Alhamdulillah.
Jumhur Ulama berpendapat wajib zakat pada harta anak kecil dan orang gila. Ini adalah mazhab dan pendapat para imam, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Mereka mendasari pendapatnya atas dalil berikut:
1.Firman Allah Subhanahu Wata’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka (QS. At-Taubah: 103)
Zakat diwajibkan atas harta. Ia adalah ibadah materi yang diwajibkan bila telah memenuhi syarat-syaratnya, seperti bila harta itu telah mencapai nishab (kadar minimum harta wajib zakat) dan sudah mencapai masa satu haul (satu tahun).
2.Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz ibn Jabal saat beliau mengutusnya ke Yaman:
أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Beritahu mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah mewajibkan sedekah dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.” (Bukhari, no: 1395).
Allah mewajibkan zakat atas harta orang-orang kaya. Lafaz ‘orang kaya’ ini adalah lafaz umum, mencakup anak kecil dan orang gila bila mereka memiliki harta berlebih.
3.Hadis yang diriwayatkan Tirmidzi dari ‘Amr ibn Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallama berkhutbah di hadapan manusia. Didalam khutbahnya, beliau bersabda:
أَلا مَنْ وَلِيَ يَتِيمًا لَهُ مَالٌ فَلْيَتَّجِرْ فِيهِ وَلا يَتْرُكْهُ حَتَّى تَأْكُلَهُ الصَّدَقَةُ
“Ketahuilah, siapa yang mengasuh seorang yatim yang memiliki harta, hendaknya harta itu diperdagangkannya dan tidak membiarkannya begitu saja sehingga habis dimakan sedekah.” Status hadis ini dha’if. An-Nawawi menilainya dha’if di dalam al-Majmu’ (5/301). Di dalam Dha’if at-Tirmidzi pun, al-Albani juga menilainya dha’if. Hadis semakna juga ada yang diriwayatkan melalui Umar radhiyallahu ‘anhu oleh al-Baihaqi. An-Nawawi mengakui keshahihan hadis tersebut sebagaimana dalam al-Majmu’ (4/178). Ia berkata, “Isnad-nya sahih.”
4.Hadis serupa juga diriwayatkan dari Ali, Ibnu Umar, Aisyah, al-Hasan ibn Ali, dan Jabir radhiyallahu ‘anhum.
Sementara Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat tidak diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila, sebagaimana ibadah lain tidak diwajibkan atas mereka seperti shalat dan puasa. Akan tetapi, keduanya tetap diwajibkan membayar zakat pertanian dan zakat fitrah dari hartanya.
Jumhur ulama menyanggah pendapat Abu Hanifah ini. Menurut mereka, tidak wajibnya shalat dan puasa bagi anak kecil hal itu karena keduanya merupakan ibadah fisik, dan fisik anak kecil tidak sanggup mengembannya. Adapun zakat adalah hak material murni, dan hak material ini bisa diwajibkan atas seorang anak. Sebagaimana bila seorang anak kecil menghilangkan barang orang lain, maka ia harus mengganti barang itu dengan harta yang dimilikinya. Juga seperti kewajiban menafkahi kerabat, seorang anak kecil bisa dituntut untuk menafkahi kerabatnya bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Mereka juga menyatakan bahwa. tidak ada perbedaan antara kewajiban zakat pertanian dan zakat fitrah atas anak kecil dengan zakat-zakat harta lainnya, seperti zakat emas, perak dan uang. Sebagaimana anak kecil wajib untuk membayar zakat pertaniannya, maka wajib pula atasnya untuk membayar zakat hartanya yang lain seperti emas, perak dan uang.
Yang melaksanakan pembayaran zakat anak kecil atau orang gila adalah wali atau pengasuhnya. Zakat itu diambil dari hartanya setiap kali masanya mencapai satu tahun, dan tidak harus menunggu sampai anak kecil itu berusia baligh.
Di dalam al-Mughni, Ibnu Quddamah berkata, “Bila telah ditetapkan wajib zakat pada harta anak kecil dan orang gila, maka seorang wali atau pengasuhnya harus membayarkannya dari harta mereka. Karena ia adalah zakat wajib, maka wajib pula dikeluarkan dari hartanya, seperti halnya zakat seseorang yang sudah baligh dan berakal. Seorang wali berperan mewakilinya dalam melaksanakan kewajibannya. Mengingat zakat adalah hak wajib atas seorang anak kecil dan orang gila, maka walinya bertugas menunaikan hak itu sebagai perwakilan dari mereka. Seperti itu pula kewajiban menafkahi kerabatnya.”
An-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ (5/302), “Di dalam mazhab kami, zakat tetap diwajibkan pada harta anak kecil dan orang gila, tanpa perdebatan. Seorang wali berkewajiban menunaikannya atas nama keduanya, sebagaimana berkewajiban menunaikan ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan keduanya dan membayarkan nafkah kerabat yang dibebankan kepada mereka. Bila walinya tidak menunaikan zakat itu, maka wajib bagi anak kecil dan orang gila tersebut, sesudah mereka baligh atau sadar, untuk menunaikan kewajiban zakat yang telah terlewatkan. Karena hak zakat tetap ada pada hartanya. Walinya-lah yang telah mengabaikan hak tersebut dengan menangguhkannya. Dengan demikian, kewajiban pada harta keduanya tetap tidak gugur.”
Memang ada riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa zakat tetap diwajibkan atas seorang anak kecil, tetapi ia tidak perlu membayarkannya sampai berusia baligh. Akan tetapi status riwayat ini dha’if dan tidak sahih. An-Nawawi menilainya dha’if dalam al-Majmu’ (5/301).
Syeikh Ibnu Baz pernah ditanya pertanyaan berikut:
Seorang laki-laki meninggal dunia. Ia meninggalkan harta dan beberapa anak yatim. Adakah harta-harta ini wajib dizakati? Bila wajib, siapa yang harus mengeluarkan zakatnya?
Ibnu Baz menjawab, “Zakat tetap diwajibkan pada harta-harta anak yatim yang berupa uang ataupun barang-barang perniagaan, binatang ternak, biji-bijian dan buah-buahan yang wajib dizakati. Dan bagi wali yatim tersebut harus mengeluarkan zakatnya pada waktunya. Masa haul (satu tahun) harta tersebut dihitung sejak wafatnya bapak mereka. Karena dengan kematiannya, harta tersebut menjadi milik anak-anak yatim. Wallahu a’lam.” (Fatawa Ibni Baz, 14/240).
Para ulama anggota Komisi Tetap Fatwa ditanya pertanyaan berikut:
Apakah zakat tetap diwajibkan pada harta anak-anak kecil dan orang gila?
Mereka menjawab, “Zakat tetap diwajibkan pada harta anak-anak kecil dan orang gila. Ini adalah pendapat Ali, Ibnu Umar, Jabir ibn Abdullah, Aisyah dan al-Hasan ibn Ali, diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir. Dan seorang wali berkewajiban mengeluarkan zakat tersebut. Dalil yang menyatakan kewajiban zakat harta anak yatim itu adalah keumuman dalil al-Quran dan sunnah tentang kewajiban zakat. Juga dalil bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, beliau berpesan kepadanya, “Beritahu mereka (penduduk Yaman), bahwa mereka wajib mengeluarkan sedekah yang diambil dari orang kaya mereka dan disalurkan kepada kaum fakirnya.” Di dalam hadis ini, lafaz ‘Orang kaya’ bersifat umum, mencakup anak kecil dan orang gila. Demikian pula lafaz ‘Kaum fakir’.
Di dalam Musnad-nya, Imam Syafi’i juga meriwayatkan dari Yusuf ibn Mahik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Niagakan harta anak-anak yatim agar tidak habis oleh sedekah.” (status hadis ini mursal).
Di dalam al-Muwaththa` disebutkan: Malik pernah mendengar satu riwayat bahwa Umar ibn al-Khattab pernah berkata, “Perdagangkan harta-harta anak yatim agar tidak habis oleh zakat.” Umar memerintahkan manusia untuk melakukan hal itu. Perintah Umar ini membuktikan bahwa hal itu sudah menjadi hukum yang berlaku dan disepakati bersama oleh para sahabat di masanya.
Malik juga meriwayatkan dalam al-Muwaththa` dari Abdurrahman ibn al-Qasim, dari bapaknya, bahwa ia berkata, “Aisyah merawatku dan saudaraku di kamarnya. Kami berdua adalah anak-anak Yatim. Ia mengeluarkan zakat kami dari harta kami.” (Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah, 9/410).
Syeikh Ibnu Utsaimin juga memilih pendapat yang menyatakan wajib zakat pada harta anak kecil dan orang gila, sebagaimana dalam asy-Syarh al-Mumti’, (6/14).