Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya bekerja sebagai pegawai negeri dan saya mempunyai banyak teman wanita dalam pekerjaan. Apa hukum saling memberi hadiah di antara kami, baik terkait dengan momen pernikahan atau untuk saling mencintai? Perlu diketahui bahwa di antara kami tidak ada kepentingan, yang satu tidak menjadi direktur terhadap yang lainnya. Bahkan kita semua satu level. Saya was was sekali dengan apa terjadi. Saya tidak bisa membedakan antara hadiah dengan suap.
Saya juga ingin bertanya, kadang saya membawa coklat dan saya berikan kepada semua pegawai di satu devisi. Apakah saya juga perlu memberikan kepada direktur ataukah hal itu tidak dibolehkan? Sebagaimana saya juga ingin bertanya, ibuku telah meninggal dunia sekitar dua tahun lalu. Ketika di rumah sakit, kadang saya membawa coklat atau makmul (semacam kue bungkusan) atau selain dari itu, kadang saya juga membawa uang dan saya berikan kepada perawat agar mereka semakin perhatian terhadap ibu saya. Waktu itu saya belum mengetahui sedikitpun bahwa hal itu termasuk suap. Sementara sekarang, ketika saya ingat masa lalu, saya merasa itu adalah suap, dan saya menyesal sekali. Saya tidak ingin dilaknat, kalau saya merasa gelisah dan menyesali akan dosa ini, apa yang selayaknya saya lakukan untuk bertaubat kepada Tuhanku? Dan apakah shalat dan puasa selama dua tahun yang lalu bermasalah?
Alhamdulillah.
Hadiah termasuk perkara yang dianjurkan karena di dalamnya dapat menyatukan dan menguatkan hati serta ikatan persaudaran Islam.
Adapun suap termasuk urusan yang diharamkan, karena menyebabkan terjadi kezaliman, aniaya terhadap hak orang lain, menguatkan kebencian dan egoisme. Maka keduanya jelas berbeda. Hadiah menjadikan seseorang dicintai sementara suap menjadikan seseorang mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya dan menggugurkan hak yang lainnya.
Adapun hadiah yang diberikan kepada para pegawai kalau berkaitan dengan wewenang pekerjaannya, maksudnya disebabkan karen dia direktur atau qadhi, maka hal itu diharamkan, karena Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarangnya. Karena hal itu dapat merubah pandangan direktur atau qadhi kepada si pemberi hadiah, sehingga dia diistimewakan atau diberi sesuatu yang tidak menjadi haknya.
Karena itu, apa yang diberikan seorang pegawai kepada teman-temannya yang bekerja adalah termasuk hadiah bukan suap, karena sebabnya adalah pertemanan dan kasih sayang, yang diberikan hadiah bukan seorang penanggung jawab yang diharapkan sesuatu darinya atau agar dirinya diistimewakan dibanding lainnya.
Sementara hadiah untuk direktur maka dia termasuk suap atau sarana menuju ke sana. Karena direktur mempunyai kekuasaan kepada bawahannya, dan hadiah ini terkadang berdampak kepada sebagian keputusannya.
Cuma kalau hal itu sedikit sekali, seperti membagi sepotong coklat, dan hal itu sudah menjadi kebiasaan, maka tidak termasuk suap. Apalagi kalau pembagian itu diberikan secara umum untuk semua pegawai di kantor, tanpa mengkhususkan direktur dan orang-orang di sekitarnya dengan tambahan tertentu. Tidak layak serta tidak sesuai tabiat, jika semua pegawai diberi sedangkan direktur ditinggalkan.
Kedua:
Tidak selayaknya memberikan hadiah kepada perawat atau dokter, baik dari pihak pasien langsung atau keluarganya. Karena hal itu akan menjadikan perawat memberikan perhatian lebih kepada pasien ini. Sehingga hal itu itu menjadi perhatian lebih dibandingkan pasien-pasien lainnya. Terkadang menjadikan perawat tidak semangat bekerja dan menunaikan tugas sebagaimana mestinya dalam memperhatikan para pasiennya kecuali setelah diberikan hadiah semacam ini.
Akan tetapi, ditolerir kalau hadiah kecil atau sedikit seperti coklat dan semisalnya yang dianggap biasa.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum hadiah yang diberikan kepada dokter setelah melakukan pengobatan. Apakah hal itu disyariatkan atau dibolehkan atau diharamkan?
Maka beliau menjawab, “Kalau –maksudnya dokter – di rumah sakit negeri atau klinik negeri, maka jangan diberikan sesuatu. Akan tetapi kalau memberikan kepadanya setelah selesai semua urusan, tidak ada kontrol lagi dan tanpa ada sesuatu dan tanpa janji (sebelumnya), semoga saja tidak mengapa. Akan tetapi meninggalkannya itu lebih berhati-hati, meskipun memberinya jauh setelah itu. Karena hal itu bisa jadi telah ada kesepakatan bersamanya dari dalam, sehingga membuatnya dapat perhatian lebih dan mengabaikan yang lain. Menurut saya, lebih baik tidak memberikan apapun kepadanya, meskipun setelah selesai semua urusan dalam rangka menutup pintu dan menutup celah. Akan tetapi bagus jika mereka didoakan agar mendapatkan taufik dan pertolongannya, seperti mengucapkan ‘Semoga Allah membalas kebaikan anda, dan kami memohon kepada Allah agar anda diberikan bantuan dan taufik atau doa lain yang baik semacam ini.” (Nurun ‘Alad Darbi, 19/ 380- 381).
Telah ada dalam website ini penjelasan bahwa hadiah kepada para pegawai disebabkan karena pekerjaannya tidak dibolehkan. Hal itu terdapat pada jawaban soal no. 83590.
Kalau seorang muslim melakukan sesuatu yang haram sementara dia tidak mengetahui bahwa hal itu adalah diharamkan, maka insyaallah Allah akan memaafkannya. Allah taala berfirman:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً
سورة الأحزاب: 5
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5)
Orang yang tidah mengetahui suatu hukum, maka dia tidak sengaja melakukan dosa. Hal itu tidak berdampak pada ibadah-ibahda anda yang lampau seperti shalat dan puasa.
Allah ta’ala juga berfirman, terkait orang yang telah melakukan memakan riba pada masa yang lampau:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
سورة البقرة: 275
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Kemudian ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa tidak ada hubungan apapun dari apa yang telah anda sebutkan dengan ketaatan anda dan ibadah anda, baik itu shalat atau puasa atau zakat atau selain dari itu. Baik anda melakukan yang mubah atua haram. Apa yang telah anda lakukan, tidak merusak amal anda. Amal anda tidak rusak karena kesalahan pada perkara lain. Apalagi kalau anda belum mengetahui bahwa hal itu adalah kesalahan. Bagaimana lagi kalau urusan itu adalah mubah, tidak ada kesalahan di dalamnya?!
Yang terpentng kami nasehatkan kepada anda sekarang adalah, hendaklah anda abaikan total perasaan was was tersebut. Berlindunglah dengan nama Allah darinya dan jangan tengok lagi kepadanya. Tidak perlu diperhatikan. Karena kapan saja dia menguasai anda, maka dia akan merusak urusan agama dan akhirat anda.
Dalam website kita ini banyak sekali jawaban sekitar was was dan cara pengobatannya, harap dirujuk lagi dan ambil faedah darinya. Kami juga nasehatkan anda agar merujuk ke dokter spesialis yang objektif. Jika dua bentuk terapi digabungkan, antara yang bersifat sikap dan pola hidup dan keimanan dengan pengobatan medis dan fisik, biasanya akan mempercepat penyembuhann dengan izin Allah dan meringakan syaraf dari perasaan was was.
Wallahu a’lam