Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Diwajibkan bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam hal pembagian hari di antara istri-istrinya.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Kami tidak mengetahui adanya perbedaan di antara para ulama akan kewajiban pembagian hari yang sama”. (Al Mughni: 7/229)
Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 10091 dan 13740.
Kedua:
Hak istri yang sedang sakit tidak menjadi gugur, namun suami tetap wajib membagi hari kepadanya sama dengan pembagian harinya pada saat sehatnya.
Imam Syafi’i –rahimahullah-berkata:
“Hendaknya tetap bermalam di rumah istri yang sedang sakit dan tidak bisa disetubuhi, sedang haid, atau sedang nifas; karena bermalamnya suami di rumahnya merupakan bentuk kasih sayang meskipun tidak ada jima` atau sesuatu yang disukai oleh istrinya dan dia akan marah jika tidak dilakukan oleh suaminya”. (Al Umm: 5/188)
Dan di dalam Kasyful Qana` (5/201) disebutkan:
“Suami juga hendaknya membagi hari kepada istrinya yang sedang haid, nifas atau sedang sakit; karena tujuan pembagian tersebut adalah keberadaan suami, bermalam, dan membahagiakannya. Seorang istri membutuhkan yang demikian tersebut”.
Ketiga:
Tidak seharusnya seorang suami menceraikan salah satu istrinya sebelum dia memenuhi hak pembagian hari yang menjadi kewajibannya; karena menceraikan pada kondisi seperti itu menjadikannya tidak bisa lagi mendapatkan hak pembagian harinya.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Jika seorang suami membagi hari kepada salah satu istrinya, kemudian menceraikan istri yang satunya sebelum mendapatkan giliran harinya, maka dia telah berdosa; karena dia menelantarkan haknya yang menjadi kewajiban suami untuk memenuhinya”. (Al Mughni: 7/311)
Zakaria al Anshori –rahimahullah- berkata:
“Suami telah melakukan maksiat dengan menceraikan istrinya yang belum mendapatkan haknya, setelah ada kesempatan sebelumnya namun tidak dilaksanakan. Ibnu Rif`ah berkata: “Dianggap bermaksiat tersebut jika dia menceraikan istrinya tanpa bertanya kepadanya terlebih dahulu, namun jika bertanya dulu maka tidak dianggap bermaksiat… Bentuk pertanyaannya adalah hendaknya talak yang dijatuhkan adalah talak bain (perceraian yang tidak bisa rujuk lagi). Adapun talak raj`i (yang bisa rujuk lagi) tidak dianggap bermaksiat; karena memungkinkan baginya untuk rujuk, bermalam, keduanya menjadi wajib dilakukan”. (Asna al Mathalib: 3/236)
Keempat:
Jika pasangan suami istri bercerai kemudian kembali rujuk kembali, maka diwajibkan bagi seorang suami untuk mengganti hak-hak sebelumnya yang belum terpenuhi dalam hal pembagian hari.
Zakaria Al Anshori –rahimahullah- berkata:
“Qadha` (mengganti) tidak gugur dengan perceraian”. (Al Ghurar al Bahiyyah: 4/221)
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Jika dia (istri) kembali lagi ke suaminya, baik dengan rujuk atau dengan akad baru, maka pada saat itulah waktu mengqadha` giliran harinya; karena dia ada kesempatan untuk menunaikan haknya, maka wajib dilakukan, seperti halnya seseorang yang sedang kesulitan dan tidak mampu bayar hutang, dia membayarnya setelah mampu menunaikannya”. (Al Mughni: 7/311)
Qadha` tersebut akan gugur jika telah rujuk kembali dan istrinyalah yang menjadi penyebab tidak adilnya pembagian hari; karena dia sudah tidak mempunyai hak lagi, kalau misalnya ada istri-istrinya yang lain pun, qadha` pembagian hari pun tetapp gugur juga.
Zakariya al Anshori –rahimahullah- berkata:
“Jika istri yang mau ditunaikan haknya tidak bersama suaminya, maka tidak ada qadha`; karena dia mengqadha` giliran hari bagi istri yang terdzalimi, dan karena istrinya yang lain yang mengambil hak giliran istri yang terdzalimi”. (Asna Mathalib: 3/236)
Jika seorang wanita sejak awal sudah menggugurkan haknya yang telah berlalu atau menemukan titik temu antar keduanya, maka tidak masalah; karena menjadi haknya dan telah digugurkan; karena memperbaiki hubungan suami istri, meskipun dengan menggugurkan sebagian hak yang wajib adalah sesuatu yang baik dicintai oleh syari`at, Allah –Ta’ala- berfirman:
“(الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) البقرة/229(
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqarah: 229)
Firman Allah yang lain:
(وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ) النساء/128
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. (QS. An Nisa`: 128)
Wallahu a`lam.