Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Bagaimana mungkin menggabungkan antara hadits Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam (Tidak sempurna keimanan salah satu diantara kamu sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri) dan Firman Allah Ta’ala: (Maka untuk yang demikian itu hendaknya saling berlombal-lomba)
Alhamdulillah.
Pertama:
Di antara adab seorang muslim apa yang telah Allah dan Rasul-Nya arahkan kepadanya dari sisi pentingnya persudaran diantara orang-orang mukmin sebagaimana Firman Allah Ta’ala (Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara) QS. Al-Hujurat/10.
Kedua:
Tidak ada kontrakdiksi antara firman Allah :
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ المطففين/26
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. QS. Al-Mutoffifin: 26
Dan apa yang ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ - أَوْ قَالَ: لِجَارِهِ - مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ رواه "البخاري" (13)، و"مسلم" (45)، واللفظ له.
“Belum beriman secara sempurna salah satu diantara kamu sampai dia mencintai saudaranya – atau mengatakan kepada tetangganya – seperti dia mencintai dirinya sendiri.” HR. Bukhori, (13) dan Muslim (45), dan redaksi darinya.
Para ulama mempunyai beberapa pendapat terkait jawaban untuk menghilangkan kontradiksi ini:
Pertama: bahwa hadits ini terkait dengan masalah dunia. Sementraa ayat Qur’an terkait dengan masalah akhirat. Silahkan melihat ‘Shohih Muslim” penjelasan Abi Was Sanusi, (1/244).
Kedua: dikatakan, maksud hal itu adalah mencintai kebaikan secara umum dan global tanpa ada perinciannya dari apa yang diinginkan oleh seseorang pada dirinya dari kebaikan. Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, setiap orang ingin mendahului dirinya dari kebaikan yang dipilihnya. Dan ingin mendahului kebaikan-kebaikan dari orang lain. Dimana Umar pernah ingin mendahului Abu Bakar? Maka jawabannya bahwa yang dimaksud dari hal itu untuk mendapatkan kebaikan secara umum dan menghalau kejelekan secara umum. Maka seseorang selayaknya dia mencintai hal itu sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Sementara terkait dengan berbekal kebaikan-kebaikan dan ketinggian kebajikan tidak mengapa medahulukan dirinya dibandingkan dengan orang lain. Selesai dari ‘Kasyfil Masyakil Min Hadits Shohehain, (3/222) silahkan melihat kitab “AL-Qobasul Syarkh Muwatho’ karangan Ibnul Araby, (929) dan Al-Masalik Syarkh Muwatho’, (6/417).
Ketiga : bahwa hal ini adalah perintah untuk menambah ketaatan, sementara perlombaan akan memicu keikutsertaan dalam kebaikan. Karena hadits itu umum dalam masalah dunia dan akhirat. Seorang mukmin itu tidak membenci seseorang ikut serta dalam hal itu. Bahkan mencintai semua orang untuk melakukan perlombaan itu dan menganjurkan akan hal itu. Dan hal itu termasuk kesempurnaan menunaikan nasihat kepada orang beriman.
Ibnu Rajab mengatakan dalam kitab ‘Jami’ Al-Ulum wal Hikam, (1/327 – 335) dengan diedit, “Maksudnya adalah termasuk perangai keimanan yang wajib adalah seseorang mencintai saudaranya yang beriman sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, dan tidak menyukai untuknya sebagaimana apa yang dia tidak menyukainya untuk dirinya. Kalau hal itu hilang pada dirinya, maka keimanannya berkurang. Kesemuanya ini ada berasal dari kesempurnaan kelapangan dadanya dari kedengkian, kecurangan dan kehasadan. Karena hasad (iri hati) menjadikan orang hasad tidak menyukai kalau ada seseorang yang lebih tinggi atau menyamai kebaikan dari dirinya. Karena dia senang lebih menonjol dibanding orang lain dalam kebaikan-kebaikan. Dan hanya dia sendiri yang memilikinya. Sementara keimanan berbeda dengan hal itu. Yaitu ingin semua orang mukimin ikut serta dalam kebaikan yang telah Allah berikan kepadanya. Tanpa menguranginya sedikitpun darinya.
Secara umum, selayaknya orang mukmin mencintai orang mukmin lainnya seperti mencintai pada dirinya dan tidak menyukai orang lain sebagaimana dia tidak menyukainya. Kalau dia melihat saudara muslim ada kekurangan dalam agamanya, maka dia berusaha keras untuk memperbaikinya.
Meskipun begitu, hendaknya orang mukmin sedih Ketika terlewatkan kebaikan-kebaikan agama. Oleh karena itu diperintahkan untuk melihat keatas terkait dengan masalah agama dan berlomba untuk mendapatkan hal itu sekuat tenaga sebagaimana firman Ta’ala:
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. QS. Al-Mutoffifin : 26.
Dia tidak menyukai seseorang ikut serta dalam hal itu, bahkan dia senang kalau semua orang berlomba-lomba akan hal itu, dan menganjurkan melakukan hal itu. Dan itu termasuk kesempurnaan dalam memberi nasehat kepada saudara-saudaranya.
Fudhoil mengatakan, “Kalau anda senang orang lain sama seperti anda, maka anda belum menunaikan nasehat kepada saudara anda, bagaimana mungkin hal itu terjadi, sementara anda menginginkan mereka dibawah anda !! hal itu mengisyaratkan bahwa menunaikan nasehat kepada mereka, dia mencintai kalau sekiranya mereka diatas anda. Dan ini posisi yang tinggi. Derajat tertinggi dalam memberikan nasehat. Hal itu bukan merupakan suatu kewajiban, sesungguhnya apa yang diperintahkan oleh agama adalah mencintai mereka seperti anda. Meskipun begitu kalau ada salah seorang yang melebihi anda dalam agamanya, dia berusaha keras agar dapat menyusulnya. Dan sedih atas kekurangan dirinya. Dan terlambat dalam menyusul orang-orang yang telah terlebih dahulu, bukan karena dengki terhadap apa yang telah Allah berikan keutamaan kepadanya. Akan tetapi agar berlomba-lomba dengannya dan iri serta sedih terhadap dirinya yang lalai dan tertinggal masuk dalam derajat orang-orang yang terlebih dahulu.
Selayaknya seorang mukmin senantiasa melihat dirinya kurang menuju derajat tertinggi. Sehingga hal itu mendapatkan faedah dua hal utama. pertama, bekerja keras dalam menggapai keutamaan-keutamaan dan menambahnya. Serta melihat dirinya dengan pandangan kekurangan. Sehingga tumbuh pada dirinya dia mencintai orang-orang mukmin agar lebih baik darinya, karena dia tidak rela mereka derajatnya seperti kondisinya. Sebagaimana dia tidak rela pada dirinya terhadap kondisi apa adanya. Bahkan berusaha keras untuk memperbaikinya. Dahulu Muhammad bin Wasi’ berkata kepada anaknya, “Sementara ayahmu, semoga Allah tidak menjadikan lebih banyak sepertinya.
Siapa yang tidak rela pada dirinya, bagaimana dia mencintai orang-orang Islam agar seperti dirinya dalam memberikan nasehat kepadanya? Bahkan dia mencintai orang Islam agar lebih baik dari dirinya. Dan mencintai dirinya agar lebih baik lagi daripada kondisi sekarang.” Selesai silahkan melihat juga di ‘Fathul Bari, karangan Ibnu Rajab, (1/45).
Wallahu A’lam