dan yang lain dzanni dilalah.

Adapun contoh hadits yang qath’i dilalah adalah sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

(فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ).رواه البخاري ( 1503 ) ومسلم ( 984(

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma, atau gandum bagi seorang muslim baik dari hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang dewasa. Dan beliau menyuruh agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menuju tempat shalat hari raya idul fitri”. (HR. Bukhori: 1503 dan Muslim: 984)

Hadits yang muttafaq ‘alaihi di atas dengan jelas menunjukkan akan wajibnya zakat fitrah, oleh karenanya tidak ada perbedaan di antara para ulama akan wajibnya zakat fitrah.

Contoh yang paling jelas dan terkenal dari hadits tentang dzanni dilalah adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori (1503) dan Muslim (984) dari Abdullah bin Umar –radhiyallahu- berkata: Dari Abdullah bahwa ia berkata:

نَادَى فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ انْصَرَفَ عَنْ الْأَحْزَابِ ( أَنْ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ ) فَتَخَوَّفَ نَاسٌ فَوْتَ الْوَقْتِ فَصَلَّوْا دُونَ بَنِي قُرَيْظَةَ ، وَقَالَ آخَرُونَ : لَا نُصَلِّي إِلَّا حَيْثُ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ فَاتَنَا الْوَقْتُ ، قَالَ : فَمَا عَنَّفَ وَاحِدًا مِنْ الْفَرِيقَيْنِ .

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyeru kepada kami pada hari seusai perang Ahzab dan bersabda: “Janganlah seorang dari kalian mendirikan shalat Ashar kecuali setelh sampai pada bani Quraidzah”. Maka sebagian orang merasa khawatir waktu Ashar habis, maka mereka mendirikan shalat Ashar sebelum sampai pada bani Quraidzah. Sedangkan sebagian yang lain berkata: “Kami tidak akan mendirikan shalat kecuali sebagaimana perintah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- , meskipun waktu Ashar sudah habis”. Perawi berkata: “Maka beliau tidak berlaku keras kepada kedua belah pihak”.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam