Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya ditetapkan sebagai imam salah satu masjid untuk sementara waktu. Saya sudah mulai menjadi imam shalat. Berdasarkan apa yang saya ketahui, ada dua pendapat dalam masalah mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat dan bahwa yang paling kuat adalah tidak mengeraskan bacaan, maka sayapun tidak mengeraskan bacaan basmalah. Akan tetapi orang-orang merasa berat dengan sikap saya, mereka mulai membicarakan perkara tersebut di belakang saya. Mereka berkata, "Mengapa imam tidak mengeraskan bacaan basmalah. Seharusnya dia melakukan para imam sebelumnya. Merekapun mempermasalahkan karena saya tidak membaca surat seperti yang biasa dibaca pada hari tertentu. Seperti membaca surat Al-Falaq dan An-Nas dalam shalat Maghrib pada hari Jumat. Saya berusaha untuk tidak menghiraukan hal tersebut, akan tetapi saya tidak ingin menimbulkan fitnah atau menjadi sebab meluasnya fitnah. Dan bagi saya mudah saja untuk meninggalkan tugas tersebut dan melimpahkannya kepada orang lain. Toh, inipun tugas sementara.
Mohon masukannya;
Apakah saya boleh mengeraskan bacaan basmalah atau tidak?
Apakah saya harus membaca surat-surat yang biasa mereka dengar atau saya abaikan sama sekali?
Alhamdulillah.
Pertama:
Kami bersyukur kepada anda wahai saudara kami atas kesungguhan anda untuk mengikuti sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam shalatnya. Sebagaimana kami syukuri sikap anda tentang hukum menyesuaikan diri terhadap perkara yang sudah biasa di hadapan para makmum. Apa yang anda sikapi adalah baik. Karena ada sebagian orang yang ingin mengikuti sunah mengira bahwa mereka tidak butuh memberikan penjelasan dan nasehat tentang bagaimana memperlakukan orang-orang. Mereka tidak ragu-ragu melaksanakan sunah yang mereka anggap lebih kuat walaupun hal tersebut dapat menimbulkan fitnah dan permusuhan di tengah masyarakat muslim, meskipun akibatnya adalah kerusakan! Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah keliru dan bukan merupakan sikap para ulama Ahlussunnah, baik dahulu maupun sekarang, sebagaimana akan dijelaskan.
Kedua:
Tidak diragukan lagi bahwa mengeraskan bacaan basmalah dalam membaca surat Al-Fatihah dalam shalat adalah dibolehkan, bukan perkara bid'ah, bukan pula perkara haram. Akan tetapi, yang paling sering dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah tidak mengeraskan bacaannya. Beliau biasa membacanya secara perlahan.
Dari Anas radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar dan Umar radhiallahu anhuma, mereka mengawali shalat dengan "Alhamdulillahi rabbil aalamiin." (HR. Bukhari, no. 743)
Dalam riwayat Ahmad (1288), "Mereka tidak mengeraskan bacaan bismillahirrahmanirrahim."
Ini merupakan mazhab Hanafi dan Hambali. Mazhab Syafii berbeda dengan mereka, mereka berpendapat bahwa bacaan basmalah sunah dikeraskan.
Meskipun sunah yang kuat adalah tidak mengeraskan bacaan basmalah, akan tetapi tidak mengapa jika mengeraskan bacaan basmalah, khususnya jika dia berada di lingkungan orang yang mengeraskan bacaan basmalahnya, sebagai upaya untuk mendekati hati mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Meskipun demikian, yang benar adalah bahwa bacaan yang sunah tidak dikeraskan, kadang disyariatkan untuk dikeraskan jika kuat dugaan hal itu mendatangkan kebaikan. Maka hal ini (mengeraskan bacaan basmalah) disyariatkan bagi imam –kadang-kadang- misalnya untuk mengajarkan mereka, juga untuk memberitahu jamaah shalat bahwa dibolehkan mengeraskan beberapa kalimat kadang-kadang, juga untuk menunjukkan bahwa kadang-kadan perkara yang lebih utama dapat ditinggalkan untuk mendekati hati dan mewujudkan persatuan dan agar orang tidak menghindari dari sesuatu yang baik. Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak membangun Ka'bah berdasarkan pondasi Nabi Ibrahim alaihissalam, karen kaum Quraisy ketika itu baru saja meninggalkan jahiliah mereka, khawatir mereka akan lari karena hal tersebut. Beliau memandang bahwa kemaslahatan persatuan dan kesatuan hati harus didahulukan daripada kemaslahatan membangun Ka'bah berdasarkan pondasi Ibrahim. Ibnu Mas'ud berkata tatkala menyempurnakan shalat di belakang Utsman, padahal dia mengingkari perbuatan tersebut, maka ketika ada yang bertanya kepadanya (mengapa ikut shalat di belakang Utsman), dia berkata, "Bertikai itu buruk." Karena itu, para imam, seperti Imam Ahmad dan lainnya menyatakan hal tersebut (mengeraskan bacaan) dalam membaca basmalah dan dalam menyambung shalat Witir serta pendapat lainnya yang itu berarti meninggalkan pendapat yang lebih utama kepada pendapat yang tidak lebih utama namun dibolehkan. Sebagai upaya untuk menyatukan kaum mukminin atau mengenalkan mereka kepada sunah dan (alasan) semacamnya." (Majmu Fatawa, 22/43-437)
Beliau juga berkata, "Meninggakan perkara yang lebih utama tujuannya adalah agar orang-orang tidak lari. Demikian pula halnya jika seseorang menjadi imam, sedangkan dia berpendapat bahwa bacaan basmalah dikeraskan, lalu dia memimpin shalat yang tidak menganggap sunah bacaan basmalah dengan suara keras atau sebaiknya, lalu dia shalat sesuai dengan pendapat mereka, maka dia telah bersikap yang baik."
Majmu Fatawa, 22/268-269
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, "Apa hukum mengeraskan bacaan basmalah?"
Beliau menjawab, "Yang kuat adalah bahwa mengeraskan bacaan basmalah tidak layak dan bahwa yang disunahkan adalah membacanya secara pelan. Karena basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Akan tetapi jika kadang-kadang dia tidak mengeraskan bacaan, hal itu tidak mengapa. Bahkan sebagian ulama berkata, "Selayaknya dia mengeraskan bacaannya kadang-kadang, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah diriwayatkan darinya, "Bahwa beliau membacanya dengan keras." Akan tetapi, riwayat yang kuat darinya adalah bahwa "Beliau tidak mengeraskan bacaannya." Inilah yang lebih utama, yaitu tidak mengeraskan bacaan basmalah. Akan tetapi seandainya dia mengeraskan bacaan basmalah untuk mendekati hati masyarakat yang mazhabnya berpendapat mengeraskan bacaan basmalah, saya berharap semoga hal itu tidak mengapa."
Majmu Fatawa Syekh Al-Utsaimin, 13/109
Maka dengan demikian, dibolehkan mengeraskan bacaan basmalah di hadapan masyarakat seperti itu, apakah bersifat terus-menerus atau kadang-kadang untuk mewujudkan kemaslahatan lebih besar, yaitu agar mereak bersatu. Anda juga dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengajarkan mereka apa yang lebih penting dari berbagai permasalahan fiqih praktis, yaitu masalah tauhid dan pembatal-pembatalnya serta perkara syirik dan sarana-sarananya. Anda tetap membaca basmalah dengan keras lebih baik –tidak diragukan lagi- bagi masyarakat, daripada anda meninggalkan posisi tersebut dan kemungkinan diganti oleh imam bodoh yang dapat membodohi mereka dan mengalihkan masyarakat dari ilmu syar'i.
Ketiga:
Terus menerus membaca beberapa surat dan ayat tertentu hanya dalam shalat tertentu, tidak terlepas dari dua kondisi;
Pertama, syariat telah menetapkan untuk terus menerus membacanya, seperti kedua surat 'As-Sajadah' dan 'Al-Insan' dalam shalat Fajar di hari Jumat. Karena itu, tidak mengapa jika terus menerus membaca keduanya pada setiap shalat Fajar di hari Jumat. Perhatikan jawaban soal no. 121175
Kedua, syariat tidak memerintahkan untuk terus menerus membacanya. Misalnya seorang imam selalu membaca akhir surat Al-Baqarah dalam setiap shalat Maghrib. Sunahnya adalah tidak dibaca terus menerus. Karena hal itu bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mengajarkan untuk bervariasi dalam bacaan. Lihat jawaban soal no. 148634 , disamping dikhawatirkan hal tersebut akan menimbulkan keyakinan di kalangan orang yang tidak paham bahwa hal tersebut disunahkan pada setiap shalat Maghrib, bahkan bisa jadi ada yang menganggapnya wajib.
Meskipun sunahnya demikian, namun tidak mengapa membaca surat atau ayat yang biasa di dengar oleh makmum secara terus menerus sekali waktu, sebagai bentuk siyasah syar'iah untuk menyatukan jamaah shalat dan agar mereka tidak berpecah belah juga sebagai upaya untuk menutup pintu bagi para imam pembawa bid'ah dan kesesatan bagi jamaah. Juga sebagai cara agar mereka mencintai anda dan manhaj ilmu yang anda tempuh agar anda sampai kepada mereka untuk mencintai sunah dan mengamalkannya. Seiring dengan perjalanan waktu, anda dapat meninggalkan kebiasaan tersebut sebagaimana dilakukan oleh para penuntut ilmu selain anda dalam kondisi seperti anda ketika berhadapan dengan jamaah shalat yang bertentangan dengan sunah.
Wallahua'lam.