Kamis 27 Jumadil Ula 1446 - 28 November 2024
Indonesian

Tata cara shalat dan puasa di daerah yang siangnya terus menerus Atau malamnya terus menerus

Pertanyaan

Bagi daerah-daerah yang siang terus pada musim panas, bagaimana dengan shalat maghrib dan isya’nya?, bagaimana pula ketika pada musim tersebut bertepatan dengan bulan ramadhan, bagaimana puasa penduduknya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Telah dikeluarkan fatwa nomor: 2769 oleh Majelis Ulama Besar dan Lajnah Daimah tentang masalah ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Inilah teks soal jawabnya:

Segala puji hanya milik allah semata, shalawat dan salam atas baginda Nabi Muhammad yang tiada Nabi setelahnya, selanjutnya…

Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta’ telah mempelajari pertanyaan dari ketua umum himpunan mahasiswa muslim Belanda yang diterima oleh kepala umum lajnah, yang teks pertanyaannya adalah sebagai berikut:

Kami mohon penjelasan dan fatwa tentang penentuan shalat maghrib, isya’ dan subuh, juga penentuan awal Ramadhan dan idul fitri pada negara-negara sebelah utaranya eropa yang mendekati kutub utara; karena peredaran mataharinya tidak sama dengan negara-negara Islam timur, masalahnya adalah mega merah dan putih pada musim panas berlangsung selama kurang lebih semalam suntuk, sehingga sulit menentukan waktu isya’ dan terbit fajar.

Jawaban:

Telah dikeluarkan keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia tentang penentuan batasan waktu shalat, dan batasan awal dan akhir setiap hari pada bulan Ramadhan dengan menyesuaikan beberapa negara tetangga yang tidak jauh berbeda dengan negara anda semua.

Inilah hasil keputusan Majelis:

Pertama:

Barang siapa yang bertempat tinggal di negara-negara yang siang dan malamnya berjarak dengan ditandai terbit dan terbenamnya matahari, termasuk negara yang siangnya berlansung lama pada musim panas, dan berlangsung sebentar pada musim dingin, maka wajib mendirikan shalat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan oleh syariat. Sebagaimana firman Allah –subhanahu wa ta’ala-:

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً ﴿الإسراء: 78)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (QS. Al Isra’: 78)

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً ﴿ النساء: 103)

" Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". (QS. An Nisa’: 103)

Sebagaimana hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang diriwayatkan oleh Buraidah –radhiyallahu ‘anhu- , ketika Beliau ditanya oleh seseorang tentang waktu shalat, Rasulullah menjawab: “Shalatlah bersama kami pada dua hari ini”. Ketika matahari tergelincir, Rasulullah menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan, lalu menyuruhnya untuk iqamah untuk shalat dzuhur. Kemudian menyuruhnya untuk adzan dan iqamah ashar pada waktu matahari meninggi dengan cerahnya. Kemudian menyuruhnya adzan dan iqamah untuk shalat maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian menyuruhnya untuk adzan dan iqamah untuk shalat isya’ ketika mega terbenam. Lalu menyuruhnya untuk adzan dan iqamah untuk shalat subuh pada saat terbit fajar. Pada hari kedua Rasulullah menyuruh Bilal adzan dzuhur agak di akhirkan, dan shalat asharpun diakhirkan agak sore, shalat maghrib sebelum terbenamnya mega kemerahan, dan shalat isya setelah berlalunya sepertiga malam, dan shalat subuh pada saat langit sudah terang (hampir terbit matahari). Kemudian Rasulullah bersabda: “Mana orang yang bertanya tentang waktu shalat?”. Saya wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda: “Waktu shalat kalian antara dua waktu yang kamu saksikan sejak kemarin”. (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Waktu dzuhur itu awal condongnya matahari kea rah barat sampai bayangan seseorang sama panjangnya dengan orang tersebut dan sebelum masuk waktu ashar, waktu ashar sampai sebelum matahari menguning di arah barat, waktu maghrib sampai sebelum terbenamnya mega merah di arah barat, waktu isya’ sampai tengah malam pertama, dan waktu subuh dari terbit fajar sampai sebelum terbit matahari. Apabila matahari sudah terbit maka hindari shalat; karena matahari terbit di antara dua tanduk syetan”. (HR. Muslim dalam Shahihnya)

Dan beberapa hadits lain yang menjelaskan tentang batasan waktu shalat baik hadits qouli (perkataan) maupun Fi’li (perbuatan), dan tidak dibedakan antara panjang dan pendeknya waktu siang dan malam selama waktu-waktu shalat tersebut berjarak dengan tanda-tanda yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Adapun mengenai batasan waktu puasa Ramadhan, bagi semua yang berpuasa agar menahan tidak berbuka dari makan dan minum dan semua yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari pada negara mereka, selama siang dan malamnya berjarak dan dalam batasan waktu 24 jam. Boleh makan, minum, berhubungan intim pada malam hari saja meskipun malamnya pendek; karena syariat ini untuk semua manusia di semua tempat. Allah berfirman:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ ﴿ البقرة: 187)

“…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, “. (QS. Al Baqarah: 187)

Dan barang siapa yang tidak mampu berpuasa karena lamanya waktu siang atau mengetahui tanda-tandanya, atau berdasarkan pengalaman, atau pemeriksan medis, atau kalau berpuasa menyebabkan kematian, atau sakit keras, atau sakitnya bertambah parah, atau bertambah lamanya proses penyembuhannya, maka boleh tidak berpuasa. Akan tetapi dia wajib mengqodho’ puasanya pada hari lain yang memungkinkannya untuk berpuasa. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ البقرة: ١٨٥

“… barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah: 185)

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا  البقرة : ٢٨٦

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al Baqarah: 286)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ الحج: ٧٨

“…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al Hajj: 78)

Kedua:

Barang siapa yang bertempat tinggal di negara-negara yang mataharinya tidak terbenam selama musim panas, dan tidak terbit pada musim dingin, atau di negara-negara yang siangnya selama enam bulan, dan malamnya selama enam bulan, maka wajib bagi mereka mendirikan shalat lima waktu setiap 24 jam sekali. Dan hendaknya memperkirakan batasan waktu masing-masing waktu shalat dengan menyesuaikan waktu shalat negara tetangga. Sebagaimana telah ditetapkan waktu-waktu shalat itu semenjak isra’ dan mi’rajnya Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahwa Allah telah mewajibkan 50 kali shalat dalam sehari semalam, sedang Rasulullah senantiasa meminta keringanan sampai Allah berfirman:

يَا مُحَمَّدُ ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (رواه مسلم (162) )

“Wahai Muhammad, Sesungguhnya yang 50 shalat itu menjadi 5 kali shalat sehari semalam”. (HR. Muslim)

Sebagaimana juga hadits Thalhah binUbaidillah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: seseorang pernah mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari penduduk Najed dengan rambut acak-acakan, kami mendengar suaranya yang keras dan kami tidak memahami apa yang diucapkan, sampai ia mendekati Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya bertanya tentang Islam, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda yang di antaranya:

...خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ ، فَقَالَ : هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ ؟ قَالَ : لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ . . . (رواه البخاري (46) ومسلم (11) )

“…Shalat lima kali dalam sehari semalam”. Dia bertanya lagi: apakah ada lagi selain itu?, Rasulullah menjawab: “Tidak, kecuali shalat sunnah”. (HR. Bukhori: 46, Muslim: 11)

Sebagaimana hadits Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Kami dilarang untuk bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu. Dan yang menjadikan kami heran, ketika seorang arab badui datang dan bertanya kepada Rasulullah -sedang kami mendengarkan- dia berkata: Ya Muhammad, telah datang kepada kami utusanmu, dia mengatakan bahwa Allah telah mengutusmu. Rasulullah menjawab: “Dia benar”. Utusanmu juga mengatakan bahwa kita diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam. Rasulullah menjawab: “Dia benar”. Dia berkata: Demi yang mengutusmu, apakah Allah yang menyuruhmu seperti ini?, Beliau menjawab: “ya”. (al Hadits)

Suatu ketika Rasulullah menjelaskan kepada para sahabatnya tentang al masih Dajjal, Beliau ditanya: berapa lama di bumi?, beliau menjawab: “40 hari, hari pertama laksana satu tahun, hari kedua laksana satu bulan, hari ketiga laksana satu pekan dan sisa harinya seperti hari biasa”. Beliau ditanya lagi: Ya Rasulullah, pada satu hari yang harinya sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan mendirikan lima kali shalat fardhu?, Rasulullah menjawab: “Tidak, akan tetapi perkirakanlah”. Rasulullah tidak menganggap hari yang sama dengan satu tahun itu satu hari dengan lima kali shalat, akan tetapi Dia mewajibkan shalat lima waktu setiap 24 jam sekali. Rasulullah menyuruh mereka untuk membagi dalam 24 jam tersebut untuk 5 kali shalat, karena ketidaksamaan dimensi waktu pada saat itu dengan hari pertama turunnya Dajjal.

Maka wajib bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal di daerah/negara yang ditanyakan agar memperkirakan waktu shalat mereka, menyesuaikan dengan negara terdekat yang waktu shalatnya berjarak dengan tanda-tanda yang sudah digariskan oleh Rasulullah dan dalam waktu 24 jam.

Mereka juga wajib berpuasa Ramadhan, dengan memperkirakan batas awal dan akhir ramadhan, termasuk awal puasa dan waktu sahur setiap harinya, dengan menyesuaikan terbit dan terbenamnya matahari dari negara terdekat, yang masih dalam waktu 24 jam. Hal ini  berdasarkan hadits Rasulullah tentang munculnya al Masih ad Dajjal, dan petunjuknya kepada para sahabatnya bahwa tidak ada bedanya antara shalat dan puasa.

Semoga Allah senantiasa member taufiq-Nya, dan shalawat dan salam

Al Lajnaj Daimah lil Buhuts wal Ifta’ .

Refrensi: Fatwa Lajnah Daimah: 6/ 130-136