Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Menjadi syarat sahnya pernikahan menurut jumhur ulama fikih adalah dengan adanya wali dari mempelai wanita, bisa bapaknya, kalau tidak ada bisa anak laki-lakinya, kemudian baru para saudara laki-lakinya, lalu anak laki-laki dari saudara laki-lakinya, kemudian paman dari jalur bapak, kemudian anak laki-lakinya paman dari jalur bapak. Demikian seterusnya secara urut dari yang terdekat dari jalur nasab laki-laki. Jika semuanya tidak ada maka wali hakim (penguasa), berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
( لا نكاح إلا بولي ) رواه أبو داود (2085) والترمذي (1101) وابن ماجه (1881) من حديث أبي موسى الأشعري ، وصححه الألباني في صحيح الترمذي.
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud: 2085, Tirmidzi: 1101 dan Ibnu Majah: 1881 dari Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih Tirmidzi)
Sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang lain:
( أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل ، فنكاحها باطل . . . فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له ) رواه أحمد (24417) وأبو داود (2083) والترمذي (1102) وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم (2709(
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahannya adalah batil, maka pernikahannya adalah batil, maka pernikahannya adalah batil… Dan jika mereka berselisih maka penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali”. (HR. Ahmad: 24417, Abu Daud: 2083 dan Tirmidzi: 1102 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Shahih al Jami’: 2709)
Atas dasar itulah, maka pernikahan wanita di atas dengan cara seperti itu tidak sah, karena dilakukan tanpa adanya persetujuan walinya. Seharusnya mereka berdua wajib dipisah dan tidak memerlukan talak; karena sejak awal pernikahan tersebut tidak sah, akan tetapi karena melihat beberapa ulama menganggap pernikahan tanpa wali tetap sah (pendapat ini lemah) maka harus dilakukan dengan proses talak, yaitu; suaminya cukup melafadzkannya. Tidak ada syarat untuk menghadirkan dua orang saksi yang dahulu menyaksikan pernikahan mereka berdua.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:
“Jika seorang wanita menikah dengan pernikahan yang rusak (tidak sah), tidak boleh dinikahkan dengan orang lain sampai laki-laki pertamanya menceraikannya atau pernikahannya dibatalkan”. (Al Mughni: 7/9)
Jika (suami pertamanya) telah menceraikannya, masa iddahnya pun berlalu, baru boleh dinikahkan dengan yang lainnya.
Kedua:
Wanita tersebut wajib memberitahukan kepada suaminya yang baru tentang pernikahan sebelumnya dengan suami lamanya, dia tidak boleh melakukan terapi (operasi) untuk mengembalikan keperawanannya; karena hal itu bentuk kecurangan kepada suami barunya, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
( مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي ) رواه مسلم (101(
“Barang siapa yang berbuat curang maka bukanlah termasuk (golongan)ku”. (HR. Muslim: 101)
Dan hal ini perlu dipastikan jika akad nikahnya disampaikan bahwa mempelai wanitanya adalah perawan, seperti kondisi di daerah penanya berasal.
Meskipun pemberitahuan itu akan berdampak negatif, maka menjadi konsekuensi yang harus ia alami; karena dia telah menikah dengan pernikahan yang diharamkan, aib di hadapan masyarakat hendaknya ia sabar menerima semua efek dari aib tersebut.
Akan tetapi jika dia bertaubat kepada Allah –Ta’ala- dan bersimpuh di hadapan-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya jalan keluar.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk mentaati-Nya dan meraih ridho-Nya .