Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Allah telah mensyari’atkan pernikahan untuk beberapa tujuan tertentu, di antaranya adalah: memperbanyak keturunan, menjaga keberlangsungan kehidupan manusia, melahirkan keturunan, menjaga kesucian diri, menjaga manusia dari terjerumus pada kelakuan keji dan yang diharamkan, tolong menolong antara suami istri dalam urusan rumah tangga, tuntutan kehidupan dan kebahagiaan, menumbuhkan rasa cinta, sakinah dan ketenangan antar suami istri, dan di antara tujuan pernikahan adalah mendidik anak-anak dengan pendidikan yang lurus yang dinaungi oleh rasa cinta dan kasih sayang.
Allah –ta’ala- berfirman:
( وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ) سورة الروم/21 .
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar Ruum: 21)
As Sa’di berkata:
“Pernikahan lah yang akan menyebabkan munculnya rasa cinta dan kasih sayang, maka dengan kehadiran sang istrillah seorang laki-laki akan merasakan kenikmatan dan manfaat dengan kehadiran anak-anak termasuk dalam mendidik mereka, suami pun merasa tentram kepadanya, dan secara umum tidak lah anda mendapatkan indahnya rasa cinta dan kasih sayang seperti indahnya hubungan suami istri”.
Pada beberapa tahun belakangan ini istilah baru yang dikenal dengan nikah “Misyar”, penamaan ini muncul dari masyarakat umum untuk membedakan dengan pernikahan biasa yang sudah dikenal sebelumnya, karena sang suami dalam pernikahan ini mendatangi istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu dan tidak tinggal bersama istrinya.
Gambaran pada umumnya dalam pernikahan misyar ini adalah:
Adalah merupakan pernikahan yang syarat dan rukunnya sudah lengkap, namun sang istri menggugurkan sebagian hak-haknya yang sesuai dengan syari’at dengan penuh rasa ridha dan dipilihnya sendiri, seperti masalah nafkah dan tidur bersama.
Beberapa sebab yang menjadikan munculnya jenis pernikahan ini adalah:
1.Banyaknya perawan tua, janda muda, janda tua dan beberapa wanita yang memiliki keterbatasan
2.Banyaknya istri yang menolak hukum poligami, maka sang suami terpaksa menempuh jalan ini hingga istri pertamanya tidak mengetahui pernikahan keduanya.
3.Banyaknya keinginan orang laki-laki untuk menjaga kesucian dirinya dan mendapatkan kenikmatan yang dihalalkan sesuai dengan kondisi dan keadaan mereka
4.Sebagian orang ada lari dari tanggung jawab pernikahan dan beban rumah tangga, hal ini menjadi jelas karena yang melakukan pernikahan jenis ini adalah kebanyakan dari kalangan pemuda di bawah umur.
Dan penting untuk diketahui bahwa jenis pernikahan ini bukanlah jenis pernikahan yang baik dan menjadi tujuan sebuah pernikahan, akan tetapi secara hukum pernikahan ini tetap sah jika syarat dan rukunnya terpenuhi, satu sama lain saling menyetujui, adanya wali dan para saksi… Dan seperti inilah fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah-.
Hal tersebut karena menjadi hak seorang wanita untuk menggugurkan hak-haknya atau sebagiannya yang telah ditetapkan oleh syari’at, di antaranya adalah pemberian nafkah, tempat tinggal dan giliran bermalam. Telah diriwayatkan dalam kedua kitab shahih bahwa Saudah –radhiyallahu ‘anha- memberikan giliran malamnya kepada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Dan kalau hal ini tidak boleh menurut syari’at maka tidak mungkin Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyetujuinya. Semua syarat tidak akan berpengaruh pada tujuan yang nampak yaitu akad pernikahan, dan ini adalah syarat yang sah, dan tidak membatalkan akad nikah.
Keputusan Majma’ Fiqh:
Disebutkan dalam keputusan Majma’ Fiqh Islami dalam daurahnya yang ke-18 yang diselenggarakan di Makkah adalah sebagai berikut:
“Majma’ menguatkan bahwa akad-akad nikah yang baru, meskipun dengan nama, sifat dan gambarannya yang berbeda, kesemuanya harus tunduk pada kaidah-kaidah dan rambu-rambu syariat yang telah ditetapkan, yaitu; dengan terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta tidak adanya halangan yang menjadikannya batal. Pada era modern ini banyak orang yang mengadakan beberapa akad yang hukumnya merujuka pada beberapa hal di bawah ini:
Terjalinnya akad nikah yang menjadikan wanita menggugurkan beberapa haknya, seperti: tempat tinggal, nafkah, pembagian giliran, atau sebagian dari mereka merelakan suaminya untuk mendatangi rumahnya kapanpun baik siang maupun malam hari.
Termasuk juga terjalinnya akad nikah dengan tetap menjadikan wanita berada di rumah orang tuanya, keduanya bertemu sesuai keinginan mereka di rumah orang tuanya atau di tempat lain yang tidak untuk tempat tinggal juga tidak ada nafkah.
Kedua akad di atas termasuk juga bentuk akad yang lain adalah sah jika telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya, juga tidak ada halangan yang melarangnya.
Pernikahan jenis ini telah mewujudkan beberapa maslahat dan manfaat bagi laki-laki maupun wanitanya secara bersama-sama:
Sebagian istri dengan jenis pernikahan ini berkata:
“Pernikahan model ini meskipun banyak wanita yang merelakan sebagian haknya demi menikah dengan seseorang ia ridha kepadanya, namun tetap memenuhi beberapa ketenangan, ridha, kebebasan individu, harapan baru yang cerah dan keturunan yang shaleh. Maka dari itu saya tidak menyanggah pernikahan dengan jenis ini, justru saya mohon wacana seperti ini disebarluaskan kepada masyarakat hingga mereka memahami arti, sebab, kondisi, manfaat dan bahayanya”.
Dan wanita lain berpendapat bahwa dirinya membutuhkan pernikahan model ini dengan berkata: “Saya tidak menuntut lebih dari pada itu, saya bersyukur kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan kepadaku”.
Yang lain pun berkata: “Saya telah menikah dengan model ini, dan terus terang saya berkata: “Sungguh pengalaman saya telah mendapatkan kesuksesan dan ketenangan jiwa, dan saya meyakini bahwa pernikahan ini mungkin diterapkan di masyarakat dengan penuh pemahaman dan pertimbangan yang matang di antara kedua belah pihak, pernikahan jenis ini juga melindungi seorang wanita ketika berada pada kondisi tertentu, seperti: menjadi perawan tua, janda tua, janda muda atau yang tidak mampu menghadirkan suami yang ideal, dari pada terjerumus dalam kemaksiatan atau kesepian tanpa kehadiran suami yang mendampinginya.
Wanita keempat pun berkata: “Saya telah mengalami sendiri pernikahan dengan nikah misyar pada beberapa waktu lalu, sungguh hal tersebut merupakan pengalaman yang bisa dikatakan berhasil mencapai 90 %, dengan syarat adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak dan menjaga keharmonisan”.
Namun, kami tidak bisa memungkiri adanya beberapa bahaya yang disebabkan oleh pernikahan misyar ini, di antaranya:
1.Pernikahan jenis ini bisa jadi akan berubah kepada nikah mut’ah, seorang laki-laki bisa jadi akan berpindah dari satu istri ke istri yang lain, begitu juga dengan wanita ia akan berganti dari pasangan satu kepada yang lainnya.
2.Adanya kesalahan dengan memahami makna dari keluarga, dari sisi tempat tinggal yang sempurna, kasih sayang antara suami istri.
3.Terkadang wanita yang menikah dengan nikah misyar ini merasa tidak punya qawamah (penopang), hingga menyebabkan akhlaknya buruk yang justru akan merusak reputasinya di masyarakat.
4.Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan anak secara maksimal, tidak juga tumbuh dengan pertumbuhan sebagaimana mestinya yang akan mempengaruhi kepribadiaannya.
Kalau dilihat dari sisi beberapa dampak negatif di atas, maka pernikahan dengan jenis ini termasuk yang tidak dianjurkan, namun tetap sah pernikahannya pada kondisi tertentu dengan pertimbangan keadaan tertentu.