Selasa 9 Ramadhan 1445 - 19 Maret 2024
Indonesian

HUKUM MEMAKAI PAKAIAN DALAM BAGI ORANG YANG IHROM

Pertanyaan

Saya akan berangkat haji pada tahun ini. Akan tetapi kondisi kesehatanku mengharuskan saya untuk memakai celana dalam ketat (celana dalam biasa) untuk mencegah tetasan air seni yang keluar disela-sela gerakan. Sebagaimana terjadi dalam shalat tercemar celana dalamku. Melihat kondisi seperti ini, apakah saya diperbolehkan memakai celana dalam biasa di dalam kain ihrom? Dalam kondisi tidak diperbolehkan apa solusinya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama,

Para ulama’ berbeda pendapat terkait dengan memakai pakaian dalam bagi lelaki untuk menutupi aurat mugholadhoh (besar). Yang para ulama’ menamakan ‘At-Tubban’. Sebagian ulama’ berpendapat memperbolehkan (untuk memakainya) meskipun dalam kondisi tidak dhorurot atau tidak ada keperluan. mereka mengatakan, bahwa nash tidak ada larangan dari apa yang dilarang bagi muhrim.

Jumhur (mayoritas) ulama melarang untuk memakainya. Bahwa ia dianalogikan (diqiyaskan ) dengan celana. Bahkan sebagian ulama’ mengatakan, ia lebih layak untuk dilarang.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Begitu juga Tubban lebih (layak dilarang daripada) celana.’ Selesai ‘Majmu’ Fatawa, 21/206.

Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata, ‘Al-Muzani mengatakan, ‘Para ahli fiqih sejak zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sampai sekarang ini semuanya mempergunakan qiyas (analogi) pada semua hukum dalam masalah agamanya. Beliau meneruskan, ‘Mereka sepakat bahwa persamaan kebenaran adalah benar dan persamaan batil adalah batil. Maka tidak seorangpun diperbolehkan mengingkari qiyas. Karena ia termasuk menyerupai dan menyamai dengan urusan-urasan (lain).

Diantara hal itu adalah, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang orang muhrim memakai gamis, celana, surban dan kaos kaki dari kulit (khuf). Hal ini tidak dikhususkan untuk hal-hal ini saja. Bahkan hal ini melebar larangan untuk jubah, kuba, topi, kaos kaki dan celana dalam (tubban) dan semisalnya. ‘ selesai dengan diringkas ‘I’lamul Muwaqi’in, 1/205-207.

Dari sini terlihat kesalahan orang yang mengambil dalil memperbolehkan menggunakan celana dalam (tubban) dikarenakan tidak disebutkan dalam nash hadits. Yang telah dijelaskan oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam apa-apa yang tidak dipakai oleh orang muhrim.

Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkata, ‘Semakna apa yang disebutkan dalam hadits ini dari gamis, celana dan penutup kepala. Masuk semua bentuk jahitan. Maka tidak diperbolehkan (yang berjahit) dipakai oleh orang muhrim. Menurut semua kalangan ahli ilmu. ‘At-Tamhid, 15/104.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Iyad berkata, ‘Umat Islam sepakat (ijma’) bahwa apa yang disebutkan di dalam hadits tidak diperbolehkan dipakai oleh orang ihrom. Bahwa hal itu mengingatkan bahwa gamis dan celana terhadap semua bentuk jahitan. Sementara surban dan burnus atau segala penutup kepala baik yang berjahit maupun tidak. Dan dengan khuf (kaos kaki dari kulit) untuk semua yang menutupi (mata) kaki.’ Selesai

Ibnu Daqiqul Id mengkhususkan ijma’ (kesepakatan) yang kedua untuk ahli qiyas. Dan ini telah jelas.

Maksud dengan diharamkannya yang berjahit adalah apa yang dipakai di tempat yang digunakan untuk itu meskipun pada sebagian badan. Selesai ‘Fathul Barie, 3/402.

Kelompok yang memperbolehkan orang ihrom memakai celana dalam waktu ihrom berdalil dengan apa yang ada ketetapan dari Aisyah radhiallahu’anha bahwa beliau memperbolehkan  bagi orang yang membawa tandu dan apa yang ada dari Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu beliau dahulu pernah memakainya.

Atsar Aisyah, Bukhori rahimahullah berkata di Shohehnya, 2/558: ‘Bab memakai wewangian ketika ihrom dan apa yang dipakai ketika ingin ihrom. Aisyah radhiallahu’anha berpendapat tidak mengapa (memakai) celana dalam bagi orang yang membawa tandu. Selesai 

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Telah sampai atsar Aisyah kepada Said bin Mansur dari jalan Abdurrahman bin Qosim dari ayahnya dari Aisyah, bahwa beliau menunaikan haji bersamanya dua lelaki. Ketika mereka siap membawa tandu untuk berangkat sedikit terlihat (auratnya). Maka beliau memerintahkan untuk memakai celana dalam, kemudian mereka memakainya dalam kondisi berihrom. Dari sini bantahan bagi Ibnu At-Tin dalam ungkapan ‘Aradat an-nisaa’’ karena mereka memakai yang berjahit berbeda dengan para lelaki. Sepertinya ini adalah pendapat Aisyah. Padahal kebanyakan (para ulama’) berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara celana dalam dan celana biasa pelarangan (memakainya)  dalam berihrom.’ Selesai dari kitab ‘Fathul Barie, 3/397. Bisa dijawab hal ini, bahwa Aisyah radhiallahu’anha memerintahkan mereka untuk memakainya karena dalam kondisi dhorurat. Karena aurat mereka tersingkap. Maka tidak menunjukkan diperbolehkannya tanpa dalam kondisi dhorurat.

Atsar Ammar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Hubaib bin Abu Tsabit berkata, saya melihat Ammar bin Yasir memakai celana dalam sementara beliau di Arofat. ‘ Musonnaf Ibnu Abi Syaibah, 6/34. Hal ini mungkin dalam kondisi dhorurah. Dimana telah ada dalam Ibnu Abi Syaibah di kitab ‘Akhbar Al-Madinah, 3/100 yang menunjukan bahwa Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu terkena musibah pada zaman Utsman bin Affan radhiallahu’anhu di dalamnya ada ungkapan, ‘Maka tidak dapat menahan air seniku.’

Dalam kitab ‘An-Nihayah fi goribil Atsar, 2/126. Dalam hadits Abdu Khoir berkata, saya melihat Ammar (memakai) celana dalam dan beliau mengatakan, ‘Bahwa saya mengeluh saluran kencingnya. Kata ‘Ad-Daqroroh adalah celana dalam. Yaitu celana kecil yang hanya menutupi aurat saja. Kata ‘Al-mumtsun’ adalah yang mengeluh saluran kencingnya.

Dalam kitab ‘Lisanul Arab, 13/71: ‘Dalam hadits Ammar bahwa beliau shalat dengan memakai celana dalam dan mengatakan saya mengeluh saluran kencing.’ Selesai

Atsar ini kalau sekiranya tidak ada ketetapan dari periwayatan lewat satu orang, maka ia tetap menunjukkan bahwa ada asalnya.

Yang benar adalah seorang laki-laki dilarang memakai celana dalam ketika ihrom. Sementara yang ada dari Aisyah menunjukkan dalam kondisi dhorurat. Bukan meniadakan fidyah bagi orang yang memakainya.

Dan yang ada dari Ammar bin Yasir karena dalam kondisi dhorurat dikarenakan terkena sakit pada saluran kencing.

Syekh Muhammad bin Amin As-Syinqiti rahimahullah berkata, ‘ Apa yagn disebutkan dari Aisyah radhiallahu’anha yang nampak, hal itu diberi dispensasi (keringana) memakai celana dalam, bagi orang yang mengangkat tandu karena dhorurat tersingkapnya aurat. Hal ini menunjukkan tidak diperbolehkan kalau tidak dalam kondisi dhorurat. Wallahu Ta’ala a’lam. Selesai

Adwaul bayan, 5/464.

Kedua,

Diperbolehkan memakai celana dalam bagi orang yang bekerja mengangkat (barang) –sebagai contoh- dan dikhawatirkan tersingkap auratnya. Begitujuga diperbolehkan memakainya bagi orang yang kulitnya pecah dikarenakan gesekan. Dikhawatirkan kepada dirinya kepayahan. Begitu juga diperbolehkan bagi orang yang terkena luka di auratnya dan membutuhkan untuk ditutupinya. Sepadan dengan ini orang yang terkena penyakit beser –kondisi ini seperti kondisinya Ammar bin Yasir- pada semua kondisi tadi –dan yang semisalnya- pemakai (celana dalam) terkena fidyah yaitu memberi makan enam orang miskin, atau puasa tiga hari atau menyembelih kambing. Allah ta’ala berfirman, ‘Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.’ SQ. al-Baqorah: 196.

وعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلٍ قَالَ : جَلَسْتُ إِلَى كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ عَنْ الْفِدْيَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِيَّ خَاصَّةً وَهِيَ لَكُمْ عَامَّةً ، حُمِلْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي فَقَالَ : ( مَا كُنْتُ أُرَى الْوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى - أَوْ : مَا كُنْتُ أُرَى - الْجَهْدَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى ، تَجِدُ شَاةً ؟ فَقُلْتُ : لَا . فَقَالَ : فَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ، أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ ، لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفَ صَاعٍ )

رواه البخاري ( 1721 ) ومسلم ( 1201 )

Dari Abdullah bin Ma’qil berkata, saya duduk di Ka’b bin Ujrah radhiallahu’anhu saya bertanya tentang fidyah. Maka beliau berkata, (ayat tentang fidyah) diturunkan khusus untukku dan bagi kamu secara umum. Saya datang ke Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam sementara kutu berserakan di wajahku. Maka beliau mengatakan, ‘Saya tidak melihat anda sangat kepayahan seperti apa yang saya lihat –atau mengatakan- Saya tidak melihat kepayahan telah menimpa anda seperti apa yang saya lihat. Apakah anda punya kambing. Saya menjawab, ‘Tidak. Beliau bersabda, ‘Puasalah tiga hari. Atau beri makan enam orang miskin dengan setengah sha’. HR. Bukhori, 1721 dan Muslim, 1201.

Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya, tentang memakai celana dalam karena kalau tidak memakai akan payah. Maka beliau menjawab, ‘Kalau dia khawatir mendapatkan kepayahan, maka tidak mengapa untuk memakainya. Kalau hal itu terjadi, maka dia harus memberi makan enam orang miskin setengah sha’ itu lebih baik. ‘Liqo’ Al-Bab Al-Maftuh, 177/ soal. 16. Silahkan melihat jawaban soal no. 20870 dan 49033.

Wallahu’alam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam