Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Sejauh mana kebenaran ungkapan ini, dan apakah di dalamnya termasuk etika buruk kepada Allah pada ucapan “Diwajibkan”, ungkapan tersebut adalah: “Dikatakan kepada Ibrahim bin Adham, harga-harga sudah naik, lalu ia berkata: “Demi Allah, hal itu tidak penting bagi saya, meskipun satu bulir gandum seharga satu dinar, karena kewajiban saya adalah beribadah kepada-Nya seperti yang Dia perintahkan, dan menjadi kewajiban-Nya untuk memberikan rizeki kepada saya seperti yang Dia janjikan” ?
Alhamdulillah.
Jika benar ungkapan tersebut dinisbatkan kepada Ibrahim bin Adham, maka makna yang terlintas tidak masalah.
Karena menjadi kewajiban seorang muslim perwujudan ibadah itu menjadi obsesi utama dan terbesar, bukan obsesi rizeki, dalam rangka mengikuti firman Allah ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ، مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ ، إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ الذاريات/56 - 58.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh”. (QS. Adz Dzariyaat: 56-58)
Ucapannya: “Menjadi kewajiban-Nya untuk memberikan rizeki kepada saya sesuai dengan janji-Nya”.
Bisa difahami sebagai penetapan bahwa Allah adalah Maha Pemberi rizeki, dan telah menjamin setiap makhluk dengan rizeki-Nya di dunia ini, dan telah menjadikan hal itu kepada diri-Nya sendiri –subhanahu wa ta’ala-.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ هود/6.
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Huud: 6)
At Thabari –rahimahullah- berkata:
“ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا ia berkata: kecuali rizeki dari Allah akan sampai kepadanya, Dia yang menjamin, mulai dari makanan, gizi, dan apa saja yang dibutuhkan dalam kehidupannya”. (Tafsir At Thabari: 12/324)
Syeikh Thahir bin ‘Asyur –rahimahullah- berkata:
“Mendahuluan kata: عَلَى اللَّهِ sebelum kalimat penyempurnanya yaitu; ( رِزْقُهَا) untuk tujuan pembatasan, yaitu hanya bagi Allah tidak kepada selain-Nya, dan sususnan kalimat عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا mempunyai arti bahwa Allah telah menjamin rizekinya dan tidak menelantarkannya, karena (عَلَى) menunjukkan kepastian/kewajiban dan hak, dan sebagaimana diketahui bahwa Allah tidak memastikan kepada seseorang dengan sesuatu, maka tidak bermakna kepastian, akan tetapi Dia telah memastikan untuk diri-Nya sendiri, sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang menuntut akan hal itu, sebagaimana isyarat yang ada pada firman-Nya: وَعْدًا عَلَيْنَا ، dan firman Allah: حَقًّا عَلَيْنَا “. (At Tahrir wa Tanwir: 12/5-6)
Dan sebagaimana Allah –subhanahu wa ta’ala- telah menjamin rizeki seluruh binatang melata, maka Dia juga menjamin rizeki para hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ العنكبوت/60.
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Ankabut: 60)
Maka menjadi kewajiban seorang muslim yang jujur dan percaya kepada Allah Ta’ala, agar tidak dihinggapi kegalauan dari krisis keuangan apapun, sebagaimana petunjuk wahyu tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ الأنعام /151.
“dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya)”. (QS. Al An’am: 151)
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا الإسراء/31.
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. Al Isra’: 31)
Karena rizeki itu sesuai dengan takdir dan setiap jiwa tidak akan meninggal dunia sampai rizekinya disempurnakan.
Dari Abdullah bin Mas’Ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengabarkan kepada kami, dan dialah orang jujur dan bisa dipercaya bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ، وَرِزْقَهُ، وَأَجَلَهُ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ... رواه البخاري (3208)، ومسلم (2643).
“Sungguh salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah (zigot) selama itu juga, kemudian Allah mengutus seorang malaikat untuk diperintah dengan empat hal, dikatakan kepadanya: “tulislah amalnya, rizekinya, ajalnya, bahagia atau sengsara, kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya”. (HR. Bukhori: 3208 dan Muslim: 2643)
Dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
أَيُّهَا النَّاسُ ؛ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ رواه ابن ماجه (2144)، وصححه الألباني في "سلسلة الأحاديث الصحيحة" (6 / 209).
“Wahai manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah dan perindahlah dalam memohon, sungguh sebuah jiwa tidak akan mati sampai rizekinya disempurnakan meskipun mungkin lebih lambat, maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan indahkanlah dalam memohon, ambillah apa yang halal dan tinggalkanlah apa yang haram”. (HR. Ibnu Majah: 2144 dan telah ditashih oleh Albani di dalam Silsilah Ahadits Shahihah: 6/209)
Secara dzahir bahwa orang yang mengucapkan ucapan tersebut mentafsiri ungkapan Al Qur’an dengan menggunakan huruf “Ala” (di atas), sebagaimana yang telah disebutkan di dalam firman-Nya: عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا maknanya adalah bahwa Allah telah menjamin rizeki para hamba-Nya, dan telah mewajibkannya kepada diri-Nya, sebagai bentuk karunia-Nya.
Dan kata “على” bukan berarti maksudnya bahwa Allah mewajibkan untuk memberi rizeki sebagai imbalan ibadahnya; Allah Ta’ala dengan kesempurnaan keagungan dan kekuasaan-Nya, kesempurnaan nikmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk, seseorang tidak bisa mewajibkan kepada-Nya untuk melakukan suatu perbuatan.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Para ulama telah bersepakat atas wajibnya apa yang diwajibkan dengan janji Nabi yang jujur, dan mereka berpendapat apakah Dia mewajibkan diri-Nya untuk diri-Nya, menjadi dua pendapat:
Dan bagi orang yang membolehkan hal itu berdalil dengan firman-Nya:
كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ
“Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang”. (QS. Al An’am: 12)
Dan dengan sabda-Nya di dalam hadits yang shahih:
إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا
“Sungguh Aku telah mengharamkan kedzaliman kepada diri-Ku sendiri, dan Aku telah menjadikannya haram di antara kalian”.
Dan pembahasan masalah ini dijelaskan pada tempat lainnya.
Adapun mewajibkan (sesuatu) kepada Allah –subhanahu wa ta’ala- dan mengharamkan sebagai qiyas kepada makhluk-Nya, maka hal ini merupakan pendapat Qadariyah dan hal itu termasuk pendapat bid’ah bertentangan dengan nash yang shahih dan akal yang jelas.
Dan Ahlussunnah telah bersepakat bahwa Allah –subhanahu- Pencipta segala sesuatu dan Penguasanya, dan apa yang Dia kehendaki akan terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki maka tidak terjadi, dan bahwa para hamba tidak bisa mewajibkan sesuatu kepada-Nya, oleh karenanya bahwa barang siapa yang mewajibkannya dari kalangan ahlussunnah berkata: “Sunnguh Dia telah mewajibkan kepada diri-Nya sendiri, dan telah mengharamkan kepada diri-Nya sendiri, bukan seorang hamba berhak menetapkan sesuatu kepada Allah, sebagaimana seorang makhluk kepada makhluk lainnya, karena sungguh Allah Yang Maha Memberi nikmat kepada para hamba-Nya dengan semua kebaikan, dan Dia-lah Pencipta mereka dan Dia-lah yang mengutus para Rasul kepada mereka, dan Dia-lah yang mempermudah keimanan dan amal sholeh untuk mereka.
Dan barang siapa yang mengira dari kalangan Qadariyah dan Mu’tazilah dan yang serupa dengan mereka, bahwa mereka menetapkan hak kepada-Nya seperti penetapan hak orang yang menyewakan barang kepada si penyewanya, maka hal itu sebagai bentuk kebodohan”. (Iqtidha’ Shirat al Mustaqim: 2/310-311)
Wallahu A’lam