Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Sebagian manusia berpandangan bahwa amalan-amalan anggota badan merupakan syarat kesempurnaan iman, dan bukan merupakan rukun-rukun iman yang asasi atau mereka menyebutkannya dengan istilah yang lain: Amalan itu bukan syarat sahnya iman. Dan telah terjadi banyak perdebatan diantara manusia akan hal ini, oleh karena itu kami berharap penjelasan tingkat kebenaran perkataan ini –semoga engkau diberikan pahala oleh Allah-, dan kita berharap pula penjelasan mengenai kedudukan amalan badan didalam iman.
Alhamdulillah.
Alqur’an, sunah, dan kesepakatan para ulama salaf saleh menunjukkan bahwa iman itu adalah: perkataan, perbuatan yang bisa bertambah dan berkurang, dan bahwasanya tidak ada iman tanpa perbuatan sebagaimana tidak ada iman tanpa ucapan lisan, maka tidak sah iman tanpa berkumpulnya keduanya. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa amalan ialah syarat kesempurnaan iman maka dikemukakan oleh kelompok asy’ariyah, dan telah kita ketahui bersama bahwa pendapat asy’ariyah dalam bab iman ialah salah satu pendapat kelompok murji’ah.
Berkata imam Syafii rahimahullah: “Telah menjadi kesepakatan diantara para sahabat dan tabiin dan ulama setelahnya dan mereka yang kita jumpai, mereka sepakat mengatakan: “iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan niat (keyakinan, pen) tidak sah satu diantara tiga komponen ini kecuali dengan yang lainnya”. Dinukil dari “syarh usul I’tiqod ahlis sunah” oleh imam al-alkai (5/209), dan “majmu’ fatawa” (7/209).
Berkata imam Al-ajurri rahimahullah : “ketahuilah wahai kalian yang semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat pada kita semua, bahwa yang menjadi kesepakatan ulama muslimin adalah iman wajib bagi semua makhluk yaitu membenarkan dengan hati, dan menetapkan dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan. Kemudian ketahuilah bahwa tidak sah (iman,pen) berupa pengetahuan dan pembenaran dengan hati kecuali jika disertai dengan pengucapan (syahadatain) dengan lisan, dan tidak sah (iman) dengan meyakini dengan hati dan mengucapkan dengan lisan sampai disertai dengan amalan jasmani, dan ketika terkumpul tiga perangai ini maka baru dia dikatakan seorang yang beriman sebagaimana yang ditunjukkan oleh alqur’an dan sunah serta perkataan ulama’ muslimin”. Dinukil dari “as-syariah” (2/611).
Berkata syekhul islam ibnu taimiyah rahimahullah: “Dalam permaslahan ini ada dua sisi:
1- Sisi yang pertama adalah penetapan sifat kekafiran secara zahir.
2- Sisi yang kedua adalah penetapan sifat kekafiran secara batin.
Dan untuk sisi yang kedua maka ini terbangun atau berhubungan dengan masalah iman itu berupa ucapan, perbuatan sebagaimana yang telah lalu. Dan mustahil seorang disebut orang yang beriman dengan iman yang kokoh dalam hatinya, kemudian ketika Allah wajibkan baginya salat, dan zakat, dan puasa, serta haji kemudian dia hidup bertahun-tahun tanpa sujud kepada Allah sekalipun, tidak berpuasa Ramadan, tidak menjalankan ibadah haji, maka semua ini mustahil adanya dan tidaklah terjadi semisal ini melainkan pada sifat kemunafikan dan zindik dalam hati, dan tidak terjadi ini pada orang yang mempunyai keimanan yang benar”. Dinukil dari “majmu’ fatawa” (7/616).
Dan berkata imam Muhamad bin abdul wahhab rahimahullah: “tidak ada perselisihan dikalangan umat islam bahwa tauhid (iman, pen): Harus berupa keyakinan dalam hati yang disebut dengan ilmu, kemudian berupa ucapan lisan atau yang disebut perkataan, dan juga berupa amalan yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, Dan barang siapa tidak memenuhi suatu dari tiga hal tersebut maka dia tidak dikatakan sebagai seorang muslim.
Dan jika dia mengakui bertauhid (beriman, pen) akan tetapi tidak beramal dengannya, maka dia kafir yang menentang kebenaran seperti firaun dan iblis. Dan jika dia beramal dengan iman yang dia akui secara zahir akan tetapi tidak mengakui dalam hatinya maka dia seorang munafik, dan dia lebih jelek daripada orang kafir, waallahu a’lam”. Dinukil dari “durar sanniyyah fi ajwibah najdiyyah” (2/124).
Dan berkata beliau juga berkata : “ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa agama Allah itu meliputi amalan hati berupa keyakinan, cinta, dan benci, dan meliputi amalan lisan berupa ucapan (syahadatin) dan tidak mengucapkan perkataan kekafiran, dan juga meliputi anggota badan dengan melaksanakan rukun-rukun islam dan meninggalkan perbuatan yang menjerumuskan kepada kekafiran, dan bila tidak terpenuhi satu dari tiga pokok diatas maka orang tersebut kafir dan murtad”. Dinukil dari “durar sanniyyah fi ajwibah najdiyyah” (10/87).
Perkataan ahlisunah dalam permasalahan ini amatlah banyak, diantaranya apa yang difatwakan oleh Al-lajnah Ad-daimah dalam mentahzir (memperingatkan, pen) dari kitab-kitab yang menyuburkan pendapat yang mengatakan bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman, dan Al-lajnah Ad-daimah dengan jelas mengatakan bahwa ini adalah pendapat murji’ah. Dinukil dari “fatawa Al-lajnah Ad-daimah” (2/127-139) volume ke-2.
Maka amalan jasmani menurut ahlisunah adalah rukun dan bagian dari iman yang tidak sah iman seseorang tanpanya, jika dia hilang maka hilanglah amalan hati karena diantara keduanya ada korelasi. Dan barangsiapa yang menyangka bahwa hati semata mampu untuk mewujudkan iman yang sebenar-benarnya tanpa disertai dengan amalan jasmani yang dilandasi dengan ilmu dan kemampuan untuk mengerjakannya maka sungguh telah menghayalkan suatu yang mustahil terjadi dan meniadakan korelasi antara amalan zahir dan batin dan berpendapat dengan pendapat murji’ah yang tercela.
Waallahu a’lam.