Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
..Pertama :
Kami menyambut gembira dan kami mengucapkan semoga keIslaman anda diberikan berkah, dan kami memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa menambahkan bagi anda keimanan, ilmu dan ketakwaan.
Kedua :
Menutup wajah bagi kaum wanita dari para lelaki asing merupakan sebuah kewajiban dalam salah satu pendapat yang sahih dari dua pendapat ulama, dan kami telah menyebutkan dalil-dalilnya dalam jawaban soal no. 11774. Maka seorang ayah tidak dibolehkan melarang putrinya dari mengenakan cadar.
Ketiga :
Apabila seorang ayah meremehkan perkara shalat dan terkadang minum-minuman keras maka dia termasuk orang yang fasik, dan perwaliannya dalam pernikahan menjadi topik perbedaan pendapat antar para ahli fikih. Menurut pendapat madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah tidak sah perwalian orang yang fasik, dan menurut pendapat Ahnaf bahwa sah perwalian orang yang fasik. Hal ini merupakan pendapat yang populer di kalangan mazhab Malikiyyah meskipun mereka menganggap makruhnya perwalian seorang yang fasik. (Lihat kitab Nihayatul Mukhtaj, 6/238, Al Inshaf, 8/73, Hasyiyatu Ibnu Abidin, 3/55, Hasyiyatu Ad Dasuqi, 2/230 dan Minahul Jalil, 3/289)
Pendapat yang lain tidak membolehkan perwalian orang yang fasik. Maka dalam hal ini perwalian berpindah kepada orang-orang lain yang masuk dalam ashabah. Orang yang paling berhak menjadi wali nikah seorang wanita setelah ayahnya adalah: kakek (ayah kandung ayah), kemudian anak lelakinya, saudara laki-laki kandung, lalu saudara lelaki seayah dan semua anak lelaki mereka, paman-paman (saudara kandung ayah) dan seluruh anak lelaki mereka, kemudian paman-paman dari ayah baru kemudian penguasa (wali hakim. (Lihat kitab Al Mughni, 7/346).
Keempat :
Barangsiapa yang enggan menjadi wali bagi putrinya dengan seorang yang sepadan dan diridhai agama serta akhlaknya, maka dia termasuk menghalang-halangi pernikahan putrinya. Pada kondisi semacam ini perwalian seorang ayah berpindah kepada orang-orang setelahnya. Ibnu Qudamah Rahimahullah mengungkapkan, “Maksud dari kata menghalang-halangi adalah mencegah pernikahan seorang perempuan dengan orang yang sepadan dan selaras ketika dia meminta dinikahkan dengannya dan masing-masing dari keduanya saling menyukai satu sama lain.”
Ma’qil bin Yasar berkata, “Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang lelaki yang kemudian dia menceraikannya, hingga ketika saudariku telah selesai dari masa ‘iddahnya lelaki tadi datang kembali dan melamarnya, maka aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkanmu, aku telah memberikan tempat tinggal untukmu dan aku juga telah memuliakanmu akan tetapi engkau malah menceraikannya kemudian engkau datang kembali untuk melamarnya, Demi Allah jangan engkau rujuk lagi dengannya selamanya, padahal dia adalah seorang lelaki yang tidak ada masalah padanya, dan pada saat yang sama saudara perempuannya pun ingin rujuk dengannya, maka turunlah firman Allah Ta’ala:
فلا تَعْضُلُوهُنَّ
“Dan janganlah kalian menghalang-halangi mereka (para wanita untuk menikah)”
Maka aku berkata, “Sekarang saya mentaati perintah wahai Rasulullah,” Beliau bersabda, “Nikahkanlah dia (Putrimu) dengannya.” (HR. Bukhari)
Apabila si perempuan menyukainya (lelaki) karena keserasian semata, dan walinya (orang tuanya) ingin menikahkannya dengan pria lainnya dan menolak menikahkannya dengan lelaki yang dikehendaki oleh putrinya, maka hal ini masuk dalam kategori menghalang-halangi keinginan putrinya. Adapun jika dia meminta supaya dinikahkan dengan lelaki yang tidak sepadan dengannya, maka bagi wali memiliki wewenang untuk menolaknya, dan hal tersebut tidak termasuk menghalngi pernikahan. (Dikutip dari kitab Al Mughni. 9/383).
Syekh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah berkata, “Ketika seorang wanita telah sampai pada usia aqil baligh lalu ada seorang pria meminangnya yang engkau ridha akan agama, akhlak dan kemampuannya, dan wali tidak mencelanya terhadap sesuatu yang bisa menjauhkannya dari perangai kebaikannya, maka wajib bagi wali untuk menerima lamarannya dan menikahkannya dengan putrinya. Namun apabila wali menolak kondisi yang demikian maka hendaklah dia diingatkan akan wajibnya menjaga kewenangan dalam perwaliannya, dan apabila setelah yang demikian itu dia tetap bersikukuh dalam penolakannya maka gugurlah perwaliannya dan beralih kepada kerabatnya yang terhimpun dalam Ashobah.” (Dari Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrahim, rahimahullah, 10/97).
Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata, “Apabila seorang wali menolak menikahkan putrinya dengan orang yang sepadan dan serasi dalam agama dan akhlaknya, maka perwaliannya beralih kepada orang-orang yang berhak setelahnya dari kalangan ashobah, dengan mendahulukan yang berhak terlebih dahulu, dan jika mereka pun enggan menikahkan sebagaimana pada umumnya, maka perwaliannya beralih kepada hakim syar’i, dalam hal ini wajib bagi hakim syar’i menikahkannya dan memahami permasalahan yang sampai kepadanya bahwa para wali si wanita enggan dan menolak menikahkannya lalu tugas dari hakim syar’i ini adalah hendaklah dia menikahkan wanita tersebut karena sesungguhnya dia memiliki kewenangan umum selama belum terjadi kewenangan khusus.”
Dan para ahli fikih Rahimahullah mengungkapkan, “Sesungguhnya seorang wali apabila terus-menerus menolak seorang peminang yang sepadan maka dengan demikian dia telah menjadi fasik dan hilang keadilannya serta hak perwaliannya, bahkan yang populer dalam madzhab Imam Ahmad, wali yang sebagaimana disebutkan akan gugur kelayakannya sebagai seorang imam, maka dia tidak sah menjadi seorang imam dalam shalat berjamaah dan ini adalah perkara yang cukup memprihatinkan.”
Dan sebagaimana yang baru saja telah kami isyaratkan di atas, sebagian orang menolak para peminang yang mereka rata-rata memiliki kecakapan dan kesepadanan dan datang meminang kepada orang-orang yang Allah telah menjadikan mereka Wali bagi putri-putri mereka. Akan tetapi terkadang seorang gadis diliputi perasaan malu untuk mengajukan diri kepada hakim agar dia menikahkannya, dan perkara ini telah menjadi fenomena. Hendaknya gadis tersebut membandingkan antara maslahat dan mafsadatnya, mana antara keduanya yang lebih besar kerugiannya, dia akan tetap tanpa suami karena memang walinya telah hilang kebijaksanaannya dan cenderung mengikuti hawa nafsunya, dan apabila dia (si gadis) telah menginjak usia senja dan tidak ada lagi kemauan untuk menikah barulah walinya menikahkannya, ataukah dia akan mendatangi seorang hakim dan meminta kepadanya agar menikahkannya dan menjadi walinya karena yang demikian merupakan hak syar’i baginya.
Maka tidak ada lagi keraguan bahwa solusi yang kedualah yang lebih utama, yaitu dengan dia mendatangi seoarang hakim dan meminta kesediaannya untuk menikahkannya dan menjadi walinya karena hal tersebut merupakan hak baginya. Karena sesungguhnya ketika dia mengajukan diri kepada hakim agar menikahkannya hal ini akan menjadi kemaslahatan bagi dirinya dan juga orang lain. Bisa jadi ada wanita atau gadis lain yang akan mengikuti langkahnya untuk mendatangi hakim dan meminta supaya menikahkannya juga, dan juga ketika dia mengajukan diri kepada hakim dan meminta supaya menikahkannya akan menjadi pukulan yang dahsyat bagi para wali dzalim yang dengan kedzalimannya mereka telah mengabaikan hak perwalian yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dengan menghalang-halangi mereka dari menikah dengan orang-orang yang sepadan.
Ringkasnya dalam hal tersebut terdapat tiga kemaslahatan yaitu :
- Kemaslahatan yang kembali kepada si wanita sendiri sehingga dia tidak hidup menyendiri tanpa menikah.
- Kemaslahatan yang berimbas kepada yang lainnya dikalangan kaum wanita di mana dia telah membuka pintu bagi para wanita yang menunggu-nunggu dalam penantian orang-orang yang mau meminang mereka karena para wali mereka yang dzalim telah menghalang-halangi putri-putri mereka atau mereka kaum wanita yang ada dalam perwalian mereka untuk menikah, dan hal ini semata-mata karena para wali tersebut mengikuti nafsu dan kehendak mereka.
- Kemaslahatan yang lain adalah merupakan realisasi yang aplikatif dari perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sekiranya beliau bersabda:
إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد كبير
“Apabila datang kepada kalian orang (peminang) yang kalian telah ridha terhadap agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, karena jika tidak kalian lakukan maka akan timbul fitnah di atas muka bumi dan akan ada kerusakan yang dahsyat.”
Sebagaimana didalamnya pun ada kemaslahatan lain yaitu memberikan solusi kepada mereka para peminang yang rata-rata mereka memiliki kematangan dalam agama dan akhlak, diambil dari. (Fatawa Islamiyyah, 3/148 ).
Syekh Ibnu Utsaimin juga mengungkapkan, “Sesungguhnya pernah sampai kepada kami tentang keberanian seorang gadis ketika orang tuanya menolaknya untuk menikahkannya dengan lelaki yang sepadan dari sisi agama dan akhlaknya, lalu dia mendatangi seorang hakim dan menceritakan kondisinya dan hakim tersebut berkata kepada ayahnya, “Nikahkan dia atau aku yang akan menikahkannya atau orang lain selain anda yang akan menikahkannya, karena sesungguhnya hal tersebut hak bagi seorang gadis jika orang tuanya menolak menikahkannya (yaitu hendaknya dia melapor kepada hakim) dan hal ini merupakan hak yang dibenarkan oleh syari’at. Maka apabila ada para gadis menghadapi kasus yang sama dengan yang tersebut diatas hendaklah dia datang kepada kami dan kami akan memediasi perkaranya, akan tetapi kebanyakan para gadis memendam dan menyimpannya karena perasaan malu yang mendominasi mereka” (Dikutip dari Al Liqo As Syahri, bisa dilihat pula jawaban soal no. 10196)
Dan jika ayah anda mencegah anda menikah dengan orang yang sepadan di mana anda telah ridha dengannya, maka yang demikian termasuk menghalang-halangi pernikahan, dan perwalian beralih kepada para ashobah sesuai dengan urut-urutan yang telah kami uraikan di atas, dan apabila mereka para ashobah juga menolak untuk menikahkan anda atau memang mereka semua tidak ada, maka perwaliannya beralih kepada hakim yang syar’i dan apabila di negara tersebut tidak ada wali hakim syar’i maka yang menggantikan perannya adalah Islamic Center setempat.
Dan bagaimanapun kondisinya anda tidak diperkenankan menikah tanpa wali, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
لا نكاح إلا بوليّ
“Tidak sah pernikahan melainkan dengan adanya wali.” (HR. Abu Daud, no. 2085, Tirmizi, no. 1101, dan Ibnu Majah, no. 1881 dari hadits Abu Musa Al ‘Asy’ari dan disahihkan oleh Al Albani dalam sahih At Tirmizi)
Dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang lain :
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل
“Siapa saja wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil, maka pernikahannya batil.” (HR. Ahmad, no. 24417, Abu Daud, no. 2083, Tirmizi, no. 1120, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami, no. 2709).
Akhirnya kami memohon kepada Allah keteguhan dan Taufiq bagi anda, dan petunjuk serta ampunan bagi ayah anda.
Wallahu A’lam.