Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah: 2046 dan Ahmad dalam Musnadnya: 26360, Abu Ya’la dalam Musnadnya: 4444 dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
(لَا طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِي إِغْلَاقٍ) وحسنه الألباني في " صحيح وضعيف سنن ابن ماجة "(2046(
“Tidak ada talak juga tidak ada pemerdekaan (budak) secara paksa”. (Dihasankan oleh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah: 2046)
Para ulama telah berbeda pendapat dalam memahami arti dari “al ighlaq”, sebagian mereka mentafsirinya sebagai paksaan, al Khithabi berkata: “Arti dari al ighlaq adalah al ikrah (paksaan)”. Umar bin Khottab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhum- mereka tidak berpendapat bahwa talak dengan terpaksa tidak dianggap talak, pendapat ini juga pendapat Syuraih, ‘Atha, Thawus, Jabir bin Zaid, al Hasan, Umar bin Abdul Aziz, al Qasim dan Salim, demikian juga Malik bin Anas, al Auza’i, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Ishak bin Rahawaih”. (Ma’alim Sunan: 3/242)
Dan disebutkan di dalam “At Taisir fil Jami’ as Shaghir (2/501):
( لَا طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِي إِغْلَاقٍ )
“Tidak ada talak dan tidak ada pemerdekaan (budak) dalam keadaan terpaksa”.
Karena orang yang terpaksa akan menutup pintu dan kebanyakan merasa terpojok, maka talaknya tidak berpengaruh apa-apa menurut tiga imam, namun Hanafiyah menganggap talaknya tetap terjadi”.
Sebagian ulama mentafsiri bahwa maksudnya adalah larangan untuk menjatuhkan talak tiga kali pada satu waktu sekaligus, maka pintu talak sudah ditutup baginya hingga tidak tersisa lagi baginya, seperti menutup gadai, disampaikan oleh Abu ‘Abid al Harwi”. (Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril Ibad: 5/195)
Sebagian ulama menafsirinya dalam keadaan gila, sebagian yang lain menafsirinya dengan keadaan sangat marah, sebagaimana yang disebutkan dalam Nail Authar (6/279):
“Fi ighlaq maksudnya adalah dengan paksaan, hal itu diriwayatkan di dalam at Talkhish dari Ibnu Qutaibah, al Khithabi, Ibnu Sayyid dan yang lainnya. Dikatakan juga maksudnya adalah dalam keadaan gila, namun al Mathrazi menganggapnya aneh, dikatakan juga maksudnya adalah dalam keadaan marah, sebagaimana tertera di dalam Sunan Abu Daud, salah satu riwayat dari Ibnul A’rabi, demikian juga penafsiran Ahmad, namun ditolak oleh Ibnu Sayyid dengan berkata: “Jika maksudnya demikian, maka tidak akan terjadi talak kepada siapapun, karena seseorang tidak akan mentalak kecuali setelah marah”.
Di dalam I’lam Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (3/47):
“Imam Ahmad berkata yang diriwayatkan dari Hambal: “Maksudnya adalah marah”, demikian juga penafsiran dari Abu Daud, termasuk pendapat al Qadhi Ismail bin Ishak salah seorang ulama Malikiyah dan tokoh ahli fikih dari Irak, menurut beliau juga termasuk sumpah yang sia-sia, beliau memasukkan sumpahnya orang yang sedang marah termasuk sumpah yang sia-sia dan sumpah yang tertutup/terhalang, yang demikian itu diriwayatkan juga dari Ibnu Bazizah al Andalusi berkata: “ini adalah pendapat Ali, Ibnu Abbas, dan yang lainnya dari kalangan para sahabat bahwa semua sumpah yang diucapkan dengan marah maka tidak bisa mengikat”. Dan di dalam Sunan ad Daruquthni dengan sanad yang tidak terlalu kuat dari hadits Ibnu Abbas yang marfu’:
لا يمين في غضب ، ولا عتاق فيما لا يملك
“Tidak ada sumpah dalam keadaan marah, dan tidak ada pembebasan (budak) jika tidak dimiliki (sepenuhnya)”.
Hadits ini meskipun tidak ditetapkan sebagai hadits marfu’ tetapi perkataan Ibnu Abbas. Imam Syafi’i menafsiri hadits “La thalaq fii Ighlaq” dengan keadaan marah, demikian juga Masruq. Jadi ada Masruq, Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Qadhi Ismail, mereka semua menafsiri kata “ighlaq” dengan marah, inilah penafsiran yang paling baik; karena orang yang marah telah menutup pintu tujuannya pada saat sangat marah, seperti halnya orang yang terpaksa. Bahkan orang yang marah lebih layak menjadi tertutup dari pada orang yang dipaksa; karena orang yang dipaksa masih mempunyai tujuan untuk mengangkat keburukan besar dengan keburukan yang sedikit, maka dia benar-benar bermaksud melakukannya, dari sini maka talak pun tetap terjadi bagi yang melakukannya.
Sedangkan orang yang marah, pintu tujuan dan ilmunya tertutup rapat, seperti halnya dalam keadaan mabuk dan gila, karena kemarahan adalah tertutupnya akal, yang menipunya seperti halnya halunisasinya minuman keras, bahkan lebih dahsyat lagi karena menjadi bagian dari kegilaan, dan tidak diragukan lagi bagi yang memahami kejiwaan manusia bahwa dalam keadaan seperti ini talaknya tidak terjadi”.
Pendapat yang rajih dari maksud hadits di atas adalah:
Bahwa al Ighlaq berarti dalam keadaan dipaksa, gila, stress dan marah yang sangat. Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Syeikh kami (Syeikh Islam Ibnu Taimiyah) berkata: “maksud yang sebenarnya dari kata: “ighlaq” (tertutup) yaitu; seseorang laki-laki yang telah menutup hatinya, tidak ingin berbicara atau tidak memberitahukannya, seakan dia telah menutup tujuan dan keinginannya. Abul Abbas al Mubarrad berkata: “al Gholqu adalah sempitnya dada dan tidak sabar. Syeikh kami berkata: “Termasuk dalam hal itu talaknya seorang yang dipaksa dan orang gila, dan barang siapa kehilangan akal karena mabuk atau marah dan semua yang di luar kesengajaan, dan tidak tahu apa yang dikatakannya.
Kemarahan dibagi tiga:
1.Yang menghilangkan akal, pelakunya tidak sadar dengan apa yang diucapkan, yang demikian ini tidak ada perbedaan bahwa talaknya tidak berpengaruh apa-apa.
2. Kemarahan yang masih bisa dikendalikan, yang tidak menghalangi pelakunya untuk memahami apa yang diucapkan dan diinginkan, maka yang demikian itu jika ia mentalak maka jatuh talaknya.
3. kemarahan yang sangat namun tidak menghilangkan semua akal sehatnya, akan tetapi ada yang menghalangi antara dia dengan niatnya dan akan menyesal setelah dia menyadari apa yang telah diperbuatnya, di sinilah yang menjadi titik perbedaan pendapat, tidak jatuhnya talak dalam kondisi seperti ini adalah pendapat yang kuat”. (Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril Ibaad: 5/195)
Wallahu a’lam.