Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama: Dalil yang shahih menunjukkan bahwa orang yang meinggalkan shalat, maka dia kafir. Pendapat ini dikutip dari para shahabat, tabiin dan jumhur kalangan salaf. Bahkan lebih dari seorang yang menganggapnya sebagai ijmak shahabat radhiallahu anhum. Lihat jawaban soal. No. 5208 Dan no. 83165
Dalil yang shahih menunjukkan bahwa raja Najasy rahimahullah telah beriman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia melindungi dan menjaga para shahabat beliau, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika ada berita kematiannya.
Imam Bukhari, no. 3877 dan Muslim, no. 952, meriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa salla bersabda ketika Najasyi meninggal dunia, "
مَاتَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ فَقُومُوا فَصَلُّوا عَلَى أَخِيكُمْ أَصْحَمَةَ
"Hari ini telah meniggal orang yang saleh, hendaklah kalian bangkit untuk menshalati saudara kalian (yang bernama) Ashhamah."
Kedua:
Berdasarkan zahir riwayat-riwayat shahih tentang Najasy rahimahullah, menunjukkan bahwa beliau adalah orang mulia dan membela para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berhijrah ke negerinya. Hal ini menafikan pendapat bahwa dia tidak shalat dan tidak menampakkan keimanannya karena takut terhadap kaumnya.
Imam Ahmad meriwayatkan, no. 1742, tentang kisah Najasy bersama Ja'far bin Abu Thalib radhiallahu anhu, dari hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, di dalamnya disebutkan;
"Ja'far bin Abu Thalib berkata, 'Kami katakan tentangnya (maksudnya tentang Isa Al-Masih bin Maryam) yang diajarkan oleh Nabi kami, bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, ruh dan kalimat-Nya yang Allah sampaikan kepadanya. Dia (Ummu Salamah berkata), 'Lalu Najasyi memukulkan tangannya ke atas lantai, lalu dia mengambil sebatang kayu, kemudian dia berkata, 'Selain Isya bin Maryam, apa yang engkau katakan, inilah batang.' Lalu para pastur di sekitarnya mengeluh ketika dia berkata demikian. Maka beliau berkata, 'Demi Allah, meskipun kalian mengeluh. Pergilah kalian, sesungguhnya kalian mendapatkan keamanan di bumi ini. Siapa yang mencaci kalian akan dikenakan denda, siapa yang mencaci kalian, akan dikenakan denda. Aku tidak suka memiliki gunung emas, tapi menyakiti salah seorang dari kalian. Kembalikan kepada keduanya hadiah mereka, kami tidak membutuhkannya. Yang dimaksud adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah yang diutus kafir Quraisy dengan membawa hadiah agar Raja Najasy memulangkan kaum mukminin shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama keduanya). Demi Allah, Allah tidak mengambil suap ketika Dia mengembalikan kerajaan ini kepadaku, maka aku tidak mengambil suap di dalamnya. Sepanjang orang-orang taat kepadaku, maka akupun akan taat terhadap mereka." Dia (Ummu Salamah) berkata, “Maka keduanya kembali pulang dengan tangan hampa dan hadiah yang mereka bawa dikembalikan. Sehingga kami dapat tinggal di negerinya dengan aman dan lingkungan yang baik."
Dia (Ummu Salamah) berkata, "Demi Allah, kami dalam keadaan demikian (aman) ketika ada pihak yang hendak merebut kekuasaanya." Dia berkata, "Demi Allah, tidak ada kesedihan yang lebih sedih dari apa yang kami alami ketika itu, karena khawatir dia menang terhadap Najasyi sehingga akan datang orang yang tidak mengakui hak kami sebagaimana yang dilakukan oleh Najasyi. Maka Najasyi pergi (menghadapi mereka) Lalu antara mereka terdapat sungai Nil. Lalu para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, 'Siapa orang yang dapat keluar menyelinap agar dapat informasi tentang mereka lalu memberi kabar kepada kita?' Maka Zubair bin Awwam berkata, 'Saya' Dia adalah orang yang paling muda. Maka, meniupkan kantong dan meletakkan di dadanya, kemudian dia berenang hingga ke tepi sungai Nil yang terdapat pasukan mereka. Kemudian dia kembali kepada pasukannya. Kami berdoa kepada Allah bagi kemenangan Najasy terhadap musuhnya di negerinya. Dan kemudian negeri Habasyah menang. Kami pun dapat tinggal tenang di negeri tersebut hingga kami pulang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Mekah." (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Al-Arna'uth dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Musnad, no. 1740, dishahihkan oleh Al-Albany dalam komentarnya dalam Kitab Fiqih Sirah, hal. 115)
Riwayat ini secara jelas menunjukkan kekuasaan Najasy di negerinya. Lalu apa yang mencegahnya untuk shalat? Padahal seandainya pun dia dibawah kontrol kaumnya, tetap tidak dapat diterima kalau dikatakan dia meninggalkan shalat, karena dia dapat melakukan sembunyi-sembunyi, padahal orang-orang lemah yang beriman di kalangan Nashrani dapat menjaga shalat mereka dengan menyembunyikannya, maka seharusnya Najasy lebih utama akan hal itu, rahimahullah.
Di antara yang menguatkan apa yang kami katakan terkait dengan kekuatan dan kekuasaan Najasy, adalah apa yang diberitakan oleh Amr bin Ash radhiallahu anhu, sesungguhnya Najasy mencegah upeti yang seharusnya mereka berikan kepada Heraklius, setelah dia masuk Islam.
Ibnu Qayim rahimahullah berkata saat menjelaskan kedatangan Amr bin Ashr menghadapi raja Oman dengan membawa surat dari Nabi shallallahu alaihi wa salam yang mengajaknya masuk Islam. "Dia bertanya kepadaku, 'Di mana engkau masuk Islam?' Aku berkata, 'Di kerajaan Najasy' Lalu aku beritahu dia bahwa Najasyi telah masuk Islam. Maka dia bertanya, 'Apa yang dilakukan kaumnya terhadap rajanya?' Aku berkata, 'Mereka mengakuinya dan mengikutinya.' Dia berkata, 'Para pastur dan rahib itu mengikutinya?' Aku katakan, 'Ya' Kemudian dia berkata, 'Perhatikan wahai Amr, tidak ada sifat yang paling buruk selain dusta.' Aku berkata, 'Aku tidak berdusta, karena hal itu tidak dihalalkan oleh agama kami.' Kemudian dia berkata, 'Aku pikir Heraklius tidak mengetahui keislamannya.' Aku katakan, 'Tidak (dia justeru mengetahui).' Dia berkata, 'Bagaimana engkau mengetahuinya.' Aku katakan, 'Dahulu Najasy menyerahkan upeti kepadanya, ketika dia telah masuk Islam dan membenarkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dia berkata, 'Tidak demi Allah, walaupun mereka meminta dariku satu dirham pun, tidak akan aku berikan.' Ucapan ini sampai kepada Heraklius, maka berkatalah saudaranya, Yunaq, kepadanya, 'Akankah engkau biarkan hambamu tidak mengeluarkan upeti untukmu dan beragama dengan agama yang baru?' Heraklius berkata, 'Seseorang yang senang dengan suatu agama dan telah memilihnya, apa yang bisa aku perbuat? Demi Tuhan, seandainya bukan karena takut dengan kerajaanku, aku akan perbuat apa yang dia perbuat." Dia berkata, 'Perhatikan ucapanmu wahai Amr.' Aku berkata, 'Demi Allah, aku jujur kepadamu." (Zadul Ma'ad, 3/694. Perhatikan Uyunul Atsar, Ibnu Sayyidinnas, 2/335)
Ketiga:
Pendapat yang mengatakan bahwa Najasyi rahimahullah tidak melakukan shalat diungkapkan oleh Ibnu Taimiah dengan redaksi yang melemahkan riwayatnya dan tidak menisbatkannya kepada seorang pun. Dia menakwilkannya bahwa hal tersebut karena dia tidak mampu bertentangan dengan kaumnya.
Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiah) berkata, 'Demikian pula Najasy, meskipun dia adalah raja Nashara, namun kaumnya tidak mentaatinya masuk Islam, hanya beberapa orang saja yang ikut masuk bersamanya. Karena itu, ketika dia meninggal, tidak ada seorang pun yang menshalatinya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam menshalatinya di Madinah, beliau keluar menuju tempat shalat bersama kaum muslimin, lalu mengatur barisan dan kemudian shalat goib untuknya. Beliau menyampaikan berita kematiannya pada hari kematiannya, dengan berkata, 'Sesungguhnya saudara kalian yang saleh dari penduduk Habasyah telah meninggal. Banyak syariat Islam atau kebanyakannya tidak dapat dia lakukan karena kelemahannya, beliau tidak hijrah, tidak berjihad dan tidak menunaikan haji ke Baitullah. Bahkan diriwayatkan bahwa beliau tidak shalat lima waktu dan tidak berpuasa Ramadan serta tidak menunaikan zakat syar’i. Karena semua itu pernah dia tampakkan di depan kaumnya, namun mereka mengingkarinya, sedangkan dia tidak mungkin bertentangan dengan mereka." (Majmu Fatawa, 19/217)
Riwayat ini bertentangan dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Kalaupun dikatakan shahih, hendaknya dipahami bahwa dia meninggalkan shalat karena uzur, bukan meninggalkannya sama sekali.
Keshahihan riwayat ini tidak kuat bagi kami. Ini adalah riwayat yang tidak dinisbatkan kepada seorang pun dari kalangan ulama, dan selain itu bertentangan dengan riwayat yang sudah tetap dalam Musnad Imam Ahmad dan selainnya seperti disebutkan sebelumnya. Bahkan bertentangan dengan riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Taimiah di tempat yang lain. Beliau berkata, "Diriwayatkan dari Atha dan Qatadah bahwa Najasyi shalat ke Baitul Maqdis hingga wafat. Beliau wafat ketika arah kiblat sudah diganti selama sekian tahun, sehingga ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam, masih mengganjal bagi orang-orang karena dia shalat ke arah selain Ka'bah, hingga akhirnya Allah turunkan ayat-Nya, yaitu firman Allah Ta'ala,
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (سورة البقرة: 115)
" Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah." (QS. Al-Baqarah: 115)
Hal ini, wallahu a'lam, karena yang sampai beritanya kepada beliau bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis, maka beliau shalat menghadap ke sana. Karena itu, beliau tidak shalat menghadap ke timur yang menjadi kiblat kaum Nashrani. Kemudian setelah itu, tidak sampai kepadanya berita tentang dihapusnya ajaran tersebut (kiblat ke Baitul Maqdis) karena jauhnya negeri tersebut, maka beliau mendapatkan uzur sebagaimana uzur yang dimiliki oleh penduduk Quba dan selain mereka. Karena ketika arah kiblat dirubah, berita itu belum sampaik kepada kaum muslimin yang berada di Mekah dan yang berada di negeri Habasyah, dari kalangan muhajirin seperti Ja'far dan para shahabatnya serta orang yang sudah masuk Islam dan tinggal jauh dari Madinah, ada yang dalam jangka waktu lama, adapun pula yang jangka waktunya dekat (baru kemudian tahu berita tersebut)." (Syarh Umdatil Ahkam, 4/548)
Kesimpulannya, hadits-hadits yang shahih menunjukkan berimannya raja Najasy dan kesalehannya dan bahwa dia memiliki kekuasaan di hadapan kaumnya. Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa dia tidak shalat adalah pendapat yang jauh. Seandainya pun diyakini bahwa dia tidak shalat, maka hendaknya dipahami bahwa dia tidak mampu melakukannya atau belum sampai kepadanya perincian masalah yang diperintahkan. Perkara ini merupakan uzur yang mencegahnya dari status kafir. Kesimpulannya, terkait dengan individu tertentu, tidak harus membuat kita menentang nash-nash yang shahih dan kuat tentang kufurnya orang yang meninggalkan shalat.
Wallahu a'lam.