Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Kapan Seorang Wali Dikatakan Menolak Pernikahan Sehingga Perwalian Boleh Berpindah Kepada Urutan Sesudahnya Yang Berhak Menjadi Wali.

171588

Tanggal Tayang : 02-04-2015

Penampilan-penampilan : 15335

Pertanyaan

Sebagian gadis, jika bapaknya menolak laki-laki yang melamarnya sedangkan dia menyukainya, pergi ke Pusat Islam dan mengaku bahwa walinya menolak menikahkannya, maksudnya agar perwalinnya dipindah kepada selainnya, atau pemimpin markas Islam itu yang menikahkannya jika dia tidak memiliki wali yang lain. Kadang kepala markas bersimpati kepadanya dan menikahkannya tanpa meneliti lagi apakah bapaknya mencegahnya atau tidak. Sehingga masalah ini sering menimbulkan problem antara para wali atau antara wali dan suami. Apa hukum dalam masalah ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Seorang wali harus menikahkan wanita yang dibawah perwaliannya dengan laki-laki yang sepadan yang diridhai puterinya. Jika tidak, maka dia dianggap sebagai orang yang menolak pernikahan.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Makna ‘adhl’ adalah mencegah seorang wanita untuk menikah dengan orang yang sepadan jika dia memintanya dan satu sama lain telah saling menyukai. Apakah sang wanita meminta mahar sesuai standar yang berlaku di lingkungannya atau kurang dari itu. Inilah yang menjadi pandangan Imam Syafii, Abu Yusuf dan Muhammad. Adapun Abu Hanifah berkata, ‘Mereka (wali) boleh mencegah pernikahannya jika maharnya tidak sesuai standar yang berlaku di masyarakatnya. Jika dia berminat dengan laki-laki yang sepadan, sedangkan walinya ingin agar dia menikah dengan selainnya yang sepadan serta tidak mau menikahkannya dengan orang yang di kehendaki, maka dia tetap dianggap sebagai orang yang menolak pernikahan. Adapun jika dia ingin menikah dengan orang yang tidak sepadan, maka sang wali berhak menolak pernikahannya dan tidak dianggap sebagai orang yang menolak pernikahan.” (Al-Mughni, 9/383)

Menolak pernikahan diharamkan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (سورة البقرة: 232)

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” SQ. Al-Baqarah: 232

Imam Bukhari meriwayatkan (5331) dari Hasan, sesungguhnya Ma’qil bin Yasar, saudara perempuannya dinikahi oleh seorang laki-laki, lalu dia mencerainya. Ketika telah habis masa idahnya, mantan suaminya ingin menikahinya kembali. Maka Ma’qil marah dan berkata kepadanya, “Dia meninggalkannya ketika dia mampu lalu ingin melamarnya kembali, maka antara dia dengannya telah terhalang.” Lalu turunlah firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ) إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْهِ فَتَرَكَ الْحَمِيَّةَ وَاسْتَقَادَ لِأَمْرِ اللَّهِ .

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” SQ. Al-Baqarah: 232

Kemudian Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam memanggilnya dan membacakan (ayat ini) kepadanya. Kemudian dia meninggalkan fanatisme dan melaksanakan perintah Allah.

Karena itu, tidak dibolehkan bagi wali wanita untuk mencegahnya menikah dengan orang yang sepadan dengannya dan dia ridha kepadanya.

Asalnya, seorang wali berusaha mendatangkan kebaikan bagi orang yang diwalikannya. Boleh jadi dia menolak orang yang datang melamar puterinya karena sebab-sebab yang terkait dengan akhlak dan kehormatannya, atau karena keluarganya, atau karena sebab lainnya. Ketika itu hendaknya dia menjelaskan sebab penolakannya kepada orang yang melamarnya. Jika sebabnya logis, maka dia tidak tergolong ‘adhl’ (menolak pernikahan). Tapi jika penolakannya tanpa sebab atau karena sebab yang tidak dapat diiterima, maka dia tergolong orang yang menolak pernikahan. Bolah jadi, masalahnya adalah apakah sebab itu dapat diterima atau tidak dapat diterima terjadi perbedaan pandangan, karena itu, tidak boleh tergesa-gesa menghukumi wali telah menolak pernikahan, di sisi lain juga hendaknya berhati-hati, bertanya dan memastikan sebelum menikahkan puterinya, khususnya jika seorang wanita tidak memiliki wali yang lain dan pernikahannya akan dilakukan melalui pusat lembaga Islam.

Karena penting dan besarnya pernikahan serta dampaknya, dan kemungkinan terjadi kekeliruan dalam menghukumi ‘adhl’ (menghukumi bahwa seorang wali telah menolak pernikahan), sejumlah fuqoha berpendapat bahwa jika apabila telah terjadi tindakan menolak pernikahan, maka perwalian tidak berpindah kepada urutan wali sesudahnya, tapi kepada penguasa (hakim). Sebagian ulama lainnya lagi berpendapat bahwa ‘adhl’ tidak boleh ditetapkan kecuali telah tiga kali pengulangan.

Disebutkan dalam Al-Maushu’ah Al-Fiqhiah (30/144), “Ahli fiqih berpendapat bahwa jika telah terjadi tindakan menolak pernikahan dari seorang wali dan hal itu terbukti oleh hakim, maka hakim memerintahkannya (wali tersebut) untuk menikahkannya, jika penghalangan tersebut tidak berdasarkan sebab yang diterima. Jika dia tetap menolak, maka perwalian pindah kepada selainnya.

Akan tetapi, sejumlah fuqoha berbeda pendapat tentang kepada siapa perwalian itu pindah. Menurut ulama kalangan mazhab Hanafi, Syafii dan Maliki, kecuali Ibnu Qasim, juga terdapat riwayat dari Ahmad, bahwa perwalian itu akan pindah ke penguasa. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

“Jika mereka bertikai, maka penguasa adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.”

Juga karena wali telah melarang secara zalim hak yang diarahkan kepadanya. Maka penguasa menggantikan posisinya untuk menghilangkan kezaliman tersebut. Sebagaimana seandainya dia memiliki hutang dan enggan melunasinya. Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan radhiallahu ta’ala dari Syuraih. Akan tetap ulama dalam mazhab Syafii membatasi ketentuan ‘adhl’ ini apabila telah terulang tiga kali.

Adapun pendapat mazhab di kalangan ulama Hambali adalah bahwa jika seorang wali terdekat menolak pernikahan, maka perwalian berpindah kepada wali yang lebih jauh. Hal ini langsung dinyatakan oleh Imam Ahmad, karena wali terdekat bersedia menikahkan, maka hak perwalian menjadi milik yang lebih jauh, sebagaimana seandainya wali terdekat gila. Jika seluruh wali menolaknya, maka hakim yang akan menikahkan.

Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

السلطان ولي من لا ولي له

“Penguasa adalah wali orang yang tidak punya wali.”

Hadits ini dipahami apabila seluruh wali menolak menikahkannya. Karena sabdanya,

فإن اشتجروا

 “Jika mereka bertikai.”

Menggunakan dhamir (kata ganti) jamak. Ulama kalangan mazhab Syafii berkata, “Jika penolakannya berulang-ulang dari wali terdekat, misalnya jika telah berulang tiga kali, maka perwalian berpindah kepada yang lebih jauh, berdasarkan dilarangnya orang fasik menjadi wali. Karena dengan penolakan secara berulang-ulang tersebut, dia dianggap fasik.”

Syekh Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seorang wali menolak menikahkan seorang wanita dengan calon suami yang sepadan dengannya dalam agama dan akhlaknya, maka perwaliannya berpindah kepada wali sesudahnya dari kalangan kerabat yang mendapatkan ashabah hingga seterusnya. Apabila mereka semua menolak, demikian memang biasanya, maka perwalian berpindah kepada hakim syar’i. Lalu sang wanita itu dinikahkan oleh hakim syariat. Wajib bagi hakim tersebut, jika telah sampai kepadanya perkara itu dan dia mengetahui bahwa para wali sang wanita menolak untuk menikahkannya, karena hakim memiliki perwalian yang bersifat umum selama perwalian yang bersifat khusus tidak ada.

Para fuqoha rahimahumullah telah menyebutkan bahwa seorang wali jika berulangkali menolak lamaran seorang pelamar, maka dengan demikian, wali itu jatuh pada kefasikan dan gugurlah keadilan dan perwaliannya. Bahkan menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, menyatakan bahwa gugur pula kepemimpinannya, maka tidak sah baginya untuk shalat sebagai imam kaum muslimin. Ini menunjukkan masalah ini sangat penting. Sebagian orang sebagaimana telah kami singgung sebelumnya menolak para pelamar yang ingin menikahi wanita yang berada di bawah perwaliannya, padahal mereka sepadan, akan tetapi, boleh jadi sang gadis malu mendatangi hakim untuk meminta dinikahi. Ini kenyataan. Karena itu, sang wanita hendaknya mempertimbangkan antara positif negatifnya. Mana yang paling besar keburukannya. Tetap tanpa suami dan membiarkan walinya mengaturnya sesuai seleranya dan hawa nafsunya lalu apabila dia sudah tua dan tak minat, dia baru memintanya menikahi calon suaminya, ataukah dia datang ke hakim untuk minta dinikahkan karena hal itu merupakan hak syar’i baginya.

Tak diragukan lagi bahwa pilihan kedua lebih utama, yaitu mendatangi hakim dan minta dinikahkan, karena hal itu merupakan haknya. Juga dengan dia mendatangi hakim dan meminta hakim menikahkannya akan mendatangkan kebaikan baginya dan bagi selainnya, karena orang selain dia akan melakukan yang sama seperti yang dia lakukan (apabila mengalami hal yang sama) disamping hal itu akan menjadi pelajaran bagi orang yang zalim yang telah menzalimi orang yang berada di bawah perwaliannya agar tidak lagi menolak untuk menikahinya dengan orang yang sepadan. Artinya di dalamnya ada tiga kebaikan;

-Kebaikan bagi wanita agar tidak hidup tanpa suami.

-Pencegah para wali dari perbuatan zalim dan tidak menguasai urusan puteri-puteri mereka atau siapa saja di bawah perwalian mereka agar tidak seenaknya saja menentukan sesuai selera mereka.

-Di dalamnya juga terdapat pengamalan dari perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang bersabda,

إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak (kalian nikahkan) maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Disamping itu, dalam masalah ini adalah masalah khusus, yaitu terpenuhinya hasrat orang yang hendak menikahi wanita yang mereka dikenal sebagai orang yang baik agama dan akhlaknya.” (Dikutip dari Fatawa Islamiyah, 3/148)

Kesimpulan; Tidak dibolehkan bagi kepala pusat Islam untuk tergesa-gesa dalam menikahkan wanita tersebut dengan alasan walinya menolak. Akan tetapi, seharusnya dia bertanya telebih dahulu walinya dan mencari tahu alasannya menolak orang yang datang melamar puterinya. Jika ternyata dia memiliki alasan yang kuat, maka tidak boleh bagi walinya untuk menikahinya. Jika terbukti bahwa penolakannya tidak memiliki sebab yang kuat dan dia tidak memiliki wali selainnya, maka dibolehkan ketika itu kepala pusat Islam untuk menikahkannya. Khususnya jika sang wali berulang-ulang melakukan penolakan.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam