Sabtu 11 Syawal 1445 - 20 April 2024
Indonesian

Hukum Orang Yang Pergi Haji Sementara Dia Belum Membayar Biaya Persalinan Istrinya

209559

Tanggal Tayang : 22-07-2018

Penampilan-penampilan : 1781

Pertanyaan

Apakah diperbolehkan bagi seseorang pergi haji tanpa membayar persalinan kelahiran istrinya atau melihat anaknya dan memberikan nafkah kepadanya. Telah terjadi khulu’ pada pihak istri setelah melahirkan karena akhlaknya yang jelek disela-sela akad pernikahan. Apa yang akan terjadi dari sisi diterima hajinya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Tidak diwajibkan haji kecuali bagi orang yang mampu berdasarkan firman Allah Ta’ala:

( وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ) آل عمران : 97

 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” QS. Ali Imron: 97.

Diantara arti mampu adalah mampu sisi finansial. Ketentuannya adalah dia memiliki nafkah yang mampu untuk diri dan keluarganya sampai dia kembali lagi. Seperti telah dijelaskan dalam fatwa no. 109334

Siapa yang istrinya akan melahirkan, sementara dia tidak mempunyai dana yang cukup haji dan pengeluaran kelahiran. Maka hendaknya dia mengakhirkan haji pada tahun depan. Karena biaya persalinan wajib dibebankan atas harta suami. Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam fatwa no. 146851.

Kalau dia menyalahi dan mengambil dana khusus biaya persalinan untuk haji, dan meninggalkan istrinya tanpa dana,  maka dia telah melakukan dosa. Dan kadar nafkah yang harus dikeluarkan yang tidak ditunaikan termasuk dana haram dan berhaji dengannya. Para ulama’ fikih berbeda pendapat tentang hukum orang berhaji dengan dana haram, mayoritas mengatakan hajinya sah tapi berdosa dan ini yang kuat. Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kalau berhaji dengan dana haram, atau naik kendaraan tanpa seizin pemiliknya, dia berdosa dan hajinya sah dan diterima. Menurut kami (maksudnya mazhab Syafi’i). Dan ini juga pendapat Abu Hanifah, Malik dan Abdari. Termasuk pendapat mayoritas ulama’ fikih.” Selesai dari Majmu’ Syarkh Al-Muhazab, (7/62). Dan telah ada penjelasan hal ini dalam fatwa no. 48986.

Sebagian ulama’ seperti Imam Ahmad berpendapat bahwa hajinya tidak diterima.

Kalau dia mempunyai dana yang cukup untuk haji dan biaya persalinan, maka hendaknya dia bersegera menunaikan haji. Tidak diharuskan berdiam bersama istrinya waktu melahirkan. Kalau sekiranya istrinya ada keluarga suami atau keluarga istri yang membantunya dan membantu urusannya waktu melahirkan. Karena yang wajib bagi seorang muslim, kapan dia mampu, hendaknya bersegera menunaikan kewajiban haji. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

( تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ - يَعْنِي الْفَرِيضَةَ فإن أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ ) رواه أحمد (2721) وصححه الألباني في الإرواء (990). وقوله صلى الله عليه وسلم : ( مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ ) حسنه الألباني في صحيح أبي داود (1524

 “Bersegerahlah untuk berhaji –maksudnya haji wajib – karena salah satu diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpa kepadanya.” HR. Ahmad, (2721) dishohehkan oleh Albany di ‘Irwa’, (990)

Dan sabda beliau sallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang ingin haji hendaknya disegerakan.” Dihasankan oleh Albani di ‘Shoheh Abi Dawud, (1524).

Akan tetapi kalau disamping istri tidak ada orang yang membantunya, dan akan kesulitan dengan kepergian suaminya menunaikan kewajiban haji, kesulitan yang benar terjadi bukan sekedar perkiraan semata, maka dalam kondisi seperti ini, suami diperbolehkan mengakhirkan hajinya pada tahun depan. Berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

( وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ) آل عمران : 97

 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” QS. Ali Imron: 97.

Dia takut (terjadi sesuatu) kepada istrinya termasuk dikatakan belum mampu.

Diingatkan kepada penanya bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan meminta cerai atau khulu’ dari suaminya kecuali ada sebab yang dianggap secara benar dalam agama, yang dapat menghalangi keberlangsungan bersamanya. Seperti muamalah yang jelek, meremehkan hak-hak Allah atau istri menjauh dari suami dimana dia tidak dapat menunaikan hak suami. Hal itu berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, (2226). Tirmizi, (1187) dan Ibnu Majah, (2055) dari Tsauban radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة ) صححه الألباني في صحيح أبي داود .

“Siapa wanita yang meminta kepada suaminya cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Maka diharamkan baginya bau surga.” Dinyatakan shoheh oleh Albani di Shoheh Abu Dawud.

Dan dari Uqbah bin ‘Amir radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( إن المختلعات هن المنافقات ) رواه الطبراني في الكبير (17/339) وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم (1934

“Sesungguhnya wanita yang minta cerai dari suaminya (Khulu’) adalah munafik.” HR. Tobroni di AlKabir, (17/339) dan dinyatakan shoheh oleh Albani di Shoheh Al-Jami’ no. 1934.

Wallahua’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam