Kamis 9 Syawal 1445 - 18 April 2024
Indonesian

Kondisi-Kondisi Dimana Seorang Suami Diperbolehkan Menjadikan Istrinya Merasa Terhimpit Agar Dia Mengembalikan Maharnya

146100

Tanggal Tayang : 19-10-2016

Penampilan-penampilan : 5322

Pertanyaan

Apakah menjadikan istri merasa terhimpit itu diharamkan secara muthlak ? Dan apakah diperbolehkan bagi suami menjadikan istrinya sengsara, merasa terhimpit dan mengganggunya agar dia menuntut khulu’ dan mengembalikan mahar kepada suaminya karena diketahui istrinya memiliki akhlak dan perangai yang buruk dan tidak menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri ? Dan bagaimana pula menggabungkan pemahaman antara ayat- ayat berikut :
Antara firman Allah Ta’ala :
( وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ )
“Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata ”.
dan firman Allah Ta’ala :
)وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا * وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ) النساء 21/ -20.
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An Nisaa’ / 20-21).
Dan firman Allah Ta’ala :
( ولا تمسكوهن ضراراً لتعتدوا )
“Dan janganlah kalian mempertahankan dan merujuki mereka – para istri – untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka...” QS Al Baqarah : 231.
Dan bagaimanakah memberikan alasan kepada orang yang mengatakan bahwasannya seorang suami tidak memiliki hak untuk menuntut kembali mahar yang telah dibayarkan kepada istrinya karena hal itu sama dengan mengambil hak istri setelah dia mendapatkan kehalalan darinya yang pada mulanya diharamkan atasnya ( yaitu kemaluannya )? Dan mengapa dihalalkan bagi suami mengambil mahar yang telah diberikan setelah dihalalkannya sesuatu yang sebelumnya diharamkan ??

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

.. 

Pertama :

Yang dimaksud dengan menyusahkan istri adalah menjadikannya terhimpit kehidupannya dan tidak nyaman agar dia menebus dari suami dengan menyerahkan maharnya, dan maksud dari menyengsarakan ini ada perinciannya :

Diperbolehkan menjadikan kehidupan istri terhimpit apabila istri melakukan kekejian, atau membangkang dalam meninggalkan yang wajib, atau dia melakukan perlawanan terhadap suami dan tidak mentaatinya, maka dijadikanlah kehidupannya terhimpit agar dia melakukan gugatan khulu’ dan menebus dari suaminya dengan menyerahkan maharnya. Dan diharamkan penyusahan ini jika sama sekali istri tidak melakukan hal tersebut diatas. 

Allah Ta’ala berfirman :

(  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ) النساء/19

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. An Nisaa’ / 19. 

Dan yang dimaksud kekejian adalah : zina secara umum, membangkang dan melakukan kemaksiatan, dan ucapan yang buruk atau jelek sebagaimana yang akan diterangkan.

Ibnu Katsir Rahimahullah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dalam firmannya :

“( لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا )

tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Terkait ayat tersebut : dahulu penduduk Yatsrib di masa jahiliyyah apabila meninggal seorang lelaki dari mereka, orang atau ahli waris yang mewarisi harta benda si mayyit tersebut akan mewarisi istrinya, lalu dia membuat sengsara kehidupan istri si mayyit sehingga dia bisa mewarisi hartanya, atau dia menikahkan wanita tersebut dengan orang yang ia kehendaki, dan dahulu penduduk Tihamah kaum lelakinya sangat buruk prilakunya terhadap istrinya hingga ia menceraikannya, dan mensyaratkan kepada istrinya agar ia tidak menikah lagi kecuali dengan lelaki yang ia kehendaki, sehingga dia menebus dari suaminya dengan sebagian harta yang telah diberikan suaminya kepadanya, maka Allah Ta’ala melarang yang demikian dari orang-orang beriman. Hadits riwayat Ibnu Abi Hatim ”.  

Kemudian Ibnu Katsir berkata : “ Dan firman Allah :

( وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ )

“ dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya ”. maksudnya adalah : Janganlah kalian menyusahkan mereka dalam mempergauli istri kalian dengan tujuan agar dia meninggalkan kepada anda maharnya atau sebagian dari maharnya atau salah satu hak dari hak-haknya kepada anda, atau sesuatu dari itu semua dengan cara kekerasan, paksaan atau penekanan. 

Dan Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan firman Allah :

( وَلا تَعْضُلُوهُنَّ )

“ dan janganlah kalian menyusahkan mereka ” adalah : dan janganlah melakukan kekerasan kepada mereka ( لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ ) karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya”, maksudnya adalah : seorang lelaki memiliki istri dan dia amat tidak menyukai perangai dan pergaulan istrinya tersebut, padahal dia memiliki kewajiban untuk membayar mahar bagi sang istri, maka dia menyusahkan istrinya agar dia menebus dirinya dari suaminya dan demikian juga sebagaimana yang dikatakan oleh ad Dlohhaak, Qatadah dan bukan hanya seorang selain mereka, dan pendapat ini yang diambil oleh Ibnu Jarir at Thobari. 

Adapun firman Allah Ta’ala :

( إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ )

“kecuali bila mereka melakukan kekejian yang nyata”, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Sa’id bin al Musayyab, As Sya’bi, Hasan al Bashri, Muhammad bin Shalih, As Suddi, Zaid bin Aslam dan Sa’id bin Abi Hilal mereka semua mengatakan maksud dari kekejian dalam ayat tersebut adalah : perbuatan zina, yaitu : apabila seorang istri melakukan perbuatan zina maka anda memiliki hak untuk meminta kembali mahar yang telah anda berikan kepadanya, yaitu dengan cara anda menyusahkan dan menjadikan dia terhimpit sehingga dia menuntut khulu’ kepada anda dan meninggalkan maharnya untuk anda, sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam surat Al Baqarah tersebut :  

( وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ) الآية[البقرة:229

 Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Al Baqarah / 229. 

Ibnu Abbas, ‘Ikrimah dan Ad Dlohhaak berkata : maksud dari perbuatan keji yang nyata adalah : Perbuatan membangkang, melawan dan melakukan kemaksiatan kepada suami.

Dan Ibnu Jarir berpendapat bahwasannya kekejian tersebut menyangkut semuanya yaitu : Zina, melakukan kemaksiatan, menentang suami, omongan yang kotor lagi jorok dan lain sebagainya.

 Ibnu Katsir menafsirkan : maksudnya adalah sesungguhnya semua semua perbuatan ini melegalkan menjadikannya susah dan terhimpit sehingga dia membebaskan dari hak-haknya, atau sebagiannya dan berpisah darinya, dan hal ini lebih baik. Wallahu A’lam. Dari Tafsir Ibnu Katsir ( 2 / 240 ). 

Dan didalam kitab “ Zaadul Mustaqni’” disebutkan : “ Maka jika menjadikannya susah itu karena kedzaliman agar dia menebus dirinya, dan bukan karena ia telah melakukan perbuatan zina, atau karena dia telah membangkang, atau karena meninggalkan kewajiban yang sifatnya fardlu ain, atau karena dia masih belia, atau karena hilang akalnya, atau karena sifat kekanak-kanakannya atau kerena dia seorang budak yang tidak diizinkan oleh tuannya maka dalam hal ini khulu’ dianggap tidak sah ”. 

As syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah mengatakan dalam penjelasannya tentang ungkapan : "ولم يكن لزناها أو نشوزها"(Dan bukan karena zina dan pembangkangan), maka jika istri Khulu’ dalam kondisi semacam ini tidak dianggap sah khulu’nya ; karena sesungguhnya suami telah menanggungkan denda pada istrinya, dan sungguh Allah Ta’ala telah berfirman : 

( وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ )

 “ dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata ” an Nisaa’ / 19.

Maka jika dia melakukan perbuatan selain sebab ini sebagaimana seseorang yang – kita berlindung kepada Allah dari sifat seperti ini – sangat rakus yang tidak takut kepada Allah, dan tidak memiliki rasa kasih sayang kepada sesama makhluk, tidak mencintai istrinya, dan dia mengatakan : tidak mungkin hartaku hilang sia-sia dan jadilah dia mulai menyusahkan istrinya dan menghalang-halangi hak-hak istrinya ; menjauhkannya dari tempat tidur agar nantinya pada akhirnya istrinya menebus dirinya dari suaminya, kami mengatakan : hal semacam ini haram bagi anda melakukannya karena Allah melarang dari hal tersebut.  

Dan ungkapan : ولم يكن لزناها(Bukan karena zina), maka jika dia melakukan selain perbuatan zina, seperti keleluasaannya dalam bercengkrama dengan anak-anak muda, berbicara dan menghubungi mereka melalui hand phone dan yang sejenisnya, maka apakah kami mengatakan : sesungguhnya hal semacam ini merupakan prilaku yang buruk yang memberikan peluang bagi suami untuk diperbolehkannya menyusahkannya agar istri menebus dirinya dari suaminya ? 

Kami menjawab : benar, dan kami menjadikan ungkapan : [ لزناها ] umum mencakup seluruh perbuatan zina seperti zina ; lisan, pandangan, pendengaran, gerak tangan, langkah kaki dan lain-lain sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :

أن العين تزني، والأذن تزني، واليد تزني، والرجل تزني

“ sesungguhnya mata itu berzina, telinga berzina, tangan berzina dan kaki berzina ” dan suami ini mengatakan : saya sudah tidak sabar lagi dengan perempuan ini, dengan kondisinya yang seperti ini, maka jadilah dia menyusahkan istrinya agar dia menebus dirinya dari suaminya, maka hal semcam ini diperbolehkan.

Meskipun ada orang yang mengatakan : Sesungguhnya firman Allah :

( إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ) “kecuali bila mereka melakukan kekejian yang nyata” dan obrolan atau pandangan bukanlah tergolong dari perbuatan-perbuatan keji, maka kami menjawab : memang benar akan tetapi ini semua merupakan sarana menuju kepada perbuatan keji, kemudian sesungguhnya banyak orang yang dia memiliki kecemburuan, jika istrinya berbincang-bincang dengan para lelaki atau bercengkrama dengan mereka. 

Dan ungkapan : أو نشوزها “atau pembangkangannya”, yaitu kemaksiatan yang dilakukan oleh istri kepada suaminya dalam hal-hal yang wajib atasnya untuk taat kepada suami, maka jika istri menolak untuk taat pada suami lalu kemudian suami menyusahkannya dan membuat sulit kehidupannya agar dia menebus dirinya maka hal semacam ini diperbolehkan. 

Ungkapan : أو تركها فرضا “ atau dia meninggalkan yang diwajibkan ” seperti dia meninggalkan shalat meskipun tidak sampai pada tingkatan kafir, atau meninggalkan puasa wajib, atau meninggalkan zakat dengan tidak membayarkannya atau meninggalkan segala macam yang diwajibkan, atau meninggalkan hijab, dengan mengatakan : saya akan keluar rumah dengan wajah terbuka, maka bagi suami diperbolehkan membuatnya susah jika tidak memungkinkan lagi mentarbiyahnya, adapun apabila masih ada kemungkinan untuk melakukan pembinaan kepada istrinya dan masih menyukainya maka tidak ada larangan untuk tetap tinggal bersamanya, sebagaimana disebutkan dalam “ As Syarkhul Mumti’ ” ( 12 / 462 ). Maka menjadi jelaslah kapan seorang suami boleh menjadikan istrinya susah agar dia mengajukan khulu’ kepada suaminya lalu kemudian dia menebus dirinya dari suaminya dengan mahar dan lainnya. 

Kedua :

Tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat setelahnya yaitu firman Allah Ta’ala :

)وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا * وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ) النساء 21/ -20.

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An Nisaa’ / 20-21).  

Bahkan ayat ini menegaskan akan diharamkannya harta istri, dan sesungguhnya harta tersebut tidak diperkenankan untuk mengambil dan merebutnya, maksudnya adalah : Apabila salah seorang dari kalian menghendaki untuk berpisah dengan istrinya dan menggantikannya dengan perempuan atau istri yang lain, maka hendaknya dia tidak mengambil sesuatu apapun dari apa yang telah diberikan kepada istrinya, meskipun hanya sedikit dari tumpukan harta bendanya. Maka mahar merupakan hak milik sang istri yang tidak halal mengambilnya kembali, melainkan jika dia memberikannya dengan kerelaan dirinya sendiri, atau dia menebus dirinya dengan harta tersebut dalam kondisi yang diperbolehkan bagi suami untuk menjadikannya terhimpit sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, atau dalam kondisi dimana dia tidak memungkinkan lagi mempertahankan dan tetap hidup bersama suaminya – dengan tanpa ada intimidasi dari suami – sebagaimana firman Allah Ta’ala : 

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ) الآية[البقرة:229 )

Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. QS Al Baqarah : 229. 

Dan hal ini ada sebagai penegasan dari firman Allah Ta’ala :  

21/ وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا ) النساء )

 Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An Nisaa’ / 21). 

Dan yang dimaksud “ Al Ifdlo’ ” di sini adalah hubungan suami istri, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas dan yang lainnya, dan maksudnya ; sesungguhnya mahar merupakan pengganti dari apa yang dihalalkan bagi suami untuk menikmati kehormatan istrinya, maka bagaimanakah dia akan mengambil maharnya kembali setelah terpenuhi keinginan dan hasratnya. 

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata : “ Maksudnya : Dan bagaimanakah kalian semua akan mengambil mahar dari istri kalian, padahal anda telah menggaulinya dan dia telah bercampur dengan anda ”. 

Ibnu Abbas, Mujahid, As Suddy dan bukan hanya mereka saja berkata : yang dimaksud Ifdlo’ adalah hubungan suami istri atau Jima’.

Dan telah disebutkan dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada sepasang suami – istri yang saling melontarkan pelaknatan satu sama lain setelah mereka berhenti dari pelaknatan tersebut :

( الله يعلم أن أحدكما كاذب. فهل منكما تائب )

“ Allah Maha mengetahui bahwasannya salah seorang di antara kalian berdua telah berdusta. Maka adakah di antara kalian berdua yang bertaubat ” hal ini beliau ulang-ulang sampai tiga kali. Maka berkatalah sang suami : Wahai Rasulullah harta bendaku – maksudnya adalah bagaimana dengan harta bendaku atau mahar yang telah aku berikan kepadanya – beliau menjawab :  

( لَا مَالَ لَكَ ، إِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا ، وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا ، فَذَاكَ أَبْعَدُ لَكَ

 ( Tidak ada lagi harta bagimu, jika engkau telah memberikannya sebagai mahar baginya maka hal itu sebagai pengganti dari apa yang telah dihalalkan bagi anda farjinya atau kemaluannya, dan jika engkau telah berdusta padanya, maka yang demikian itu semakin jauh dan merupakan kerugian bagimu ). 

Ketiga :

Adapun Firman Allah Ta’ala :

( وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ) البقرة/231

Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. QS Al Baqarah : 231.

Yang dimaksud disini adalah pelarangan agar tidak menahan dan merujuk kembali istri yang telah diceraikan pada masa iddah mereka jika memang tujuannya hanya untuk meniksa dan menyakiti mereka.

Ibnu Abbas, Mujahid, masruuq, Qatadah, Adl Dlohhaak, Ar Rabi’, Muqatil bin Hayyan dan bukan hanya mereka saja berkata : Dahulu seorang suami menceraikan istrinya, maka jika dia telah mendekati masa penghabisan atau dipenghujung iddahnya sang suami merujuknya kembali dengan tujuan menyakitinya, agar sang istri tidak pergi dan menikah dengan suami yang lain, kemudian suami menceraikannya kembali, maka jika dia telah mendekati masa penghabisan atau dipenghujung iddahnya sang suami menceraikannya agar iddahnya semakin lama, maka Allah Ta’ala melarang yang demikian. Dari “ Tafsir Ibnu Katsir ”. 

Keempat :

Ucapan orang yang mengatakan : “ Tidak layak dan tidak berhak bagi seorang suami yang meminta kembali mahar yang telah dibayarkannya kepada istrinya, karena yang demikian itu sama halnya dia mengambil kembali haknya ketika dia telah dihalalkan dari istrinya sesuatu yang sebelumnya diharamkan atasnya ” hal ini secara umum dianggap shahih, dan dikecualikan dari hal tersebut apa yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam ayat : 

(  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ(

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. 

Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dan dikecualikan juga : jikalau seorang istri yang meminta untuk berpisah dari suaminya karena ada hal yang tidak ia sukai dari suaminya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits tentang istrinya Tsabit bin Qais bin Syamas Radliallahu Anhu ; Sungguh dia mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam seraya berkata : 

يا رسول الله ، ثابت بن قيس لا أعيب عليه في خلق ولا دين ، ولكن أكره الكفر في الإسلام . فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم : أتردين عليه حديقته ؟ . وكان قد أصدقها حديقة . قالت : نعم . فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( اقبل الحديقة ، وفارقها ) أخرجه البخاري (5273

Wahai Utusan Allah, Tsabit bin Qais, saya tidak mencela akhlak dan agamanya, akan tetapi saya tidak menyukai kekufuran setelah datangnya Islam, lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepadanya : apakah engkau mau mengembalikan ladang kepadanya ? Dimana Tsabit bin Qais telah memberikan mahar berupa sebidang ladang kepada istrinya. Istri Tsabit menjawab, “Ya. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada Tsabit : ( Ambillah ladangmu, dan ceraikan dia). HR. Bukhari ( 5273 ). 

Jadi meskipun keberadaan mahar sebagai bentuk pengganti dihalalkannya kehormatan seorang wanita, tidak ada larangan dikembalikan lagi kepada suami dalam kondisi semacam ini, karena memang ada bukti nyata yang bisa dijadikan acuan di dalam syariat dan juga dalam perspektif yang benar.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam