Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Jika seorang suami sudah membagi hari-harinya kepada para istrinya, satu malam-satu malam, dua-dua atau tiga-tiga, maka menjadi hak masing-masing istrinya untuk mendapatkan hak tersebut sesuai dengan pembagian yang telah disepakati sebelumnya; karena mereka adalah pemilik hak tersebut. Jika pada kondisi tertentu yang menjadikan suaminya tidak mampu memenuhi hak tersebut bagi salah satu istrinya dalam waktu yang lama, karena dipenjara, bepergian atau menikah lagi, maka semua itu tidak bisa menggugurkan hak istri yang mendapat giliran tersebut. Jika nantinya sudah keluar dari penjara, pulang dari safarnya, atau menyelesaikan giliran hari bagi istrinya yang baru, maka harus kembali kepada istri yang belum terpenuhi giliran harinya dan menginap di rumahnya sampai selesai gilirannya, demikianlah keadilan yang dimaksud.
Asy Syafi’i –rahimahullah- berkata:
“Jika seorang suami telah membagi hari kepada istrinya namun tidak dipenuhinya karena bepergian, maka pada saat kembali nantinya dia memulai pembagian hari kepada istrinya yang berikutnya. Demikian juga jika dia tidak bepergian akan tetapi sibuk banyak urusan hingga tidak bisa memenuhinya, maka dia memulai pembagian harinya sama dengan seorang suami yang baru datang dari bepergian, jadi memulai pembagiannya dari istrinya yang kemarin menjadi gilirannya”.
Beliau juga berkata:
“Jika seorang istri telah mendapatkan giliran sebagian malam, lalu suaminya bepergian kemudian datang lagi, maka dia harus menyempurnakan giliran istrinya di atas, kemudian baru giliran istri berikutnya pada sebagian malam yang terakhir, sehingga seorang suami berlaku adil kepada mereka semua”. (Al Umm: 5/281)
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Jika seorang suami keluar dari rumah salah satu istrinya yang hari itu menjadi gilirannya, jika dilakukan pada siang hari atau pada awal atau akhir malam yang menjadi kebiasaannya untuk bekerja atau untuk mendirikan shalat berjama’ah maka boleh; karena semua umat Islam keluar rumah untuk melaksanakan shalat isya’ dan shalat subuh sebelum masuk waktunya, adapun pada siang harinya untuk bekerja.
Namun jika seorang suami keluar dari rumah istrinya bukan pada waktu-waktu tersebut sebentar lalu kembali lagi, maka tidak perlu mengqadha’nya; karena tidak ada manfaat apapun dalam mengqadha’nya, namun jika keluar dan sampai menginap, maka dia harus mengqadha’nya, baik ketidakpulangannya karena kesibukan tertentu atau karena ditahan atau tanpa udzur apapun; karena hak istrinya tidak terpenuhi dengan ketidakhadiran suaminya, atau kalau dia mau, dia juga keluar dari rumah istrinya yang lain sama persis dengan istri yang harinya pernah ditinggalkannya; dengan demikian masing-masing istrinya mendapatkan jatah yang sama. Demikian juga jika dia boleh meninggalkan semalam penuh yang menjadi hak masing-masing istrinya, maka meninggalkan sebagian malam lebih utama”. (Al Mughni: 8/145)
Termasuk yang sudah ditetapkan bahwa hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya –yang akan menguatkan semua penjelasan sebelumnya- adalah jika dia bepergian dengan cara mengundi di depan semua istrinya, lalu muncullah salah seorang istrinya dalam undian tersebut, maka dia berhak bersama suaminya pada malam harinya sepulang dari perjalanannya, perjalanannya tidak bisa menggugurkan hak pada malam harinya.
Syeikh Khotib Syarbini asy Syafi’i –rahimahullah- berkata:
“Al Bulqini berkata: “Jika undian yang muncul adalah istrinya yang sedang mendapat giliran, maka jatahnya tidak termasuk waktu selama perjalanan, bahkan setelah kembali nantinya, suami tetap menunaikan jatah hari bagi istrinya tersebut”. Beliau berkata: “Dalam kitab Al Umm terdapat beberapa dalil”. (Mughni al Muhtaaj: 3/258)
Syeikh Manshur al Buhuti al Hambali –rahimahullah- berkata:
“Sepulang dari bepergian, seorang suami tetap harus memenuhi jatah hari kepada istri yang ikut dalam safarnya karena diundi di depan para istrinya yang lain, selama perjalanan tidak dianggap jatah hari bagi istri yang dibawanya, hal ini berdasarkan hadits Aisyah yang telah disebutkan sebelumnya dan dia tidak menyebutkan qadha’; karena safar itu dalam kondisi khusus yang menyusahkan”. (Kasyful Qana’: 5/201)
Kesimpulan:
Diwajibkan bagi suami anda sepulang dari perjalanannya agar menyempurnakan tiga malam yang telah menjadi jatah anda, dengan demikian dia telah berlaku adil yang telah diwajibkan oleh Alloh, dia tidak boleh memulai pembagian hari dari awal lagi; karena di pundak suami masih ada tanggungan beberapa malam yang harus ditunaikan.
Wallahu a’lam.