Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Seorang dari Nigeria melakukan safar ke Korea, ia sedang berpuasa di Nigeria dan berharap untuk berbuka di Korea, dan di tengah perjalanan ia telah melaksanakan shalat dzuhur dan ashar berjama’ah di dalam pesawat bersama para penumpang yang lain, dan berharap bisa shalat maghrib di Korea dan berbuka di sana, yang mencengangkan adalah ia bertemu dengan beberapa orang yang adzan untuk shalat dzuhur, sementara ia melihat jam yang ada di masjid menunjukkan pukul: 13.30 dan matahari di Korea masih ada, ia bingung dengan kondisinya, lalu menghubungi isterinya via telpon di Nigeria, ia mengabarkan bahwa mereka di rumah sudah berbuka di Nigeria, mereka juga sudah shalat tarawih dan persiapan mau tidur, di Nigeria jam sudah menunjukkan pukul: 21.00, maka apakah ia melanjutkan puasanya menyesuaikan waktu yang ada di Korea ?, dan juga apakah ikut shalat Dzuhur bersama mereka atau shalat Maghrib dan lalu berbuka berdasarkan info dari istrinya di Nigeria ?
Alhamdulillah.
Pertama:
Barang siapa yang melakukan safar ke arah barat, lalu sampai di tujuan pada waktu Dzuhur, sementara ia sudah shalat di perjalanan, maka ia tidak wajib mengulanginya lagi; karena shalat itu tidak dilakukan dua kali, dan sebagaimana diketahui dengan mengarah ke arah barat maka akan memperlambat masuknya waktu.
Demikian juga jika ia telah melaksanakan shalat ashar, ia tidak wajib mengulanginya lagi, baik ia sampai di tujuan pada waktu dzuhur atau ashar.
Lihat juga untuk faedah jawaban soal nomor: 22387
Namun barang siapa yang ada di masjid, dan telah di kumandangkan iqamah, maka ia mengulangi shalatnya bersama jama’ah setempat, dan menjadi shalat sunnah; berdasarkan riwayat Tirmidzi (219) dan Nasa’i (858) dari Yazid bin Aswad berkata:
شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّتَهُ، فَصَلَّيْتُ مَعَهُ صَلَاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ الخَيْفِ، فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ انْحَرَفَ فَإِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي أُخْرَى القَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ، فَقَالَ: عَلَيَّ بِهِمَا ، فَجِيءَ بِهِمَا تُرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا، فَقَالَ: مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا ، فَقَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا، قَالَ: فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ، فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ وصححه الألباني في "صحيح الترمذي".
“Saya ikut hadir bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji beliau, lalu saya shalat bersama beliau shalat subuh di masjid Khoif, saat beliau selesai shalat beliau beranjak dan ternyata ada dua orang laki-laki dari kaum yang lain tidak ikut shalat bersama beliau, maka beliau bersabda: “Tolong panggilkan keduanya”, lalu keduanya pun dihadirkan dengan bergemetar lengannya, dan beliau bertanya: “Apa yang menghalangi kalian untuk ikut shalat bersama kami ?”, keduanya menjawab: “Wahai Rasulullah, sungguh kami telah mendirikan shalat dalam perjalanan”, beliau menjawab: “Jangan diulangi lagi, jika kalian sudah shalat dalam perjalanan lalu anda mendapati shalat berjama’ah di masjid, maka shalatlah bersama mereka dan shalat tersebut menjadi sunnah bagi kalian”. (Telah ditashih oleh Albani dalam Shahih Tirmidzi)
Kedua:
Adapun puasa, maka tidak boleh berbuka kecuali terbenamnya matahari di tempat di mana ia berada pada saat terbenam, jika ia sudah sampai tujuan sementara matahai masih belum terbenam, maka haram baginya berbuka sampai terbenam, meskipun jedanya masih lama, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ البقرة/187
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al Baqarah: 187)
Dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتْ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ رواه البخاري (1954)، ومسلم (1100(
“Jika malam sudah tiba dari sini dan siang sudah berlalu dari sini, dan matahari sudah terbenam, maka tiba waktunya berbuka puasa”. HR. Bukhori: 1954 dan Muslim: 1100)
Dan atas dasar itulah, maka musafir tersebut jika sudah sampai Korea dan manusia masih berada dalam shalat dzuhur, dan ia ingin menyempurnakan puasanya, maka wajib baginya menunggu sampai terbenamnya matahari, dan terbenamnya matahari di Nigeria tidak perlu dihiraukan.
Dan jika ia mau, ia bisa mengambil keringanan dengan membatalkan puasanya karena sebagai musafir, hal itu juga boleh. Apalagi waktu siang masih lama dengan perubahan mendadak ini, dan ia merasa kesulitan untuk meneruskan puasanya sampai malam di tempatnya yang baru, kemudian ia mengqadha’ puasanya setelah Ramadhan dari hari yang telah ia batalkan puasanya.
Syeik Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya: “Ada seorang mahasiswa di salam satu kota di Amerika telah menceritakan pengalamannya bahwa ia terpaksa melakukan safar dari kotanya tempat ia belajar setelah fajar, dan sampai di kota tujuan setelah mahrib sesuai waktu setempat, namun ia telah mendapatkan dirinya melewati 18 jam dan puasanya belum selesai untuk hari itu, padahal pada hari biasa ia berpuasa selama 14 jam, maka apakah ia melanjutkan puasanya dengan tambahan 4 jam atau ia berbuka mengikuti berakhirnya waktu puasa di negara asal di mana ia bermukim sebelumnya, dan saat kembali terjadi sebaliknya, yaitu; berkurang waktu siang 3 jam menjadi 14 jam ?
Maka beliau menjawab:
“Hendaknya ia melanjutkan puasanya sampai terbenamnya matahari; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إذا أقبل الليل من ههنا وأشار إلى المشرق وأدبر النهار من ههنا وأشار إلى المغرب وغربت الشمس ، فقد أفطر الصائم
“Jika malam sudah tiba dari arah sini dan beliau menunjuk ke arah timur dan siang sudah berlalu dari sini dan beliau menunjuk ke arah barat dan matahari sudah terbenam, maka sudah tiba waktu berbuka bagi orang yang berpuasa”.
Maka ia wajib berada dalam puasanya sampai terbenam matahari, meskipun bertambah 4 jam.
Yang serupa dengan ini di Kerajaan Saudi Arabia, jika seseorang melakukan safar dari kawasan timur setelah sahur menuju kawasan barat, maka ia akan menambah sesuai dalam perbedaan itu. Selesai”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 19/322)
DR. Abdullah As Sakakir berkata di dalam Nawazil As Shiyam: Pada masalah kedua:
Orang yang berpuasa melakukan safar menuju ke arah barat sesaat sebelum terbenamnya matahari di negaranya, maka baginya terbenamnya matahari menjadi terlambat, sebagaimana jika matahari terbenam di negaranya pada jam 18:00, dan 10 menit sebelum jam 18:00 ia naik pesawat melakukan safar ke arah barat, maka setiap ia berjalan pada jalur itu maka waktu siang akan menjadi panjang, matahari tidak terbenam di ufuk barat kecuali pada pukul 20:00, maka ia akan mendapatkan satu atau dua jam matahari masih terang benderang, maka apa yang kita katakan kepadanya ?
“Kami menjawab; tidak berbuka sampai terbenamnya matahari, sehingga meskipun bertambah 2, 4, 5 jam atau lebih, maka ia bisa memilih, bisa mengambil hukum sebagai musafir maka ia membatalkan puasanya karena ada keringanan, atau dia tetap menahan jika ia ingin melanjutkan puasanya; karena Al Qur’an telah menjadikan buka puasa ada batasnya:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ البقرة: 187
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al Baqarah: 187)
Dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إذا أقبَلَ اللَّيلُ مِن هاهنا، وأدبَرَ النهارُ مِن هاهنا، وغَرَبَتِ الشمسُ، فقد أفطَرَ الصائمُ
“Jika malam sudah tiba dari arah sini, dan siang berakhir dari arah sini, dan matahari sudah terbenam, maka sudah tiba waktu berbuka bagi orang yang berpuasa”.
Selama matahari belum terbenam, maka satu hari belum selesai bagi orang tersebut maka ia wajib terus menahan sampai terbenamnya matahari, atau ia mengambil rukhsah (keringanan) safar dengan membatalkan puasanya dan mengganti pada hari lain. Selesai”. Dari situs:
https://bit.ly/2Zq4574
Kesimpulan:
Wallahu A’lam