Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Ketika saya bertemu suami saya sebelum menikah, kami berdua adalah Muslim, tetapi -dan saya mohon ampun kepada Allah atas hal itu- kami meninggalkan Islam (murtad) tidak lama setelah kami bertemu. Kemudian kami menikah menurut undang-undang Inggris. Kami mengadakan upacara non-Islam (mengingat kami saat itu non-Muslim). Lantas, dua tahun kemudian, suami saya masuk Islam lagi, dan saya tetap dalam keadaan kafir selama beberapa bulan berikutnya. Namun akhirnya saya juga masuk Islam lagi, Alhamdulillah. Kami sekarang dalam kondisi baik. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pernikahan kami sah? Jika tidak, apa yang harus kami lakukan? Mengetahui bahwa semua orang di sekitar kami mengetahui bahwa kami telah menikah dan bahwa kami mengadakan upacara pernikahan yang dihadiri oleh orang terdekat dan terjauh. Tapi masalahnya, seperti saya sebutkan sebelumnya, kami adalah non-Muslim, dan pernikahan kami sesuai dengan undang-undang Inggris dan bukan berdasarkan syariat Islam.
Alhamdulillah.
Jika kedua orang murtad itu masuk Islam bersama-sama, maka pernikahan mereka diakui, sebagaimana diakuinya pernikahan kedua orang kafir yang asli, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban dari pertanyaan nomor 118752.
Jika salah satu pasangan masuk Islam, dan pasangan lainnya menunda masuk Islam hingga masa iddah pihak perempuan habis, maka perkawinan itu perlu diperbarui menurut sebagian besar ulama.
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Apabila salah satu dari suami-istri masuk Islam, lalu yang satunya belum masuk Islam hingga iddah si istri selesai, maka fasakhlah pernikahannya, menurut pendapat kebanyakan ulama. Ibnu Abdi Al-Bar mengatakan, ‘Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini, kecuali pendapat yang dikemukakan oleh An-Nakha’i yang berbeda dengan mayoritas ulama. Tidak ada satu pun yang mengikuti pendapatnya. Ia menganggap bahwa si istri dikembalikan kepada suaminya, meskipun masa iddahnya lama. Hal itu berdasarkan riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan Zainab kepada suaminya yaitu Abu Al-Ash dengan pernikahan pertamanya. Diriwayatkan oleh Abu Daud. Ahmad berdalil dengan riwayat itu. Pernah dikatakan kepada Ahmad, ‘Bukankahh diriwayatkan bahwa beliau (Nabi) mengembalikan kepada suaminya dengan nikah yang baru ?’ Ahmad menjawab, ‘Riwayat itu tidak memiliki dasar.’ Dikatakan pula kepada Ahmad, ‘Antara masuk Islamnya Zainab dan dikembalikannya ia pada suaminya adalah delapan tahun.’” (Al-Mughni, 7/188).
Sebagian ulama memilih pendapat bahwasanya pernikahannya tidak fasakh meskipun iddahnya sudah selesai. Apabila keduanya (suami-istri) rela untuk rujuk satu sama lain setelah selesai masa iddahnya, mereka berdua boleh melakukan hal itu, dan tidak perlu memperbarui akad nikah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnu Al-Qayyim memilih pendapat ini. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Al-Ash yang sudah disebutkan sebelumnya, dan juga tidak disebutkan penentuan selesainya masa iddah dalam hadits.
Lihat As-Syarh Al-Mumti’, 12/245-248).
Atas dasar pendapat ini, kalian berdua masih tetap pada pernikahan yang dulu, dan tidak perlu memperbarui akad nikah.
Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar memberikan taufik terhadap kebaikan pada kalian berdua.
Wallahu A’lam.