Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah boleh masuk rumah tanpa izin, meskipun ia termasuk tuan rumah, mohon disertakan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah ?
Alhamdulillah.
Pertama:
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
النور / 27
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS. An Nur: 27)
Bahwa Allah telah menyuruh orang-orang yang beriman agar tidak masuk rumah yang bukan rumah mereka sampai mereka meminta izin sebelum masuk. Dan sunnahnya dalam izin agar meminta izin dan mengucapkan salam sebelum masuk:
Dari Rib’iy bin Harasy berkata: “Seseorang telah meriwayatkan dari Bani ‘Amir bahwa ia telah meminta izin kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- saat beliau di rumah dan bersabda:
أَلِجُ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِخَادِمِهِ : اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الِاسْتِئْذَانَ فَقُلْ لَهُ : قُلْ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟ فَسَمِعَهُ الرَّجُلُ فَقَالَ : السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟ فَأَذِنَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ رواه أبو داود (5177) ، وصححه الألباني في "صحيح أبي داود" .
“Boleh saya masuk ?, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keluar sampaikan kepada orang ini, lalu ajarkan kepadanya cara minta izin, maka katakan kepadanya: “Assalamu’alaikum, apakah saya boleh masuk ?, lalu didengar oleh orang tersebut dan berkata: Assalamu’alaikum, apakah saya boleh masuk ?, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya, lalu ia masuk”. (HR. Abu Daud: 5177 dan telah dinyatakan shahih oleh Albani di dalam Shahih Abu Daud)
Al ‘Adhim Abadi berkata di dalam Aunul Ma’bud: “Pada hadits ini terdapat sunnah untuk mengumpulkan salam dengan meminta izin dan mendahulukan salam”. Selesai.
Kedua:
Maksud dari ayat mulia yang lalu bahwa orang laki-laki boleh masuk rumahnya, meskipun tanpa izin.
Ibnu Jaziy –rahimahullah- berkata:
“Ayat ini telah memerintahkan untuk minta izin untuk masuk ke rumah orang lain, maka dalam hal ini termasuk rumahnya kerabat dekat dan yang lainnya”. Selesai. (At Tashiil: 1230)
Dibolehkan secara luas di sini terikat dengan jika di dalam rumah tidak ada orang kecuali istri atau budak wanita nya; karena bagi pihak suami atau tuan dari budak wanita, ia boleh melihat semua hal darinya, meskipun telanjang, dan meminta izin ini hanya dijadikan sebagai pembuka untuk melihat, agar ia tidak terjebak kepada sesuatu yang ia tidak sukai, atau aurat yang tidak boleh dilihat.
Bukhori (6241) dan Muslim (2156) dari Sahl bin Sa’d –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
“Meminta izin ini diadakan untuk (masalah) penglihatan”.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Hadits di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak butuh izin untuk masuk ke rumahnya sendiri, karena tidak ada sebab yang karenanya disyari’atkan meminta izin. Ya, kalau ada kemungkinan ada hal-hal baru yang dibutuhkan selain itu, maka disyari’atkan untuk hal itu”. Selesai.
Ketiga:
Termasuk kesempurnaan adab dan pergaulan yang baik hendaknya seorang laki-laki meminta izin, meskipun kepada isterinya, sehingga ia tidak melihatnya dalam kondisi yang kumuh, atau dengan pakaian kerja, dan lain sebagainya yang tidak disukai olehnya. Oleh karenanya lebih dari satu generasi salaf telah menganjurkan kepada laki-laki untuk meminta izin kepada istrinya, meskipun mereka ada di dalam rumah.
Ibnu Juraij berkata: “Saya berkata kepada ‘Atha’: “Apakah seorang laki-laki meminta izin kepada istrinya ?, ia menjawab: tidak”.
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Hal ini mempunyai makna tidak wajib, kalau tidak, maka yang lebih utama agar ia memberitahu istrinya bahwa ia akan masuk dan tidak mengagetkannya, karena kemungkinan sedang dalam kondisi yang tidak disukai untuk dilihat dalam kondisi demikian”.
Dari Zainab istrinya Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anha- berkata:
كان عبد الله إذا جاء من حاجة فانتهى إلى الباب تنحنح وبزق ؛ كراهية أن يهجُم منا على أمر يكرهه إسناد صحيح .
“Bahwa Abdullah jika datang dari buang hajat, ia berhenti di pintu berdehem dan meludah, ia tidak ingin kepergok dengan sesuatu yang tidak ia sukai”. (Sanadnya Shahih)
Dari Imam Ahmad –rahimahullah- berkata: “Jika seorang laki-laki masuk ke rumahnya, disunnahkan untuk berdehem atau menggerakkan sandalnya”.
Oleh karenanya telah ada di dalam As Shahih dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
أنه نَهَى أن يطرق الرجل أهلَه طُروقًا - وفي رواية : ليلا – يَتَخوَّنهم
“Bahwa beliau telah melarang seseorang laki-laki untuk mengetuk pintu keluarganya beberapa ketukan, dan di dalam riwayat lainnya: pada malam hari –mengagetkan mereka”.
(Tafsir Ibnu Katsir: 6/39-40)
Keempat:
Jika di dalam rumahnya ada salah satu mahramnya selain istrinya, seperti; ibunya, atau anak perempuannya, atau saudarinya, maka pendapat yang benar adalah ia wajib meminta izin kepada mereka sebelum masuk rumah.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Dan bisa difahami darinya bawha disyari’atkan meminta izin kepada siapa saja termasuk kepada para mahram, agar ia tidak tersingkap auratnya, dan Bukhori telah merilis di dalam Al Adab Al Mufrad yang telah dinyatakan Shahih oleh Albani (812) dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar jika ia menyampaikan sebagian mimpinya kepada anaknya, beliau tidak masuk kepadanya kecuali dengan izin”. Dan dalam jalur Alqamah yang telah ditashih oleh Albani (813):
جَاءَ رَجُل إِلَى اِبْن مَسْعُود فَقَالَ : أَسْتَأْذِن عَلَى أُمِّي ؟ فَقَالَ : مَا عَلَى كُلّ أَحْيَانهَا تُرِيد أَنْ تَرَاهَا " ، وَمِنْ طَرِيق مُسْلِم بْن نُذَيْر بِالنُّونِ مُصَغَّر [ حسن الألباني إسناده (814) ] " سَأَلَ رَجُل حُذَيْفَة : أَسْتَأْذِن عَلَى أُمِّي ؟ قَالَ : إِنْ لَمْ تَسْتَأْذِن عَلَيْهَا رَأَيْت مَا تَكْرَه " ، وَمِنْ طَرِيق مُوسَى بْن طَلْحَة [ صحح الألباني إسناده (815) ] : " دَخَلْت مَعَ أَبِي عَلَى أُمِّي فَدَخَلَ وَاتَّبَعْته فَدَفَعَ فِي صَدْرِي وَقَالَ : تَدْخُل بِغَيْرِ إِذْن " ؟ وَمِنْ طَرِيق عَطَاء " سَأَلْت اِبْن عَبَّاس : أَسْتَأْذِن عَلَى أُخْتِي ؟ قَالَ : نَعَمْ . قُلْت : إِنَّهَا فِي حِجْرِي , قَالَ : أَتُحِبُّ أَنْ تَرَاهَا عُرْيَانَة " ؟ وَأَسَانِيد هَذِهِ الْآثَار كُلّهَا صَحِيحَة انتهى .
“Telah ada seorang laki-laki kepada Ibnu Mas’ud dan berkata: “Saya minta izin kepada ibu saya ?, ia berkata: “Tidak pada semua kondisinya, kamu ingin melihatnya”. Dan melalui jalur Muslim bin Nudzair dengan nun kasrah. Albani telah menyatakan hasan pada sanadnya (814). Seorang laki-laki telah bertanya kepada Hudzaifah: “Apakah saya minta izin kepada ibu saya ?, ia menjawab: “Jika kamu tidak meminta izin maka kamu akan melihat apa yang ia tidak sukai”. Dan dari jalur Musa bin Thalhah yang telah ditashih sanadnya oleh Albani (815): “Saya bersama ayah saya masuk menghadap ibu saya, beliau masuk dan saya pun mengikuti beliau lalu beliau mendorong dada saya dan berkata: "Jadi kamu masuk tanpa izin ?, dan dari jalur ‘Atha’: saya telah bertanya kepada Ibnu Abbas: Apakah saya meminta izin kepada saudari saya ?, beliau menjawab: “Ya”, saya berkata: “Ia berada dalam pengasuhan saya”. Ia berkata: “Apakah kamu suka akan melihatnya dalam keadaan telanjang ?”. (Sanad-sanad atsar-atsar ini semuanya shahih) selesai.
Syeikh Muhammad Amin As Syinqithi –rahimahullah- berkata:
“Ketahuilah bahwa yang paling tampak yang tidak selayaknya merubah darinya bahwa seorang laki-laki diwajibkan untuk meminta izin kepada ibunya, saudarinya, anak-anak laki-lakinya, dan anak-anak perempuannya yang sudah baligh, karena jika ia masuk kepada siapa saja yang telah disebutkan tadi tanpa izin, maka bisa jadi matanya akan melihat aurat mereka, dan hal itu tidak dihalalkan baginya”.
Dan Syeikh Al Amiin –rahimahullah- telah menukil apa yang telah disebutkan sebelumnya yang dinukil oleh Al Hafidz Ibnu Hajar, lalu berkata:
“Atsar-atsar ini dari para sahabat menguatkan apa yang telah kami sebutkan untuk meminta izin kepada orang yang telah kami sebutkan, dan difahami dari hadits shahih: “Bahwa minta izin ini telah dijadikan karena untuk (masalah) penglihatan”; keterarahan penglihatan kepada aurat dari orang-orang yang telah disebutkan: Tidak halal, seperti yang anda lihat...”. Kemudian telah dinukil –juga- dari Ibnu Katsir menguatkan apa yang telah disebutkan, dan sebagiannya telah dinukil sebelumnya. (Lihat: Adhwa’ul Bayan: 5/500-502)
Wallahu Ta’ala A’lam