Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Menikah Sebelum Berakhirnya Masa Iddah Dari Suami Pertama, Bagaimanakah hukumnya ?

153793

Tanggal Tayang : 29-09-2016

Penampilan-penampilan : 79800

Pertanyaan

Suami saya telah menjatuhkan talak kepada saya sebanyak tiga kali, kemudian saya menikah dengan laki-laki lain, karena saya tidak mempunyai kerabat maka saya menikahkan diri saya sendiri, namun telah terjadi kesalahan dalam menghitung masa iddah ternyata kurang 10 hari, namun suami saya yang kedua belum menyentuh saya kecuali setelah dua minggu karena suatu safar yang dilakukan olehnya, apakah pernikahan saya tersebut adalah benar atau tidak dan apa yang harus saya lakukan ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Masa iddah seorang wanita yang masih haid adalah tiga kali haid, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

)وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ) البقرة/228

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”. (QS. Al Baqarah: 228)

Dan jika wanita tersebut tidak haid atau sudah behenti haid, maka masa iddahnya adalah 3 bulan, dan jika sedang hamil maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

(وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ) الطلاق/4

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. ath Thalaq: 4)

Para ahli fikih telah bersepakat bahwa wanita yang masih berhaid maka masa iddahnya adalah 3 quru’ berdasarkan ayat di atas, kemudian mereka berbeda pendapat terkait kata quru’, apakah bermakna haid atau masa suci ?, sesuai dengan beberapa dalil yang merupakan madzhab Hanafiyah dan Ahmad bahwa al quru’ adalah haid, jika masa haidnya telah terulang tiga kali, maka masa iddahnya berakhir dan dibolehkan menikah lagi dengan laki-laki lain.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa al quru’ adalah masa suci dari haid, yang merupakan madzhab Malikiyah dan Syafi’iyyah maka berakhirnya masa iddah seorang wanita adalah jika dia melihat darah pada haid yang ketiga, jika dia telah dicerai pada masa suci, atau dengan melihat darah haid pada haid yang keempat, jika suaminya menceraikannya pada saat dia haid”.  (al Mughni: 8/81-84)

Kedua:

Jika akad nikah telah dilakukan setelah berlalunya masa haid, maka pernikahan tersebut adalah sah.

Dan jika akad nikah yang kedua dilakukan sebelum masa iddah berakhir, maka pernikahan tersebut adalah batil, kedua mempelai wajib dipisahkan, kemudian anda harus menyempurnakan masa iddah anda dari suami yang pertama anda.

Disebutkan dalam al Mausu’ah al Fiqhiyah (29/346) :

“Para ahli fikih bersepakat bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk menikahi wanita yang masih berada pada masa iddah dengan semua penyebabnya, karena dicerai, atau karena suaminya meninggal dunia, atau karena dipisahkan atau karena adanya syubhat, baik talak yang masih bisa rujuk (raj’iy) atau talak tidak bisa rujuk (bain), baik bain sugro maupun bain kubro. Yang demikian itu untuk menjaga percampuran nasab satu sama lain, menjaga hak dari suami sebelumnya. Jika akad nikah dilakukan pada masa iddah maka solusinya wajib dipisahkan kedua mempelai tersebut, mereka berhujjah dengan firman Allah –Ta’ala-:

( ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب أجله )  

“Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya”. (QS. Al Baqarah: 235)

Maksud dari ayat di atas adalah sempurnanya masa iddah, yaitu; jangan pernah mempunyai keinginan untuk menikahinya selama masa iddah atau janganlah mengadakan akad nikah sampai masa iddah yang telah ditetapkan oleh Allah berlalu.

Di dalam al Muwatha’ disebutkan: Bahwa Thulaihah al Asadiyah sebelumnya adalah istri dari Rasyid ats Tsaqafi lalu dia menceraikannya, kemudian dia menikah pada masa iddahnya, maka Umar bin Khattab memukulnya dan memukul suaminya dengan pukulan kasih sayang dan beliau memisahkan antara keduanya. Kemudian Umar berkata:

“Wanita manapun yang menikah pada masa iddahnya, maka jika yang menikahinya belum mensetubuhinya maka keduanya harus dipisah, kemudian dia melanjutkan masa iddahnya dari suami sebelumnya, lalu jika dia masih mau maka dia boleh menjadi peminang kembali, dan jika dia telah mensetubuhinya maka wajib dipisahkan kemudian dia melanjutkan masa iddahnya dari suami pertamanya, kemudian dia menjalani masa iddahnya dari suami keduanya kemudian dia tidak boleh menikahinya lagi selamanya”.

Atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- di atas mempunyai arti bahwa jika dia menikah sebelum selesainya masa iddahnya, maka dia berada di antara dua hal:

Pertama: Melaksanakan akad nikah namun belum bersetubuh: Wajib dipisahkan, menyempurnakan masa iddahnya, dan bagi suami yang kedua (baru) boleh menikahinya.

Kedua: Melaksanakan akad nikah dan sudah bersetubuh, maka wajib pula dipisahkan, lalu dia menyelesaikan masa iddahnya dari suami pertamanya, lalu melanjutkan masa iddah dari suami yang kedua, dan diharamkan baginya untuk menikahinya lagi selamanya, pendapat ini adalah madzhab Malikiyah dan salah satu pendapat Hanabilah, sedangkan menurut jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mereka berpendapat bahwa bagi suami yang kedua (baru) masih boleh menikahinya lagi setelah masa iddahnya berlalu”.

Namun Hanabilah menambahkan dan berkata: “Tidak boleh menikahinya lagi kecuali setelah berlalunya kedua masa iddah, iddah dari suami sebelumnya dan iddah dari suami keduanya”. Disebutkan dalam Mathalib Ulin Nuha: “Bagi suami kedua yang telah menikahinya pada masa iddahnya (dari suami sebelumnya) dan telah mensetubuhinya, bisa menikahinya lagi setelah berlalunya dua masa iddah; karena sebelum selesainya masa iddah dari suami pertamanya dia telah menikahinya dan masuk pada masa iddah orang lain, sedangkan menunggu selesainya masa iddah suami kedua karena iddah tersebut bukan menjadi haknya, dan pernikahan tersebut tidak berdampak apapun, akan tetapi masa iddah tersebut adalah hak anak maka dia tidak boleh menikah pada masa tersebut seperti pada masa iddah orang lain”.

Baca: Al Muntaqa/Al Baji (3/317), Mathalib Ulin Nuha (5/97, 577), Ahkamul Qur’an/Al Jashshash (1/580) dan Fatawa Lajnah Daimah (18/248).

Pendapat yang kuat adalah jika pihak wanita telah menyempurnakan masa iddahnya dari suami sebelumnya, maka dibolehkan bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan tidak membutuhkan masa iddah darinya. (Asy Syarhul Mumti’: 13/387)

Kesimpulannya adalah:

Jika akad nikah dilaksanakan sebelum selesainya masa iddah dari suami sebelumnya, maka pernikahan tersebut adalah batil, maka anda wajib dipisahkan dari suami anda yang kedua, dan menyelesaikan masa iddah dari suami pertama anda, kemudian setelah itu baru dibolehkan bagi suami kedua anda untuk melaksanakan akad nikah lagi jika anda setuju dengannya, semua itu wajib melalui wali anda, dengan dihadiri oleh kedua orang saksi yang adil, tidak boleh seorang wanita mengakadkan dirinya sendiri pada pernikahannya.

Untuk penjelasan lanjutan bisa dibaca jawaban soal nomor: 89582 dan 2127

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam