Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Jika saya berhutang sejumlah uang, akan tetapi sebelum mengembalikannya kepada kreditur, dia meminta kepadaku untuk membelikan sesuatu dan dia akan melunasinya pada waktu lain. Apakah boleh saya mengatakan bahwa dia tidak perlu membayar karena hutangnya sudah saya gugurkan dengan uang hutang saya kepadanya. Walaupun uang yang saya pinjam darinya itu lebih sedikit dari apa dia bayarkan kepadaku?
Alhamdulillah.
Hutang termasuk akad kebaikan dan pemberian. Tidak dibolehkan mensyaratkan manfaat kepada orang yang berhutang atau sama-sama sepakat agar kreditur mendapatkan manfaat darinya. Para ulama telah berijmak (konsensus) bahwa semua hutang yang ada manfaatnya termasuk riba.
Apa yang anda tanyakan itu mengandung dua perkara:
Yang pertama: Anda membeli sesuatu untuknya. Kalau hal ini tidak memberatkan anda sedikitpun atau sudah jadi kebiasaan anda sebelum berhutang membeli sesuatu untuknya, maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi jika hal tersebut memberatkan dan mengharuskan anda keluar biaya dan bukan menjadi kebiasaan anda melakukan hal ini sebelum meminjam darinya, maka hal itu tidak dibolehkan meskipun dengan gratis, karena hal itu akan memberi manfaat dari hutang dan itu adalah riba seperti dijelaskan tadi.
Dalam kitab ‘Zaadul Mustaqni’, dikatakan, "Kalau orang yang berhutang memberikan sesuatu sebelum melunasinya dan bukan menjadi kebiasaannya, maka tidak dibolehkan. Kecuali kalau dia (orang yang berhutang) niat memberikan hadiah sebagai balas jasa atau pemberian itu dia anggap bagian dari pembayaran hutangnya.
Kedua: Sesungguhnya ketika anda ingin memberikan kepadanya tambahan dari hutang yang menjadi tanggungan anda, hal ini tidak mengapa kalau tidak disyaratkan saat berhutang. Yang menunjukkan akan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, (2393) dari hadits Abu Hurairah radhiallua anhu, dia berkata:
كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَعْطُوهُ ، فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلا سِنًّا فَوْقَهَا ، فَقَالَ : أَعْطُوهُ ، إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً .
“Dahulu ada seseorang menghutangi Nabi unta dengan usia tertentu, ketika datang beliau menagihnya, maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, "Berikan kepadanya." Kemudian sahabat mencari unta yang seusia dengan onta yang dihutang, akan tetapi dia tidak mendapatkannya kecuali ada onta yang usianya lebih tua. Maka beliau bersabda, "Berikan kepadanya, sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik dalam melunasi (hutangnya)."
Ibnu Qudama rahimahullah mengatakan, “Kalau dia menghutangi secara umum tanpa ada persyaratan, kemudian dia melunasi dengan yang lebih baik dari kadarnya atau sifatnya atau kurang dari itu dengan keridhaan kedua pihak, maka hal itu diperbolehkan. Ibnu Umar memberian keringanan akan hal itu, begitu juga Said bin Musayyib, Hasan, Nakho’I, Sya’bi, Zuhr, Makhul, Qatadah, Syafi’i dan Ishaq.
Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam pernah meminjam unta dan mengembalikan yang lebih baik lagi seraya bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam melunasi (hutangnya)." (Muttafaq alaihi). Dalam redaksi riwayat Bukhari, "Yang paling utama di antara kalian adalah yang terbaik dalam melunasi (hutangnya).”
Juga karena dia tidak menjadikan tambahan itu sebagai pengganti hutangnya. Juga bukan sebagai sarana untuk hal itu. Juga bukan dalam rangka melunasi hutangnya. Sehingga dihalalkan, seperti kalau dia tidak berhutang.
Kalau ada seseorang yang dikenal dengan bagus dalam melunasi hutangnya, tidak dimakruhkan untuk menghutanginya. Al-Qodhi mengatakan, “Dalam hal ini ada pandangan lain, yaitu bahwa hal tersebut dimakruhkan, karena akan menjadikannya suka meminjamkan. Ini kebiasaan tidak baik. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam beliau dikenal dengan bagus dalam melunasi hutangnya, apakah mungkin ada orang yang mengatakan, bahwa menghutangi beliau itu dimakruhkan, karena beliau dikenal sebagai orang yang bagus dalam melunasi hutangnya dan orang yang terbaik. Justeru orang seperti dia lebih utama untuk menunaikan kebutuhannya dan dimudahkan kesulitannya. Maka tidak boleh hal itu dikatakan makruh, akan tetapi yang dilarang itu adalah adanya tambahan yang disyaratkannya.” (Al-Mughni, 4/21).
Wallahu a’lam