Jum'ah 10 Syawal 1445 - 19 April 2024
Indonesian

HUKUM IED DAN SUNNAH YANG ADA DIDALAMNYA

Pertanyaan

Saya ingin mengetahui beberapa sunah dan hukum yang dilakukan dalam ied (hari raya)?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Allah telah menetapkan sekian ketetapan dalam Ied (hari raya), di antaranya:

Pertama:

Dianjurkan bertakbir di malam Ied, dimulai sejak matahari terbenam di akhir bulan Ramadan hingga kedatangan imam untuk shalat. Redaksi takbir adalah ‘Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamd’ atau bertakbir tiga kali dengan  mengucapkan ‘Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa ilaha Illallahu, Allahu Akbar Allahu Akbar, Walillahil Hamd’. Semua itu dibolehkan.

Dianjurkan mengeraskan suaranya dengan zikir itu, baik di pasar, masjid maupun di rumah-rumah. Sementara untuk para wanita tidak (dianjurkan) mengeraskan suaranya.

Kedua:

Makan kurma secara ganjil sebelum keluar untuk berhari raya. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak keluar pada hari raya Iedul Fitri sebelum beliau memakan kurma secara ganjil. Cukup memakannya  dengan ganjil sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam.

Ketiga:

Memakai pakaian yang terbaik. Ini untuk laki-laki. Sementara bagi para wanita tidak dianjurkan  memakai pakaian indah ketika keluar ke tempat shalat Ied. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu  alaihi    wa sallam: “Dan hendaknya para wanita keluar dengan pakaian biasa.” Yaitu pakaian biasa bukan pakaian berhias. Diharamkan bagi para wanita keluar dalam kondisi memakai minyak wangi dan bersolek.

Keempat:

Sebagian ulama menyarankan untuk mandi sebelum menunaikan shalat Ied. Karena hal itu ada riwayat dari sebagian ulama salaf. Mandi untuk shalat Ied disunnahkan sebagaimana dalam shalat Jum’at,  karena saat itu orang-orang berkumpul. Maka, jika seseorang mandi, hal itu adalah baik.

Kelima:

Menunaikan shalat Ied. Umat Islam telah bersepakat (ijma) tentang disyariatkannya pelaksanaan shalat Ied. Sebagian diantara mereka mengatakan, ia adalah sunnah. Sebagian lain mengatakan  Fardu  Kifayah. Sebagian lagi mengatakan Fardu Ain, barangsiapa meninggalkannya, maka dia berdosa.   Mereka berdalil bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan (untuk menghadirinya) bahkan termasuk gadis pingitan dan para budak yang biasanya tidak keluar (rumah).

Di anjurkan untuk menghadiri tempat shalat Ied, kecuali wanita haid, dia dipisahkan dari tempat shalat, karena wanita haid tidak diperkenankan berada di dalam Masjid. Meskipun dia dibolehkan melewati masjid, akan tetapi dilarang berdiam diri di dalamnya.

Yang lebih kuat menurutku berdasarkan dilil-dalil yang ada, bahwa shalat Ied adalah fardu ain. Maka  diwajibkan bagi setiap lelaki untuk menghadiri shalat Ied kecuali orang yang mempunyai uzur.  Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,  rahimahullah.

Adapun imam, hendaknya dia membaca dalam rakaat pertama ‘Sabbihis marabbikal a’la (Surat Al-A’la), sedang pada rakaat kedua membaca ‘Hal ataaka haditsul Gasyiyah (surat Al-Ghosiyah)’. Atau membaca surat ‘Qaff’ pada rakaat pertama, dan surat Al-Qamar pada rakaat kedua. Kedua riwayat tersebut  shahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam.

Keenam:

Kalau shalat Jum’at dan Ied bertemu dalam satu hari. Maka shalat Ied ditunaikan, shalat Jum’at pun  ditunaikan. Sebagaimana tampak dalam hadits An-Nu'man bin Basyir yang diriwayatkan oleh Muslim     dalam shahihnya yang menunjukkan akan hal itu. Akan tetapi, siapa yang menghadiri shalat Ied  bersama imam, jika suka, dia dapat ikut shalat jum’at, tapi jika tidak ingin, cukup baginya shalat Zuhur saja.

Ketujuh:

Di antara hukum shalat Ied, menurut mayoritas ulama, apabila seseorang datang di tempat shalat (di lapangan) sebelum Imamnya datang, maka hendaknya dia langsung duduk tanpa shalat dua rakaat. Karena Nabi sallalahu alaihi wa sallam, ketika melakukan shalat Ied, beliau menunaikan shalat (Ied) dua rakaat.  Beliau tidak shalat sebelum maupun sesudahnya.

Sebagian ulama berpendapat, kalau seseorang datang , maka tidak dibolehkan duduk sebelum shalat dua rakaat. Karena tempat shalat Ied termasuk masjid. Dengan dalil, wanita haid dilarang (masuk ke  dalamnya). Maka dengan demikian, tempat tersebut memiliki hukum masjid, dan hal itu menandakan bahwa ia adalah masjid. Dengan demikian, maka (tempat itu) tercakup dalam keumuman sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

 إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين

“Kalau salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka jangan duduk sebelum dia menunaikan shalat dua rakaat.”

Adapun Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak shalat sebelum dan sesudahnya, hal itu karena apabila  beliau datang, maka shalat Ied dimulai. Maka dengan demikian, telah ada ketetapan bahwa di tempat shalat Ied (dibolehkan menunaikan) tahiyyatul masjid sebagaimana ketetapan tersebut berlaku bagi   seluruh masjid. Sedangkan kalau kita berpedoman dengan hadits tersebut (bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak shalat sebelum dan sesudah shalat Ied) lalu berkesimpulan bahwa  di masjid tempat shalat Ied tidak ada tahiyyatnya, maka seharusnya kita berkesimpulan bahwa dalam masjid Jum’at pun tidak ada tahiyyatnya. Karena Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam biasanya  ketika datang ke masjid Jum’at langsung berkhutbah kemudian shalat dua rakaat. Kemudian pulang dan shalat  rawatib di rumahnya. Beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya.

Pendapat yang kuat menurut kami adalah bahwa di masjid Ied (dibolehkan) menunaikan shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Meskipun begitu, satu sama lain (yang membolehkan dan yang tidak) tidak boleh saling mengingkari masalah ini. Karena ini adalah masalah perbedaan, dan tidak selayaknya mengingkari dalam masalah yang diperselisihkan, kecuali kalau memang ada dalil yang sangat jelas. Maka, yang shalat (tahiyatul masjid) tidak diingkari, dan yang  langsung duduk, juga tidak diingkari.

Kedelapan:

Di antara hukum yang terkait dengan hari raya (Iedul fitri) adalah diwajibkannya membayar zakat   fitrah. Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk mengeluarkannya  sebelum shalat Ied. Dibolehkan mengelaurkannya sehari atau dua hari sebelum Iedul Fitri, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma yang dalam riwayat Bukhari, ‘Dahulu mereka memberikan (bahan) makanan sehari atau dua hari sebelum Iedul Fitri’.

Kalau dikeluarkan setelah shalat Ied, maka hal itu tidak dianggap sebagai zakat fitrah. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.

من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات

“Siapa yang menunaikannya (zakat fitrah) sebelum shalat, maka ia adalah zakat yang diterima. Dan  siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia seperti shadaqah-shadaqah lainnya.”

Maka diharamkan seseorang  menunda zakat fitrah hingga setelah shalat Ied. Jika ditunda tanpa uzur, maka ia adalah zakat yang tidak diterima. Kalau ada uzur, seperti dalam safar sementara tidak ada padanya sesuatu untuk dikeluarkan atau tidak ada orang yang diberikan atau dia menggantungkan kepada keluarganya untuk mengeluarkannya, dan keluarganya juga menggantungkan kepadanya.    Maka, jika demikian, hendaknya dia keluarkan zakatnya saat kondisinya telah memungkinkan    meskipun setelah shalat dan dia tidak berdosa karena ada uzur.

Kesembilan:

Sebagian orang memberikan ucapan selamat kepada sebagian lainnya. Akan tetapi pelanggaran yang seringkali terjadi di tengah masyarakat adalah adanya laki-laki yang masuk ke rumah lalu  menyalami para wanita yang tidak menutup aurat tanpa adanya mahram. Ini merupakan kemungkaran di atas kemungkaran.

Kami dapatkan sebagian orang menjauhi orang yang tidak mau bersamalan dengan wanita yang bukan mahramnya. Merekalah yang telah bersikap zalim bukan dia (yang tidak bersalaman dengan wanita bukan mahram) yang bersikap zalim. Merekalah yang memutuskan hubungan, bukan dia. Akan tetapi seharusnya dia menjelaskan kepada mereka dan mengarahkannya untuk bertanya kepada orang yang dipercaya dari kalangan ulama untuk mengetahui (kebenaran). Dan mengarahkan mereka agar tidak marah hanya karena ingin mengikuti kebiasaan bapak dan nenek moyangnya. Karena hal itu tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.

Jelaskan kepada mereka, kalau mereka melakukan hal itu, seperti  apa yang Allah Ta’ala ceritakan   dalam firmanNya:

وَكَذَلِكَ مَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِى قَرْيَةٍ مِّن نَّذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَـارِهِم مُّقْتَدُونَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya  kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (QS. Zukhruf: 23)

Sebagian orang biasanya pergi ke kuburan pada hari raya Ied untuk memberikan ucapan selamat  kepada penghuni kubur. Penghuni kubur tidak memerlukan ucapan selamat, mereka tidak puasa dan tidak juga menunaikan shalat.

Sedangkan ziarah kubur tidak dikhususkan pada hari raya, hari Jum’at atau hari (tertentu). Telah ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau ziarah kubur di malam hari. Sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiallahu anha. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

زوروا القبور فإنها تذكركم الآخرة

“Ziarahilah kuburan, karena ia mengingatkan kalian tentang akhirat.”

Ziarah kubur adalah bagian dari ibadah, sedangkan ibadah tidak dianggap sebelu sesuai  dengan  ketentuan syariat. Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak mengkhususkan ziarah kubur pada hari   raya dan tidak selayaknya mengkhususkan hal itu.

Kesepuluh:

Dianjurkan bagi yang pergi menunaikan shalat Ied, untuk menempuh jalan yang berbeda di waktu pulangnya. Mencontoh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Hal ini tidak disunnahkan pada shalat-shalat lainnya, tidak juga pada shalat jum’at atau lainnya. Akan tetapi dikhususkan hanya pada shalat Ied.

Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 16/ 216-223.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam