Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Kenyataannya, banyak masalah fiqih terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Jika orang awam yang tidak dapat mengkaji kitab para ulama lalu dia beramal sesuai yang paling mudah baginya, maka ini haram. Karena itu para ulama berkata, “Siapa yang mencari-cari keringanan, maka dia akan menjadi orang fasik.’ Telah diketahui bahwa pilihan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah, sebagaimana disebutkan penanya, bahwa orang yang haji Tamatu, cukup bagiya sai yang pertama dia lakukan saat umrah. Dia memiliki sejumlah dalil yang di dalamnya terdapat syubhat. Akan tetapi, pendapat yang benar adalah bahwa orang yang melakukan haji Tamatu, dia harus melakukan dua kali sai; Sai haji dan sai umrah. Sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiiallahu anha dan Ibnu Abbas radiallahu anhuma dan keduanya terdapat dalam shahih Bukhari, dan inilah pendapat yang dipakai oleh jumhur ulama. Kajiannya memang menunjukkan demikain, karena haji dan umrah dalam haji tamatu, satu sama lain adalah ibadah yang terpisah, karena itu, jika umrahnya rusak, hajinya tidak rusak. Jika hajinya rusak, umrahnya tidak rusak. Jika seseorang melakukan salah satu larangan ihram dalam umrah, maka hukumnya tidak berlaku dalam haji. Jadi, haji adalah ibadah terpisah dengan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan larangan-larangannya. Umrah juga terpisah dengan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan larangan-larangannya. Maka berdasarkan riwayat yang ada serta kajiannya menunjukkan bahwa masing-masing umrah dan haji di lakukan sai bagi orang yang lakukan haji tamatu.
Oleh karena itu, jika anda mengikuti pendapat syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullalh berdasarkan fatwa dari orang yang anda percaya dan amanah, maka tidak ada kewajiban apa-apa bagi anda. Akan tetapi, jangan mengulangi perbuatan seperti itu, dan lakukan dua kali sai, sai untuk haji dan sai untuk umrah, jika anda haji Tamatu.”
(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 23/198)