Jum'ah 10 Syawal 1445 - 19 April 2024
Indonesian

Manakah Yang Didahulukan, Mengandung Atau Menunaikan Kewajiban Haji

Pertanyaan

Aku dan istriku telah memprogramkan pergi haji tahun ini. Akan tetapi kami harus menunda sampai tahun depan. Akan tetapi pada tahun depan kami mempunyai planing lainnya yaitu mengandung. Istriku bersikeras akan hal itu. Tidak mungkin kami akhirkan karena kami telah menikah lebih dari dua tahun. Bukan suatu yang bijak menunda mengandung lebih dari itu. Kesimpulannya, kaim fokus untuk haji atau untuk mengandung. Saya telah berusaha meyakinkan untuk menunggu tahun depannya lagi sampai kami menunaikan haji. Karena hal itu suatu kewajiban. Akan tetapi dia juga berpendapat bahwa mengandung juga suatu kewajiban. Dan ini juga saya setuju tidak ragu lagi. Maka dua kewajiban ini manakah yang lebih utama didahulukan?

Ringkasan Jawaban

Kesimpulannya, seyogyanya anda berusaha untuk mengandung.  Kemudian ketika mudah bagi anda berhaji, maka lakukan haji. Kalau belum mudah, maka anda tunda sampai Allah mudahkan anda untuk hal itu. Wallahu a’lam .

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Siapa yang mampu berhaji, badan dan hartanya, maka dia wajib segera menunaikan haji. Tidak boleh menundanya. Hal ini telah dijelaskan dalam fatwa no. 41702.

Kedua:

Mengandung anak termasuk tujuan dasar di antara tujuan dalam pernikahan. Berdampak kemaslahatan banyak. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menganjurkan dalam banyak hadits. Yang kami nasehatkan kepada anda, hendaknya segera mengandung. Jangan diakhirkan lebih dari apa yang telah anda lakukan. Karena anda telah sebutkan menunda sampai dua tahun. Karena anak-anak termasuk kenikmatan yang agung di antara nikmat Allah ta’ala kepada manusia.

Haji meskipun wajib secara langsung –seperti tadi- akan tetapi dibolehkan untuk diakhirkan kalau ada uzur seperti itu. Dan anda belum tahu kapan Allah berikan nikmat anak kepada anda. Jika Allah berikan nikmat anak, hal itu jangan sampai menjadi penghalang anda untuk menunaikan haji apabila Allah berikan sebab kemudahan bagi anda.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Seorang wanita bertanya, ‘Saya ingin menunaikan haji untuk pertama kali, saya berkeluarga. Dan saya mempunyai banyak anak kecil. Yang terkecil berumur lima bulank, dan saya menyusuinya dengan ASI. Akan tetapi dia dapat makanan lain selain dari susu. Suami melarangku menunaikan haji dengan alasan menyusui ASI. Sementara saya tidak ingin membawa bersamanya khawatir terkena penyakit dan perubahan cuaca. Begitu juga khawatir dia akan mengganggu waktuku dalam haji. Apakah hal ini termasuk perkara yang membuatku dibolehkan meninggalkan haji pada tahun ini?

Beliau menjawab, “Tidak mengapa bagi wanita ini dalam kondisi seperti ini menunda hajinya pada tahun depan. Pertama, karena mayoritas ulama mengatakan bahwa haji tidak wajib secara langsung. Bahwa seseorang dibolehkan menundanya meskipun dia mampu.

Kedua, wanita ini perlu untuk tetap bersama karena memelihara anaknya, sedangkan merawat anak merupakan kebaikan yang agung. Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

المرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها

“Wanita bertugas mengelola  rumah suaminya dan bertanggungjawab dengan tugasnya.”

Saya katakan, tunggu sampai tahun depan. Kami memohon kepada Allah semoga Allah memudahkan urusannya dan ditakdirkan kebaikan untuknya.” (Majmuah Fatawa Wa Rasail Al-Utsaimin, 21/66).

Ada sebab lain, agar anda bersegera mengandung dan tidakk menunda lebih lama lagi keinginan suami anda untuk mendapatkan anak-anak. Karena anak adalah hak suami istri. Kalau salah satu memintanya, maka pihak lain tidak boleh menolak atau menunda kecuali ada uzur yang memperbolehkan hal itu.

Sementara haji, meskipun itu merupakan suatu kewajiban yang tidak diragukan, akan tetapi diwajibkan bagi yang mampu. Kehamilan dan melahirkan menjadi penghalang kemampuan. Perlu diketahui bahwa teraihnya kesanggupan (istitho’ah) atau mendapatkan syarat wajib haji itu bukan kewajiban bagi orang yang terkena beban kewajiban. Hal itu tidak wajib baginya.

Kalau dia fakir, hendaknya dia bekerja mengumpulkan harta sehingga menjadikannya dia mampu dari sisi finansial. Kalau dia sakit, maka dia tidak wajib haji baginya. Hendaknya dia berobat agar mendapatkan sebab sehat sehingga meraih  kemampuan badan untuk haji. Dan begitulah seterusnya.

Syarat mampu dan semisalnya adalah apa yang diungkapkan dengan ‘Apa yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya’. Maksudnya, bahwa kewajiban ibadah tidak berada  dalam tanggungan orang yang terkena kewajiban, kecuali dengan mendapatkan hal itu. Dan mereka mengatakan, bahwa untuk mendapatkannya tidak wajib bagi mukallaf (orang yang terkena kewajiban).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Permasalahan ini disebut dengan ungkapan‘Sesuatu kewajiban belum sempurna kecuali dengannya maka ia termasuk wajib.’ Sebagian orang keliru dengan membagi hal itu menjadi:

- Sesuatu yang di luar kemampuannya seperti kesehatan badan, bilangan dalam shalat Jumat dan semisanya, jika itu perkara yang dia tidak kuasa mengaturnnya.

- Sesuatu yang berada dalam kemampuannya, seperti menempuh perjalanan haji dan membasuh bagian kepala dalam berwudu serta menahan sebagian malam dalam puasa dan semisal itu.

Mereka mengatakan, “Sesuatu kewajiban yang secara mutlak tidak sempurna kecuali dengannya, jika dia mewujukannya maka hal itu termasuk suatu kewajiban.”

Pembagian ini salah, masalah yang mereka sebutkan adalah syarat wajib. Kewajiban itu belum sempurna kecuali dengannya. Jika sesuatu itu menjadikan sebuah kewajiban menjadi tidak sempurna, maka sesuatu itu tidak wajib terwujud bagi seorang hamba menurut kesepakatan umat Islam. Baik dia mampu atau tidak. Seperti kemampuan dalam haji, memenuhi nishab zakat. Seorang hamba kalau dia mampu haji, maka dia wajib menunaikan haji. Kalau dia memiliki nishab zakat, maka dia wajib berzakat. Maka kewajiban tidak sempurna kecuali dengan hal itu. Namun dia tidak diwajibkan mendapatkan kemampuan dalam haji dan tidak (diwajibkan) memiliki nishab.

Oleh karena itu, orang yang mengatakan bahwa kemampuan dalam haji adalah memiliki harta sebagaimana pendapat mazhab Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad, mereka semua tidak mewajibkan mencari harta (untuk haji). (Daru Ta’arud Al-Aqli Wan Nali, 1/211-212. Silahkan lihat juga Al-Muswadah Fi Usulil Fiqhi, 1/52).

Ibnu Muflih rahimahullah mengatakan, “Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka tidak wajib (mendapatkannya) menurut kesepakatan (ulama),  baik dia mampu atau tidak mampu. Seperti mencari uang untuk berhaji dan kaffarah… atau tidak (mampu) seperti tangan untuk menulis, kehadiran imam dan bilangan dalam shalat Jumat.” (Usul Al-Fiqh, Karangan Ibnu Muflih, 1/211).

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam