Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya bertanya tentang hadits-hadits qothiyyatus tsubut (valid) sesuai dengan pamahamanku yang tidak diragukan bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa salam mengucapkannya kemudian apakah mungkin kita sebutkan tanpa menyebutkan sanadnya? Kemudian saya bertanya tentang teks yang diisyaratkan kepada pembohong bermata satu maksudunya al-masih Ad-Dajjal. Karena pertama kali, yang tertangkap dalam benak saya kepada Sayyidina Nabi Isa. Kemudian kepada pembohong ini (al-masih Ad-Dajjal). Padahal saya tahu bahwa teks itu ada pada Bukhori. Jika ada orang yang mengatakan, “Kalimullah (Yang pernah diajak bicara dengan Allah) kemudian diikuti seperti ini, manjadikan saya berhenti sejenak (tawaquf).
Alhamdulillah.
Pertama:
Hadits-hadits qothiyyatus tsubut (valid) maksudnya adalah hadits-hadits yang telah dipastikan kebenarannya yang disandarkan kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Hal itu ada empat macam:
Pertama: Hadits-hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah apa yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mana mereka tidak mungkin bersepakat dan bersamaan untuk berbohong dalam semua tingkatan sanadnya. Silahkan melihat perincian dari pengertian hadits mutawatir serta pembagiannya di jawaban soal no. (34651).
Kedua: apa yang dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim dimana umat telah menerimanya. Hal itu termasuk beberapa hadits ringkas yang telah dikeluarkan oleh keduanya dalam shahihnya dimana sebagian para ulama’ memperbincangkannya. Selain dari itu maka hadits-haditsnya qothiyyatus tsubut menurut pendapat terkuat dari perkataan ahli ilmu. Berdasarkan indikasi-indikasi dan ditunjukkan dengan konsensus (ijmak) ummat dan mendapatkan penerimaan sempurna.
Ibnu Sholah rahimahullah berpendapat dalam ‘Muqoddimahnya (hal. 28-29) mengatakan bahwa hadits- hadits yang ada di shahihain (dua kitab shahih /Buhori dan Muslim) telah tegas akan keshahihannya yang mempunyai manfaat ilmu yakin, karena umat bersepakat akan keshahihannya hadits-hadits yang ada dalam Shahihain. Sementara umat ketika berijma’ (konsensus) maka terjaga dari kesalahan Hanya sedikit hadits saja dari hadits-hadits shahihain dimana sebagian ahli ilmu mengkritisinya seperti Daroqutni dan lainnya.
Maka Imam An-Nawawi rahimahullah memberikan catatan dalam kitab ‘At-Taqrib’ seraya mengatakan, “Syekh menyebutkan bahwa apa yang diriwayatkannya atau dari salah satunya itu tegas akan keshahihannya. Dan mendapatkan ilmu yang qoth’i (pasti). Sementara para peneliti dan kebanyakan (ulama’ hadits) berbeda pendapat dengannya. Seraya mengatakan, “Hal itu mempunyai manfaat dzon (persangkaan) selagi belum mutawatir.” (Tadribur Ruwat, 1/141).
Sekelompok dari kalangan para ulama peneliti hadits mengambil pendapat Ibnu Sholah sementara An-Nawawi rahimahullah berbeda pendapat dengannya. Suyuthi rahimahullah mengatakan, “Dan Ibnu Abdus Salam mengkritisi pendapata Ibnu Sholah.”
Al-Balqoni berkata, “Apa yang dikatakan oleh An-Nawawi dan Ibnu Abdus Salam serta orang-orang yang mengikutinya itu terlarang. Dimana telah dinukil dari sebagian para Penghafal (hadits) muta’akhirin (kalangan ulama’ zaman akhir) seperti pendapat Ibnu Sholah dari jama’ah Syafiiyyah seperti Abu Ishaq, Abu Hamid Al-Isfirayini, Qodhi Abi Toyyib, dan Syekh Ibnu Ishaq As-Syairozi dan dari As-Sarkhosyi dari Hanfiyah, dan Al-Qodhi Abdul Wahhab dari Malikiyah serta Abu Ya’la, Abu Al-Khotib dan Ibnu Az-Zaguni dari Hanabilah. Dan Ibnu Fauraq, serta kebanyakan dari ahli kalam dari Asy’ariyah, dan hampir semua pakar hadits, dan mazhab salaf secara umum mereka menegaskan dengan hadits yang diterima umat dengan penerimaan sempurna.
Syeikhul Islam maksudnya Ibnu Hajar- ‘Apa yang disebutkan An-Nawawi dalam Syarh Muslim dari sisi mayoritas. Sementara para peneliti, maka tidak seperti itu. Dimana para peneliti juga sependapat dengan Ibnu Sholah.
Dikatakan dalam kitab ‘Syarh An-Nukhbah (maksudnya Ibnu Hajar),”Khabar (hadits) yang diikuti dengan indikasi-indikasi (qoroin) itu mempunyai faedah ilmu berbeda dengan orang yang tidak menerimanya akan hal itu. Dia berkata, ”Hal itu banyak macamnya, di antaranya apa yang dikeluarkan oleh dua syekh (Bukhari-Muslim) dalam kedua shahihnya yang tidak sampai derajat mutawatir. Maka hal itu cukup dengan adanya indikator-indikator. Diantaranya, kemuliaan keduanya pada bidang ilmu ini dan senioritas dalam membedakan yang shahih dibandingkan dengan lainnya. Sementara para ulama telah meneriman kedua kitab tersebut dengan penerimaan penuh. Penerimaan ini saja cukup lebih kuat dalam memberikan faedah ilmu. Dibanding sekedar banyaknya jalan yang singkat dari mutawatir. Kecuali kalau hal ini khusus dengan apa yang tidak ada seorangpun yang menyangkalnya dari kalangan penghafal (hadits) apa yang ada dalam kedua kitab ini. Selain dari itu, maka ijma’ (konsensus) telah ada penerimaan akan keshahihannya.
Ibnu Katsir mengatakan, “Saya setuju dengan pilihan dan pendapat Ibnu Sholah. Saya (Suyuthi) mengatakan, “Ini yang dipilih dan saya tidak meyakini yang lainnya.” (Tadribur Rawi, 1/142-145).
Ketiga: di antara hadits yang qothiyyatus tsubut ada yang disepakai oleh umat dengan penerimaannya meskipun itu tidak ada di dua kitab shahih (Bukhari dan Muslim). Sebagaimana telah dibahas, bahwa umat akan terjaga dari kesalahan dalam ijmaknya.
Keempat: khabar (hadits) yang dikeluarkan dari banyak sisi yang tidak ada cacatnya. Silahkan lihat kitab ‘An-Nakt ‘Ala Kitab Ibnu As-Sholah, Karangan Ibnu Hajar, (1/378).
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang semuanya para imam penghafal hadits, seperti apa yang diriwayatkan dari Imam Ahmad suatu hadits dari Imam Syafi’i sementara Imam Syafi’I meriwayatkannya dari Imam Malik. Maka hadits ini mempunyai faedah ilmu dan tegas akan tsubutnya (keberadaannya) karena melihat kehebatan para rawinya. Dengan syarat harus mempunyai banyak sanad. Silahkan melihat ‘Tadribur Rowi, (1/144).
Semua macam ini itu qothiyyatus tsubut (kepastian akan keberadaannya).
Secara umum, maka khabar mutawatir dan khabar ahad yang dinyatakan memiliki indikasi-indikasi yang mendapatkan ilmu qoth’i (kepastian) seperti telah diterima umat dengan baik. Baik yang ada dalam dua kitab shahih atau di salah satunya atau kitab lainnya itu semuanya qothiyyatus tsubut (penerimaan dengan pasti).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulah berkata, “Yang benar yang dikatakan oleh kebanyakan para ulama; adalah bahwa kepastian sebuah riwayat didapatkan dari banyaknya orang yang mengabarkan dan terkadang didapatkan dengan sifat agama dan ketelitian mereka, dan terkadang didapatkan dengan indikasi-indikasi yang menguatkan khabar (hadits) didapatkan dengan kumpulan itu semua. Terkadang didapatkan kepastian tersebut pada suatu generasi tanpa generasi lainnya. Begitu juga khabar yang diterima oleh para Imam dengan penerimaan yang membenarkannya atau mengamalkan isinya juga mempunyai faedah ilmu menurut mayoritas (jumhur) ulama Kholaf dan salaf dan ini termasuk bentuk makna dari mutawatir.” (Majmu Fatawa, 18/48).
Dari penjelasan tadi, maka kapan saja ada hadits dengan bentuk diantara bentuk-bentuk ini, maka tidak mengapa menyebutkannya tanpa sanad. Akan tetapi yang lebih utama disebutkan siapa yang mengeluarkannya dari kalangan penyusun kitab-kitab seperti Bukhori, Muslim dan Ahmad. Sebutkan juga siapa yang menshahihkan dari kalangan para Imam sehingga pendengarnya yakin akan kebenaran hadits ini.
Kedua:
Perkataan Anda tentang ‘Al-Masih Ad-Dajjal’ tidak mengapa, karena perkataan ‘Al-Masih’ ketika disendirikan dipahami maksudnya adalah Al-Masih Isa bin Maryam alaihis salam. Sementara kalau diikat ketika dikatakan ‘Al-Masih Ad-Dajjal’ adalah nama sesuatu maksud, hal itu adalah orang lain.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Kata ‘Al-Masih’ ketika disebutkan mengarah kepada Dajjal dan Nabi Isa bin Maryam alaihis salam. Akan tetapi kalau ingin penyebutan Dajjal biasanya diikat dengannya. Selesai.
Kemudian telah ada ketetapan pada banyak hadits bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyebut Dajjal dengan nama ‘Al-Masih Ad-Dajjal’ setelah ada ketetapan hal itu dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, tidak selayaknya Anda meragukan atau bimbang menggunakan nama ini.
Wallahua’lam.