Selasa 14 Syawal 1445 - 23 April 2024
Indonesian

Kewajiban Menahan Diri Tentang Perselisihan Yang Terjadi Pada Kalangan Para Sahabat

127028

Tanggal Tayang : 23-08-2014

Penampilan-penampilan : 6966

Pertanyaan

Apakah benar bahwa Ali bin Abi Thalib dan Utsman –radhiyallahu ‘anhuma- mereka dibunuh oleh beberapa kaum muslimin ?, Apakah memungkinkan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi di kalangan para sahabat pada masa itu ?, kitab apakah yang menjadi rujukan tentang masalah di atas ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Ketahuilah –saudaraku- semoga Allah menjaga kita semua dari semua bntuk fitnah baik yang nampak maupun yang tidak nampak jelas, bahwasanya para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah sebaik-baik sahabat bagi sebaik-baik Nabi, dan secara khusus para khulafa’ rasyidin yang empat.

Allah –Ta’ala- berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ (سورة التوبة: 100)

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (QS. at Taubah: 100)

Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:

“Allah –Ta’ala- Yang Maha Agung tela ridha kepada as sabiqun awwalun (orang-orang yang pertama masuk Islam) dari Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, maka alangah celakanya seseorang yang membenci mereka, mengumpat, atau membenci dan mengumpat sebagian mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/203)

Allah berfirman mengisahkan tentang orang-orang Muhajirin:

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ (سورة الحشر: 8)

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (QS. al Hasyr: 8)

Allah berfirman mengisahkan tentang orang-orang Anshar:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ (سورة الحشر: 9).

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”. (QS. al Hasyr: 9)

Allah juga berfirman tentang orang-orang yang datang setelah mereka dari orang-orang yang beriman:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (سورة الحشر: 10)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. al Hasyr: 10)

Adapun yang pernah terjadi di kalangan para sahabat dari perselisihan, dan peperangan: maka kita wajib menahan diri (tidak berprasangka yang bukan-bukan), dengan tatp meyakini bahwa mereka adalah sebaik-baik umat, dan menaruh rasa cinta kepada mereka, dan ridha kepada mereka, dimikianlah pernyataan ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu.

Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- pernah ditanya tntang Ali dan Utsman dan perang Jamal dan perang Shiffin, dan apa yang terjadi di antara mereka ?

Beliau menjawab:

“Itu adalah darah yang Allah menahannya dariku, saya juga tidak suka membicarakan masalah tersebut secara mendalam”. (Thabaqat Kubro: 5/394)

Seseorang pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal tentang apa yang pernah terjadi kepada Ali dan Mu’awiyah ?, maka ia berpaling dari pertanyaan tersebut. Maka dikatakan kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, dia adalah seseorang dari Bani Hasyim ?!”. Maka beliau menemuinya dan berkata: “Bacalah firman Allah berikut ini:

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“ Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al Baqarah: 141)

(Manaqib Imam Ahmad, karangan Ibnul Jauzi, hal.126)

Imam Ahmad juga berkata setelah di katakan kepadanya: Apa pendapat anda tentang apa yang terjadi kepada Ali dan Mu’awiyah ?, beliau menjawab: “Saya tidak memiliki pendapat kepada mereka kecuali kebaikan”. (Manaqib Imam Ahmad / Ibnul Jauzi: 164)

Al Maimuni berkata: “Ahmad bin Hambal berkata kepadaku: “Wahai Abu Hasan, jika anda melihat seseorang menyebutkan salah satu dari para sahabat dengan sebutan yang buruk, maka pertanyakanlah keislamannya”. al Fadhl bin Ziyad berkata: “Saya mendengar Abu Abdillah bertanya tentang seseorang yang menuduh Mu’awiyah dan Amr bin ‘Ash, apakah ia dikatakan sebagai seorang Rafidhah?, ia menjawab: “Tidak akan berani menuduh keduanya kecuali ia memiliki tujuan buruk yang disembunyikan. Tidaklah seseorang berani menuduh salah satu dari para sahabat, kecuali ia memiliki niat buruk dalam hatinya”. (al Bidayah wa Nihayah: 8/139)

Abu Zar’ah ar Raazi berkata: “Jika anda melihat seseorang yang mengkritik salah seorang dari para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketahuilah bahwa ia adalah seorang yang zindiq. Karena menurut kami Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah haq (benar), al Qur’an adalah haq. Dan yang menyampaikan al Qur’an dan Sunnah kepada kita adalah para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. (Tuduhan mereka itu) bertujuan untuk mencederai kesaksian kita untuk membatalkan al Qur’an dan Sunnah. Tuduhan itu sebenarnya tertuju kepada mereka, karena mereka adalah orang-orang zindiq”. (al Kifayah fi ‘Ilmi ar Riwayah: 49)

Al Qurtubi berkata:

“Tidak boleh seseorang menisbahkan kesalahan yang qath’i kepada salah seorang dari para sahabat, karena semua mereka berhak untuk berijtihad atas apa yang mereka kerjakan dan semuanya menginginkan Allah –‘Azza wa Jalla-, semua mereka adalah para imam kami, dan kami beribadah kepada Allah dengan menahan diri atas perselisiha yang terjadi di antara mereka, dan kami tidak menyebut mereka kecuali dengan sebaik-baik sebutan, karena kehormatan mereka menemani perjuangan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan kerena larangan beliau untuk mencela mereka, dan Allah sudah mengampuni mereka, dan menyatakan keridhaan-Nya kepada mereka”. (Tafsir Qurtubi: 16/321)

Ibnu Abi Ziyad al Qairowani berkata pada saat ia memaparkan tentang kewajiban apakah yang harus diyakini oleh seorang muslim, dan bagaimanakah sebaiknya ketika menyebut mereka :

“Dan tidaklah ketika disebutkan salah seorang dari para sahabat Rasulullah kecuali dengan sebaik-baik sebutan dan menahan diri dari perselisihan yang pernah terjadi kepada mereka, merekalah yang paling berhak untuk mencari solusi terbaik untuk mereka, dan berhusnudz dzon bahwa merekalah sebaik-baik madzhab”. (‘Aqidah Ahlu as Sunnah wal jama’ah fi Shahabatil Kiram: 2/734)

Abu Abdillah bin Baththah –rahimahullah- berkata pada saat menyampaikan tentang aqidah ahlus sunnah wal jama’ah: “Dan setelah ini kita akan menahan diri dari perselisihan yang pernah terjadi kepada para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Mereka telah menjadi saksi sejarah perjuangan Rasulullah, dan yang pertama kali meraih keutamaan, Allah telah mengampuni mereka, dan menyuruh anda untuk beristigfar untuk mereka, dan bertaqarrub kepada Allah dengan mencintai mereka, hal itu diwajibkan melalui sabda Nabi-Nya, dan Dia (Allah) Maha Mengetahui apa yang akan terjadi kepada mereka, dan mereka akan saling memerangi. Namun mereka dilebihkan derajatnya atas semua makhluk karena kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan, dan semua yang mereka perselisihkan sudah diampuni”. (Kitab asy Syarh wal Ibanah ‘an Ushulis Sunnah wad Diyanah).

Abu Utsman ash Shabuni berkata pada saat memaparkan tentang aqidah salaf dan ulama hadits: “Mereka berpendapat untuk menahan diri dari perselisihan yang pernah terjadi di antara para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan membebaskan lidah kita dari tuduhan buruk dan celaan kepada mereka, mereka berpendapat semoga Allah merahmati mereka semua, dan kita bersikap wala’ kepada mereka semuanya”. (Aqidah Salaf wa Ashhabul Hadits – Dhimna Majmu’atur Rasail al Muniriyah: 1/129)

Syekh Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Termasuk ushul ahlus sunnah wal jama’ah selamatnya hati dan lisan mereka kepada para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- , sebagimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (سورة الحشر:10)

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (QS. al Hasyr: 10)

Dan bentuk taat kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku, Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggamannya, jika salah seorang dari kalian besedekah emas seperti besarnya gunung Uhud, maka tidak akan sampai kepada dejarat mereka, tidak juga setengahnya”.

Dan mereka menerima apa yang telah tertera di dalam al Qur’an dan Sunnah dan Ijma’ tentang keutamaan dan derajat mereka.

Dan tidak meyakini bahwa semua para sahabat adalah ma’shum (terjaga dari dosa) baik dosa besar maupun dosa kecil, jadi secara umum mereka masih kemungkinan memiliki dosa, namun mereka memiliki derajat yang pertama kali masuk Islam dan keutamaan menemani perjuangan Rasulullah, yang menjadikan dosa mereka diampuni. Bahkan Allah mengampuni semua keburukan yang mereka lakukan, dan tidak mengampuni keburukan yang terjadi kepada orang-orang setelah mereka; karena mereka memiliki kebaikan yang tidak dilakukan oleh orang setelah mereka yang bisa menghapus keburukan.

Jika salah satu dari mereka terjerumus dalam dosa, ia (bersegera) bertaubat atau beramal kebaikan yang bisa menghapusnya, atau ia diampuni karena keutamaan lebih dahulu masuk Islam atau mendapatkan syafa’at Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau ia diuji di dunia dan lulus sampai Allah mengampuni mereka karenanya. Jika hal tersebut berkaitan dengan dosa-dosa yang jelas, lalu bagaimana dengan perkara ijtihad, sedangkan mereka juga umat berhak untuk berijtihad, jika benar mendapatkan dua pahala, dan jika salah mendapatkan satu pahala. Dan kesalahan mereka diampuni.

Bahwa kadar perbuatan mereka yang diingkari sangat sedikit tertutupi dengan keutamaan dan kebaikan mereka dari sisi keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad di jalan-Nya, hijrah bersama Rasulullah, perjuangannya, ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh.

Barang siapa yang memperhatikan sejarah mereka dengan ilmu dan hujjah yang nyata, dan keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, maka ia akan meyakini bahwa mereka adalah sebaik-baik makhlik setelah para Nabi dan Rasul, tidak ada yang menyerupai mereka, mereka adalah generasi pilihan umat ini yang merupakan sebaik-baik umat dan Allah memuliakannya”. (Majmu’ Fatawa: 3/152-156)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ahlus sunnah bersepakat akan wajibnya menahan diri untuk tidak mencela salah satu dari para sahabat karena kejadian yang pernah mereka alami, meskipun diketahui siapa di antara mereka yang benar misalnya; karena tidaklah mereka berperang antar sesame kecuali karena perbedaan ijtihad, dan Allah telah memaafkan yang bersalah dalam ijtihad, bahkan mereka mendapatkan satu pahala, dan yang benar diberi dua pahala”. (Fathul Baari: 13/34)

Pendapat seperti ini banyak sekali dari para ulama, dan lebih berhak untuk diterima; karena terjaga dari penyimpangan, dan mengetahui kebenaran sebaik-baik manusia setelah para Nabi.

Adapun tentang terbunuhnya Utsman dan Ali –radhiyallahu ‘anhuma-, tidak diragukan lagi bahwa keduanya dibunuh secara dzalim, kami bersaksi bahwa mereka termasuk penduduk surga, kami juga bersaksi bahwa ragu-ragu dalam masalah ini, atau bahkan ikut serta dalam kedzaliman tersebut, atau ridha kepadanya, atau mengetahui tapi tidak mengingkarinya, maka ia adalah sesat dan menyesatkan, mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Allah akan menghisab dan menghukumnya  pada hari kiamat atas perbuatannya.

قُلْ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (سورة الزمر: 46)

“046. Katakanlah: "ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya". (QS. Az Zumar: 46).

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam