Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya hidup di negara asing. Kondisi ekonominya sangatlah lemah. Suami tidak bekerja. Saya pun memutuskan untuk membantu suami saya. Saya menjual barang dagangan melalui internet kepada saudari-saudari yang ingin membeli produk-produk negara yang saya tinggali saat ini. Ia meminta barang dagangan tertentu. Saya pun mencarinya, lalu mengirimkan gambar barang dagangan kepada saudari pembeli. Jika sudah sepakat, saya pun menghitung harga yang harus dibayarnya dan memberitahunya. Saya pun meminta uangnya, lalu membeli barang, kemudian mengirimkannya kepada saudari pembeli. Kondisi ini sangatlah bagus dan saya senang dengan pekerjaan saya ini. Sampai suatu hari, seorang saudari pedagang meminta barang dagangan kepada saya. Ia pun memberikan alamatnya. Ketika saya menghitung barang dagangan dan ia pun mentransfer sejumlah uang, yaitu 670 US Dolar, kepada saya, pada saat saya membeli barang dagangan dan menunggu kedatangannya, barang itu tidak sampai-sampai kepada saya. Di sinilah masalahnya; saya membeli barang dagangan, tetapi barang itu tidak kunjung tiba di alamat rumah saya. Ketika saya menghubungi website tempat saya membeli barang dagangan, tidak ada satu pun yang menjawab. Ketika saya telusuri, ternyata perusahaannya bodong, dan kami terjatuh sebagai korban penipuan. Mereka membuat website untuk mencuri uang. Ketika saya memberitahukan apa yang terjadi kepada saudari pedagang tadi, ia tidak percaya pada saya dan mengatakan bahwa saya pendusta dan pencuri. Saya bersumpah padanya dan mengatakan bahwa jika kondisi memungkinkan, maka saya akan mengumpulkan uang dari suami dan mentransfernya kepadamu. Tetapi sudah setahun lebih, sampai sekarang saya belum bisa mengumpulkan uang itu. Apakah saya harus mengembalikan uangnya, padahal memang uangnya dicuri oleh perusahaan bodong, sementara saudari pedagang tersebut menuntut uangnya. Bagaimanakah hukum syariat terkait hal ini? Terima kasih.
Alhamdulillah.
Tidak ragu lagi, bahwasanya transaksi yang Anda tanyakan hukumnya tidaklah syar’i, bertentangan dengan syariat, karena Anda menjual barang dagangan yang belum Anda miliki, yang berada di luar kemampuan Anda untuk menjaminnya dan menyerahkannya pada pembeli, sehingga ia menjadi jual beli gharar dan transaksi judi. Transaksi seperti ini memicu permusuhan dan perselisihan. Terkadang Anda akan dikagetkan dengan naiknya harga barang dagangan yang Anda jual. Stok barang dagangan mungkin juga tidak tersedia. Di sisi lain, patut menjadi perhatian yaitu benar-benar tidak adanya pedagang dalam transaksi Anda ini. Oleh karenanya seseorang tidak boleh menjual barang dagangan yang tidak ia miliki bahkan meskipun barang yang disebutkan spesifikasinya (Al-Maushufah fi Ad-Dzimmah) oleh orang lain, kecuali jual beli Salam.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي ، أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ ؟ فَقَالَ : ( لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ) . رواه الترمذي ( 1232 ) وأبو داود ( 3503 ) والنسائي ( 4613 ) وابن ماجه ( 2187 ) ، وصححه الألباني في " صحيح الترمذي " .
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang yang datang kepadaku, lalu memintaku barang yang tidak aku miliki barang yang aku jual. Kemudian aku membelinya ke pasar. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Jangan kamu jual barang yang tidak kamu miliki.’” (HR. At-Tirmidzi, no. 1232, Abu Daud, no. 3503, An-Nasa’i, no. 4613, Ibnu Majah, no. 2187 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).
وعن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ ، وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ ، وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ . رواه الترمذي ( 1234 ) وقال : حسن صحيح ، وأبو داود ( 3504 ) والنسائي ( 4611 ) .
Abdullah bin Amr meriwayatkan, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Tidaklah halal transaksi utang-piutang yang dicampur dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.”’ (HR. At-Tirmidzi, no. 1234, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih, dan Abu Daud, no. 3504 dan An-Nasa’i, no. 4611).
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Lafaz kedua hadits ini sepakat tentang larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang jual beli barang yang tidak dimiliki. Inilah riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dihafal. Jual beli ini mengandung penipuan. Sesungguhnya jika ia menjual barang tertentu yang tidak dimilikinya, kemudian ia pergi untuk membelinya atau menyerahkannya, maka ia ragu-ragu antara bisa memperoleh barang atau tidak. Inilah penipuan yang mirip dengan perjudian, oleh karenanya dilarang.” (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 5/808).
Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah menjelaskan macam-macam jual beli barang yang tidak ada/fiktif (Bai’ul Ma’dum), “Tidak ada yang tidak dapat diketahui apakah bisa diperoleh atau tidak bisa. Tidak ada kepercayaan pada si penjual untuk memperolehnya. Bahkan si pembeli berada dalam risiko. Inilah jual beli yang dilarang oleh syariat, bukan karena barang dagangannya tidak ada, tetapi karena adanya unsur penipuan. Begitu pula gambaran jual beli yang terkandung dalam hadits Hakim bin Hizam dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Sesungguhnya apabila penjual menjual barang dagangan yang tidak dimilikinya dan tidak mampu diserahkannya (dia berangkat untuk mendapatkannya dan menyerahkannya kepada si pembeli), maka hal itu mirip dengan perjudian dan transaksi yang berisiko, karena transaksi (akad) tidak membutuhkan dan tergantung pada keduanya.” (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, 5/810).
Meskipun Anda membeli dari website itu benar sesuai dengan syariat, tetapi Anda tidak boleh menjual barang dagangan yang masih ada di tempatnya semula sebelum Anda memilikinya. Artinya Anda benar-benar belum meletakkannya di tangan Anda dan memindahkannya ke gudang atau tempat khusus Anda, jika barang itu termasuk benda yang bisa dipindahan. Inilah sebab lain yang membuat transaksi Anda tidak syar’i. Lihatlah jawaban dari pertanyaan no. 39761.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ : لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ .
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milikku, aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Lalu ia berkata, ‘Jangan menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka. (HR. Abu Daud, no. 3499 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Daud).
Seetelah menyebutkan ketiga hadits yang disebutkan sebelumnya, Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata, “Di antara hadits-hadits ini dan hadits-hadits senada, jelaslah bagi para pencari kebenaran bahwasanya tidak boleh bagi seorang Muslim menjual barang dagangan yang tidak dimilikinya, kemudian dia pergi untuk membelinya. Akan tetapi, ia harus menunda penjualannya hingga ia membelinya dan memilikinya. Jelas juga bahwa jual beli barang dagangan yang masih berada di tempat penjual sebelum dipindahkan kepada pembeli atau dipindahkan ke pasar, yang banyak dilakukan oleh orang-orang, adalah praktik yang tidak diperbolehkan, karena menyelisihi sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di dalamnya terdapat unsur bermain-main dengan transaksi, tidak terikat dengan syariat yang suci. Hal itu mengandung kerusakan, keburukan dan akibat yang buruk, yang tidak terhitung, kecuali oleh Allah Azza wa Jalla. Kami memohon taufik kepada Allah untuk kita dan semua kaum Muslimin agar dapat berpegang teguh dengan syariat-Nya dan berhati-hati dengan hal-hal yang menentangnya.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 19/52-53).
Kedua.
Cara untuk membenarkan transaksi Anda sehingga sesuai dengan syariat adalah :
1. Anda menunjukkan barang dagangan kepada orang yang berminat membelinya yang mana penyajian barang dagangan dapat menghilangkan ketidaktahuan dan memutuskan permusuhan. Anda tentukan harga barang yang akan Anda jual ketika barang itu menjadi hak milik Anda, kemudian si pembeli berjanji akan membeli dengan harga yang ditentukan, dengan syarat tidak ada kewajiban dari Anda untuk menjual dan kewajiban bagi pembeli untuk membeli, tetapi masing-masing pihak punya hak untuk khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan jual beli. Jika Anda memiliki barang dagangan secara syar’i, kemudian Anda berakad jual beli dengan si pembeli, maka akad menjadi wajib bagi kedua belah pihak dan berlakulah hukum jual beli sebagaimana yang kita kenal, transaksi seperti ini dinamakan dengan jual beli Muwa’adah. Lihatlah jawaban dari pertanyaan no. 126452. Di dalamnya terdapat hukum dari bentuk transaksi seperti ini.
2. Anda menjual barang dagangan kepada orang yang berminat membelinya dengan komisi atau prosentase harga tertentu. Anda menunjukkan barang dagangan kepada orang-orang dan menentukan biaya tertentu, seperti sepuluh dolar misalnya, pada setiap perjanjian (transaksi), atau prosentase 2 % pada nota pembelian. Biaya atau prosentase ini sebagai imbalan atas usaha dan lelah Anda dari biaya yang dibayarkan kepada Anda buat pembelian barang dagangan. Anda juga bisa menjadi perantara bagi para pembeli. Anda juga bisa menjadi perantara bagi para penjual. Lihatlah penjelasan hal itu pada jawaban dari pertanyaan no. 154229.
Khusus untuk uang yang dibayarkan kepada Anda dari perempaun itu, maka Anda harus mengembalikannya, karena uang itu adalah haknya. Anda bisa menuntut pemilik website untuk mengembalikan uang Anda dengan jasa kepolisian atau semisalnya. Perempuan itu bisa menuntut Anda untuk mengembalikan uangnya, apakah Anda dapat memperoleh hak Anda dari perusahaan bodong ini ataukah tidak. Hal itu tidak mengubah keberhakan si perempuan atas apapun. Hak si perempuan itu adalah kewajiban yang harus Anda tanggung dalam kondisi apapun. Semoga Allah menentukan bagian Anda. Anda dapat bersabar dan menunggu kondisi lapang, atau si perempuan menggugurkan haknya, dan itu lebih baik bagi dirinya di sisi Tuhannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
البقرة/ 280 .
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 280).
Kami memohon kepada Allah agar Dia menuliskan pahala karena Anda telah membantu suami Anda dan ikut serta menanggung beban hidup bersamanya. Kami juga memohon kepada Allah agar menganugerahkan rezeki yang baik dan thayyib.
Wallahu A’lam.