Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Jawab:Pertama.
Terdapat riwayat shahih dalam sunnah, anjuran dan dorongan untuk menikah.Banyak ayat atau hadits yang menguatkannya. Hal itu karena pernikahan memiliki banyak keutamaan dan kebaikan yang sangat tampak. Dalam situs ini hal tersebut telah dijelaskan dengan rinci. Lihat misalnya jawaban no. 5511, 34562.
Di antara hadits yang mendorong pernikahan, terdapat dalam dua kitab Shahih; Shahih Bukhari, no. 5063 dan Muslim, no. 1401.
Dari Anas bin Malik, radhiallahu ‘anhu, dia berkata, "Ada tiga orang datang ke rumah salah seorang isteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika diberitahu (tentang ibadahnya) mereka merasa ibadah mererka sangat sedikit. Lalu mereka berkata, 'Dimana kita dibanding Nabi shallallahu alaihi wa sallam, padahal dia telah diampuni dosanya yang telah lalu dan kemudian.' Lalu yang lain berkata, 'Saya akan selalu shalat di malam hari selamanya.' Yang lain berkata, 'Saya akan puasa sepanjang tahun tidak pernah berbuka.' Yang lain berkata, 'Saya akan tinggalkan isteri saya dan tidak menikah lagi selamanya.' Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka, lalu berkata, 'Kaliankah yang berkata begini dan begini?! Ketahuilah, demi Allah, aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita, siapa yang tidak suka sunnahku, maka dia bukan golonganku."
Akan tetapi hadits ini sama sekali tidak layak dijadikan dalil kecaman kepada para bujangan atau orang yang tidak menikah, kecuali kalau dia meninggalkan pernikahan dan menganggapnya sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan mengira bahwa membujang lebih baik dari menikah. Maka ketika ini berlakulah hadits ini baginya dan dia termasuk orang yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam berlepas diri darinya.
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah Ta'ala berkata dalam Fathul Bari, 9/105-106), "Yang dimaksud dengan 'sunnah' adalah jalan (ajaran), bukan sunnah lawannya fardhu. Sedangkan maksud tidak menyukai sesuatu adalah berpaling darinya. Maka maksudnya, 'Siapa yang keluar dari ajaran saya dan beralih kepada ajaran selain saya, maka dia bukan golongan saya.' Beliau memberi isyarat kepada ajaran rahbaniah (kependetaan). Mereka mengada-ada dalam perkara yang memberatkan sebagaimana Allah telah sifati mereka dan mencela mereka karena mereka tidak konsisten dengan janji mereka. Ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah jalan yang suci yang toleran, dia mengajarkan seseorang untuk berbuka agar dirinya kuat berpuasa, mengajarkan untuk tidur agar kuat bangun malam, serta mengajarkan umatnya untuk menikah untuk mengendalikan syahwat dan menjaga kehormatan diri serta memperbanyak keturunan.
Yang dimaksud 'bukan golonganku', jika 'ketidaksukaan'nya bersumber dari penafsiran keliru karena ketidaktahuan, maka maksudnya adalah bahwa sikap itu bukan jalanku. Tidak mesti orang tersebut dikatakan telah keluar dari agama. Tapi jika sikap 'ketidaksukaan' tersebut bersumber dari penentangan dan keras kepala yang menyebabkan semangat melakukannya, maka maksud sabda beliau 'bukan golonganku' adalah 'tidak berada dalam agamaku'. Karena keyakinan seperti itu merupakan salah satu bentuk kekufuran.
Hadits ini menunjukkan keutamaan nikah dan anjuran melaksanakannya.
Dengan demikian, jelas bahwa hadits ini tidak menunjukkan kecaman hidup membujang secara mutlak. Khususnya jika sebabnya adalah kondisi tertentu atau tidak ada keinginan menikah, atau karena sakit, atau alasan-alasan lainnya. Maka bagaimana syariat akan mengecam orang yangtidak sepantasnya dikecam serta orang yang ditakdirkan tidak dapat berkumpul dengan seorang isteri yang dapat saling mengasihi!!
Anehnya, sebagian pendusta ada yang hendak menjawab mereka yang mencela hidup membujang secara mutlak. Maka mereka membuat-buat hadits-hadits palsu untuk memuji kehidupan membujang dan mereka berdusta atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Sehingga Ibnu Qoyyim berkata dalam kitab Al-Manar Al-Munif, hal. 177, "Hadits-hadits tentang pujian bagi orang yang membujang semuanya tidak sah."
Dari sini anda akan tahu bahwa hadits yang mencela dan memuji hidup membujang adalah tidak sah. Semua hadits yang di dalamnya terdapat kecaman bagi hidup membujang dan mencela takdir yang ada padanya, adalah hadits batil dan munkar. Para ulama telah mengumpulkan hadits-hadits ini dan mempelajarinya, namun mereka tidak mendapatkan satu hadits shahih pun di dalamnya.
Imam As-Sakhawi dalam Al-Maqashid Al-Hasanah, 135, setelah dia menyebutkan sejumlah hadits tentang kecaman terhadap hidup membujang, berkata, 'Dan hadits-hadits serupa lainnya yang semuanya lemah atau tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dihukumi sebagai hadits palsu."
Hal serupa juga dikatakan oleh Al-Fatani dalam 'Tazkirot Maudu'at', hal. 125.
Kedua:
Adapun hadits, "Menikahlah, kalau tidak maka anda termasuk saudara setan" dan hadits, "Seburuk-buruk orang yang mati di antara kalian adalah para bujangan." Kedunya diriwayatkan dari Ukaf bin Wada'ah Al-Hilali dari berbagai jalur, semuanya lemah. Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam kitab Al-Ishabah (4/536) setelah menyebutkan riwayat hidupnya, "Semua jalur periwayatan yang disebutkan tidak lemah dan tidak pasti." Dikatakan pula dalam kitab Ta'jil Al-Manfaah, (2/20), "Jalur riwayatnya tidak sunyi dari kelemahan (dhaif)."
Ibnu Al-Jauzi berkata dalam kitab Al-Ilal Al-Mutanahiah (2/609)
"Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berkata, 'Tidak ada satu pun dari riwayat tersebut yang shahih."
Al-Bushiri berkata dalam kitab Ittihaful Khairah Al-Maharah, 'Semua sanad di dalamnya lemah."
Al-Albany menghukuminya sebagai hadits munkar dalam Silsilah Ad-Da'ifah (2511, 6053) dan jalur periwayatannya tidak jelas. Semuanya bertumpu pada Makhul Ad-Dimasyqi, perawi tsiqah penduduk Syam dalam Tahzib At-Tahzib (10/292), hanya saja jalur yang sampai kepadanya lemah. Atau pada syaikh yang dia ambil riwayat tersebut darinya.
Terdapat riwayat dari jalur Burd bin Sinan, dia adalah tsiqah, dari Makhul, dari athiyyah bin Yasar Al-Hilali dari Ukaf bin Wada'ah Al-Hilali. Redaksinya sebagai berikut;
"Dia mendatangi Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam, lalu beliau berkata, "Wahai Ukaf, apakah kamu punya isteri?" dia berkata, "Tidak." Beliau berkata, "Kalau budak?" dia menjawab, "Tidak" Beliau bekata, "Bukankah engkau sehat dan berkecukupan?" dia berkata, "Ya." Maka beliau berkata, "Kalau demikian, maka engkau adalah saudaranya setan. Kalau engkau termasuk pendeta Nashrani, maka bergabunglah bersama mereka dan jika engkau golongan kami, maka termasuk ajaran kami adalah nikah. Wahai Ibnu Wada'ah! Sesungguhnya seburuk-buruk kalian adalah bujangan di antara kalian, orang-orang mati yang paling rendah di antara kalian adalah para bujangan. Wahai Ibnu Wada'ah, sesungguhnya orang-orang yang berkeluarga, mereka adalah orang yang bebas dari bahaya, setan menolak untuk mempermainkannya. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, setan memiliki senjata yang paling ampuh terhadap orang saleh, baik laki maupun wanita, yaitu agar mereka meninggalkan pernikahan. Wahai Ibnu Wada'ah! Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudaranya Ayub, Daud, Yusuf dan Kursuf.' Dia bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah kursuf?' Beliau bersabda, 'Seorang laki-laki bernama Abdullah, tinggal di pinggir pantai, qiyamullail dan berpuasa di siang hari selama lima ratus tahun, sebagian tiga ratus tahun, kemudian lewat seorang wanita lalu dia tergoda, kemudian dia meninggalkan ibadah dan kufur kepada Allah. Lalu dia kembali dan bertaubat kepada Allah atas perbuatannya yang telah lalu.' Maka dia berkata, 'Ya Rasulullah, nikahkanlah saya.' Beliau bersabda, 'Aku nikahkan engkau dengan nama Allah dan keberkahan dengan Zainab binti Kultsum Al-Himyariah."
(Diriwayatkan oleh Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu'afa Al-Kabir, 3/356, dan Ibnu Qani dalam kitab Mu'jam Ash-Shahabah, no. 1274)
Cacat pada riwayat ini adalah Athiyah bin Yasar. Al-Uqaili berkata, 'Riwayatnya tidak dianggap.' Kemudian dia menyandarkan ucapannya kepada Bukhari, 'Athiyah bin Yasar dari Ukaf bin Wada'ah, haditsnya tidak berlaku.'
Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat, 5/261, 'Athiyah bin Yusr, adalah seorang syaikh dari Syam, Makhul meriwayatkan darinya hadits tentang pernikahan sebuah matan yang munkar, sanadnya terbalik."
2. Terdapar riwayat dari jalur Muhammad bin Rasyid, dari Makhul, dari seorang laki-laki, dari Abu Dzar, dia juga menyebutkan riwayat serupa. Akan tetapi ada redaksi yang berbeda, yaitu "Menikahlah, kalau tidak maka anda termasuk orang-orang berdosa." (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 6/171/10387, juga diriwayatkan Ahmad, 5/163, Al-Jauzi dalam kitab Al-Ilal Al-Mutanahiah, 2/118)
Cacat
dalam jalur periwayatan ini adalah tidak jelasnya identitas siapakah syaikhnya
Makhul.
Kemungkinan dia adalah Athiyah bin Yusr Al-Hilali yang disebutkan dalam riwayat
sebelumnya. Adapun Muhammad bin Rasyid, para ulama menyatakan bahwa dia tsiqah.
(Tahzib At-Tahzib, 9/170)
3. Dari jalur periwayatan Mu'awiyah bin Yahya dari Sulaiman bin Musa, dari Makhul dari Ghadhif bin Harits, dari Athiyah bin Yusr Al-Mazini.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab Al-Ahadi wal Matsani, 4/195, Abu Ya'la kalam kitab Al-Musnad, 12/260, Bahsyal dalam kitab Tarikh Wasith, hal. 201, Ibnu Hibban dalam kitab Al-Mujrimin, 3/3, Ath-Thabrani dalam kitab Al-Mu'jam Al-Kabir, 18/85-86), Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu'afa Al-Kabir, 3/356, Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, 4/381, Ibnu Atsir dalam kitab Usdul Ghabah, 4/43, Abu Nu'aim dalam kitab Mu'jam Ash-Shahabah, no. 4961 dengan redaksi berbeda. Akan tetapi cacatnya satu, yaitu pada Mu'awiyah binYahya Ash-Shidqi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tahzib At-Tahzib, 10/220.
Ibnu Ma'in berkata , "Cacat, tidak ada apa-apanya." Abu Zur'ah berkata, 'Tidak kuat, hadits-haditsnya seakan terbalik." Abu Hatim berkata, 'Orang yang lemah dan haditsnya munkar.' Abu Daud berkata, 'lemah', An-Nasa'I berkata, 'Lemah.' Abu Ahmad bin Adi berkata, 'Orang awam, riwayatnya perlu dikritisi.' Ibnu Hibban berkata dalam kitab Al-Majruhin (2/335), 'Di dalamnya terdapat Mu'awiyah bin Yahya yang haditsnya dikenal sebagai munkar sekali. Hafalannya berubah, maka dia menyampaikan haditsnya dengan mengira-ngira apa yang didengar."
Demikian pula Daruquthni menyebutkan cacatnya dalam Kitab At-Ta'liqat Alal Majruhin (255), Az-Zail'I dalam kitab Takhrul Kasysyaf (2/439) dan Al-Haitsami dalam Kitab Majma Az-Zawa'id (4/253)
Kesimpulannya adalah bahwa semua jalur periwayatan ini sangat lemah, satu sama lain tidak dapat saling menguatkan, karena derajatnya sangat lemah dan tidak menentu. Sedangkan teksnya munkar, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Ketiga.
Adapun hadits, 'Nikah adalah sunahku, siapa yang membenci sunahkan maka dia bukan golonganku.'
Redaksi hadits ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1846) dari Aisyah dia berkata, 'Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 'Nikah termasuk sunahku (ajaranku) siapa yang tidak mengamalkan ajaranku, maka dia bukan golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian dibanding umat yang lain. Siapa yang memiliki kecukupan, hendaknya dia menikah, siapa yang belum mampu hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat menjadi pelindung baginya."
Dalam sanad riwayat ini terdapat Isa bin Maimun. Dia adalah perawi dha'if. Imam Bukhari berkata, 'Haditsnya munkar.' Ibnu Ma'in berkata, 'Haditnya tidak dianggap.' Lihat Kitab Mizanul I'tidal (4/245-246). Karenanya Al-Bushiri berkata saat mentakhrij hadits Aisyah sebelumnya, "Sanadnya lemah, karena mereka telah sepakat bahwa Isa bin Maimun Al-Madini adalah perawi lemah. Akan tetapi hadits ini didukung oleh riwayat lain yang shahih."
Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah (no. 2383)
Wallahua'lam.