Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
..Pertama :
Telah ada jawaban soal tentang menjadi pemeran dalam adegan atau hal-hal yang berkaitan dengannya pada soal nomer ( 10836 ), maka harap bisa menelaah kembali kepada jawaban tersebut, dan kami menambahkan :
As Syaikh Bakar Abu Zaid Hafidlahullah berkata : Sifat muru’ah (menjaga diri) merupakan salah satu tujuan syariat, dan meninggalkannya atau merusakkannya merupakan bagian dari pembatal-pembatal kesaksian, dan syari’at menganjurkan akan keluhuran budi pekerti serta melarang dari menghinakan serta merendahkannya. Maka betapa banyak pemirsa yang melihat tayangan para pemeran yang memerankan adegan-adegan dengan gerakan anggota tubuhnya, mendesiskan suaranya bahkan tidak jarang menampakkan aurat dari anggota tubuhnya, terkadang memerankan sebagai orang gila, orang yang hilang ingatan atau kematian dan hal itu sangat bertentangan dengan tujuan diciptakannya manusia. Selayaknya bagi orang yang berakal tidak tertarik untuk memerankan adegan-adegan dalam perfileman karena hal itu merupakan perusak dan pembinasa harga diri yang paling utama karena yang demikian itu merupakan pembatal-pembatal kesaksian dalam majlis persidangan. Oleh sebab itu maka sesungguhnya secara global syari’at islam sama sekali tidak memperbolehkannya. Silahkan lihat kitab : “ Al Muruah Wa Khowarimuha ” halaman 221 karangan Masyhur Hasan.
Kedua :
Pernikahan anak kecil sebelum dia baligh diperbolehkan secara syariat bahkan pendapat ini yang menjadi kesepakatan ulama’.
A. Allah Azza wa Jalla berfirman :
)واللائي يئسن من المحيض من نسائكم إن ارتبتم فعدتهن ثلاثة أشهر واللائي لم يحضن ) الطلاق4
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid ” (QS. At Thalaaq/4).
Di dalam ayat ini : kita mendapati sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan perempuan yang belum haidl – disebabkan karena usianya yang masih belia atau karena dia belum baligh – masa iddah untuk perceraiannya yaitu tiga bulan dan tentu saja ini dalil yang teramat terang dan jelas bahwasannya Allah Ta’ala menjadikan dari pernikahan itu iddah dari sebab perceraian dan lainnya.
عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوجها وهي بنت ست سنين ، وأُدخلت عليه وهي بنت تسع ومكثت عنده تسعاً.
Dari Aisyah Radliyallahu’anha sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahinya sedang dia saat itu berumur enam tahun, dan dia dibawa kerumah Rasulullah dan tinggal bersama beliau pada saat umurnya sembilan tahun. Hadits riwayat Bukhari ( 4840 ) dan Muslim ( 1422 ).
“ تزوج النبي صلى الله عليه وسلم عائشة وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين“ رواه البخاري ومسلم وعنده "سبع سنين" .
“Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menikahi Aisyah sedang saat itu dia masih berumur enam tahun dan menggaulinya saat dia berumur sembilan tahun ” Hadits riwyat Bukhari dan Muslim dan dalam riwayat Muslim “ beliau menikahi Aisyah pada saat ia berumur tujuh tahun ”.
Dan bagi siapa saja yang menikah di usia belia tidak harus dan juga tidak diperkenankan menggaulinya, bahkan ia dilarang digauli atau berhubungan suami istri dengannya melainkan dia telah siap dan layak untuk itu, oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menunda – sampai umur yang diperbolehkan – menggauli Aisyah Radliyallahu Anha.
Imam Nawawi Rahimahullah berkata :
Adapun waktu menggauli atau berhubungan badan dengan perempuan belia yang telah menikah : jika suami dan wali si perempuan sepakat terhadap sesuatu maka tidak ada salahnya berhubungan badan dengan perempuan yang masih belia, dan jika antara suami dan wali terdapat perselisihan : Maka Imam Ahmad dan Abu Ubaid berpendapat : bagi perempuan yang sudah berumur sembilan tahun maka dipaksa untuk memenuhi kebutuhan suaminya dan tidak demikian bagi yang umurnya masih kurang dari sembilan tahun. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat : Batasan bagi anak perempuan belia yang telah menikah adalah jika dia telah menjadi layak dan mampu untuk berhubungan badan, hal itu berbeda kondisi antara anak yang satu dengan yang lainnya, dan tidak bergantung pada ketentuan umur, pendapat ini yang benar. Di dalam hadits Aisyah tidak ada pembatasan dan juga pelarangan dari berhubungan suami istri bagi perempuan yang sudah memiliki kelayakan dan kemampuan untuk itu. Meskipun umurnya kurang dari sembilan tahun, juga tidak perlu minta izin kepada walinya bagi perempuan yang belum memiliki kelayakan untuk itu meski umurnya telah melampaui sembilan tahun. Addaudi Berkata : Dan pada saat itu (usia sembiln tahun) Aisyah Radliyallahu Anha telah menjadi seorang gadis yang teramat cantik dan rupawan.“ Syarh Muslim ( 9 / 206 ) ”.
Yang sangat dianjurkan adalah hendaknya sang wali tidak menikahkan putrinya yang masih belia kecuali apabila dalam pernikahan tersebut terdapat maslahah dan kebaikan yang diinginkan.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata :
Ketahuilah sesungguhnya Imam As Syafi’i dan para pengikutnya mengatakan : Sangat dianjurkan bagi para Ayah maupun para kakek hendaknya mereka tidak menikahkan putri mereka yang masih belia hingga mereka mencapai usia baligh dan diminta izinya agar tidak terjadi pada mereka atau mereka mendapatkan suami yang paling buruk sedang mereka sangat membencinya, dan pendapat mereka ini sama sekali tidak bertentangan dengan hadits Aisyah ; karena sesungguhnya maksud mereka adalah agar para wali tidak menikahkan putri mereka sebelum mereka beranjak baligh dan dewasa jika memang tidak terdapat kemaslahatan yang sangat jelas yang dihawatirkan akan hilang dengan menunda pernikahannya sebagaimana Hadits Aisyah, maka dalam hal ini sangat dianjurkan bagi para wali untuk menikahkan putrinya karena mereka dianjurkan untuk memberikan kemaslahatan kepada anaknya dan tidak menghilangkannya, Wallahu A’lam. “ Syarh Muslim ( 9 / 206 ) ”.