Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama,
Asalnya emas diharamkan bagi lelaki dan dihalalkan bagi para wanita. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaiahi wa sallam bersabda,
( إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّ لِإِنَاثِ أُمَّتِي الْحَرِيرَ وَالذَّهَبَ وَحَرَّمَهُ عَلَى ذُكُورِهَا ) النسائي(5265) ، وصححه الشيخ الألباني في صحيح النسائي
“Sesungguhnya Allah Azza Wajallah menghalalkan kalangan wanita dari umatku sutera dan emas. Serta diharamkan bagi para lelakinya. “ HR. Nasa’I, 5265 dinyatakan shoheh oleh Syekh Al-Albany di Shoheh Nasa’i.
Kedua,
Tidak diperbolehkan menambal atau mengikatnya dengan emas kecuali kalau ada keperluan mendesak (dhorurat) karena asalanya adalah haramnya penggunaan emas untuk lelaki. Karena (hadits tadi) dan diperbolehkan karena ada keperluan mendesak (dhorurat). Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4232:
( أن عَرْفَجَةَ بْنَ أَسْعَدَ قُطِعَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلاَبِ فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم- فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ ) ، وحسنه الشيخ الألباني في صحيح أبي داود.
“Bahwa Arfajah bin As’ad hidungnya terputus pada (perang) Kulab. Kemudian beliau membuat hidung (buatan) dari perak kemudian basi. Dan Nabi sallallahu’alihi wa sallam memerintahkan membutanya dari emas.” Dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albany di Shoheh Abu Dawud
Nawawi rahimahullah dalam ‘Al-Majmu’ (1/312) mengatakan, “Perkataan pengarang ‘Kalau terpaksa (menggunakan) emas, maka diperbolehkan mempergunakannya.’ Maka itu telah disepakati. Teman-teman kami mengatakan, ‘Diperbolehkan (membuat) hidung dan gigi dari perak. Begitu juga untuk menguatkan gigi yang rusak diperbolehkan menggunakan emas dan perak.” Selesai
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ‘Al-Mugni (1/90) mengatakan, “Tidak diperbolehkan (mempergunakan) emas meskipun sedikit. Dan tidak diperbolehkan (mempergunakan) dari emas kecuali ada kebutuhan mendesak seperti (membuat) hidung emas dan untuk mengikat giginya.” Selesai
Hijawi dalam matan ‘Zadul Mustaqni’ mengatakan, “Diperbolehkan bagi lelaki (memakai) cincin perak. Sementara emas kalau ada kebutuhan mendesak seperti (membuat) hidung dan semisalnya.”
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam ‘As-Syarkhu Al-Mumti’ (6/38) mengatakan, “Perkataan ‘Dan semisalnya’ maksudnya adalah seperti gigi dan telinga. Contohnya, seseorang giginya retak dan membutuhkan ikatan dari emas atau gigi dari emas, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi kalau sekiranya memungkinkan membuat gigi dari selain emas, seperti gigi yang terkenal sekarang. Maka yang nampak, tidak diperbolehkan (membuat gigi) dari emas. Karena itu bukan kebutuhan yang mendesak. Kemudian selain emas ada bahan buatan yang lebih mendekati gigi alamai dibandingkan dari gigi emas. Begitu juga kalau sekiranya giginya menghitam tidak retak. Maka tidak diperbolehkan menutupinya dengan (lapisan) emas. Karena itu bukan terpaksa selagi tidak dikhawatirkan retak atau tergerus, maka (kalau kondisi seperti itu) diperbolehkan.” Selesai
Kondisi asalnya tidak diperbolehkan memasang gigi emas, melapisi dan mengikatnya kecuali kalau ada kebutuhan yang mendesak (dhorurat). Kalau tidak ada kebutuhan mendesak, maka tidak diperbolehkan. Posisi dilarangnya adalah kalau kelihatan bekas emasnya. Kalau sekiranya emasnya bercampur dengan perak atau bahan lain. Tidak terlihat bekas emasnya, maka hal itu diperbolehkan karena telah menyatu. (akan tetapi) yang lebih utama meninggalkannya.
Syafii dalam ‘Al-Umm (1/253) mengatakan, “Selagi dimakruhkan emas murni dalam peperangan dan selainnya, begitu juga dimakruhkan emas campuran. Dan saya memakruhkan (emas) bercampur dengan (bahan) lainnya. Kalau sekiranya masih terlihat warna emasnya. Kalau tidak terlihat warna emasnya, maka ia telah melebur. Saya lebih senang tidak memakainya. Tidak mengapa kalau sekiranya dia memakainya seperti yang saya katakan dalam masalah melapisi sutera. Selesai
Wallahu’alam.