Kamis 9 Syawal 1445 - 18 April 2024
Indonesian

Siapa Yang Mengikuti Ulama Dalam Suatu Masalah Ijtihad, Tindakannya Benar Dan Tidak Diperintahkan Mengulanginya Walapun Setelah Itu Dia Mengetahui Ada Pendapat Lain Yang Lebih Kuat

Pertanyaan

Saya seorang gadis, saya mengetahui di web anda sebuah fatwa tentang kafarat sumpah, yaitu tidak boleh dikeluarkan dalam bentuk uang. Dahulu saya melakukan kafarat dengan uang sebelum mengetahui fatwa ini, apakah saya harus membayar kafarat lagi untuk mengganti yang telah lalu, sementara aku tidak mengetahui lagi bilangannya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Membayar kafarat sumpah dalam bentuk uang termasuk masalah ijtihad yang diperselisihkan para ulama. Telah dijelaskan dalam fatwa no. 124274 bahwa pendapat yang lebih kuat adalah mengeluarkan kafarat dalam bentuk uang dianggap tidak sah. Dan ini merupakan mazhab mayoritas ulama. Yang berbeda dalam hal ini adalah Abu Hanifah rahimahullah, dia membolehkan mengeluarkannya dalam bentuk uang.

Kedua:

Masalah ijtihad yang diperselisihkan para ulama adalah masalah yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash yang tegas atau mendekatinya, baik dalam Al-Quranul Karim, atau sunah nabawiah. Akan tetapi, dia merupkan kesimpulan para ulama. Maka siapa yang mengikuti salah seorang ulama, tidak mengapa baginya. Jika ternyata setelah itu jelas baginya bahwa ada pendapat lain yang lebih kuat dari apa yang telah dia lakukan, maka hendaknya dia berpindah melakukan amal yang tampak lebih kuat baginya. Adapun yang dia lakukan sebelumnya dianggap sah dan mendapatkan pahala, serta tidak diperintahkan untuk mengulanginya.  Ini merupakan prinsip yang bersifat umum dalam memandang masalah-masalah seperti ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Masalah-masalah ijtihad seperti ini tidak perlu diinkari dengan tangan dan tidak boleh seseorang memaksa orang lain untuk mengikutinya, akan tetapi hendaknya dia berbicara dengan dalil-dalil ilmiah, maka siapa yang jelas baginya kebenaran salah satu dari dua pandangan, hendaknya dia mengikutinya. Siapa yang tetap mengikuti pendapat yang lain, tidak perlu diinkari.” (Majmu Fatawa, 30/80)

Syaikhul Islam menyebutkan masalah yang diperselisihkan para ulama; Apakah diharamkan dalam masalah pernikahan atau tidak? Maka di antara yang beliau katakan adalah; Banyak dari para ulama, seperti ulama dalam mazhab Syafii dan Malik dalam salah satu riwayatnya berpendapat bahwa hal itu dibolehkan. Sedangkan Abu Hanifah dan Ahmad dan Malik dalam riwayat lain menyatakan keharamannya. Maka untuk masalah ini, jika seseorang mengikuti salah satu dari kedua pendapat tersebut, dibolehkan baginya.”  (Majmu Fatawa, 32/140)

Beliaupun ditanya tentang hilah (cara menghindar dari hukum) yang difatwakan para ulama agar tidak jatuh bagi suami dengan masalah yang disebut sebagai masalah Ibnu Suraij. Dia berkata, “Ini adalah masalah baru dalam Islam. Tidak pernah difatwakan seorang pun dari kalangan sahabat, juga tidak dari kalangan tabiin, tidak juga dari kalangan imam mazhab yang empat. Tapi difatwakan oleh sejumlah ulama belakangan namun diingkari oleh banyak para ulama kaum muslimin. Siapa yang mengikuti seseorang dalam masalah  ini, kemudian dia bertaubat, maka Allah memaafkannya apa yang telah lalu dan dia tidak perlu menceraikan isterinya jika menafsirkannya demikian.” (Majmu Fatwa, 33/244)

Beliau juga rahimahullah ditanya tentang sebagian praktek yang dilakukan orang-orang untuk menghindari hukum riba, sebagian ulama membolehkannya, maka beliau sebutkan dalil-dalil yang mengharamkannya. Kemudian beliau berkata, “Apa yang didapatkan seseorang dari transaksi ekonomi yang diperdebatkan para ulama seperti masalah yang ditanyakan ini dan dia berusaha menafsirkan masalah itu dan meyakini kebolehannya berdasarkan ijtihad atau mengikuti atau menyerupai sejumlah ulama atau karena ada sebagian ulama yang berfatwa demikian, maka harta yang mereka dapatkan dan miliki tidak wajib dikeluarkan walaupun setelah itu jelas bagi mereka bahwa pendapat mereka salah dalam masalah tersebut dan bahwa yang berfatwa untuk mereka keliru, karena mereka memiliki harta itu berdasarkan pemahaman yang mereka anggap benar ketika itu, akan tetapi saat telah mengetahui ilmunya mereka harus bertaubat dari transaksi ribawi.” (Majmu Fatawa, 29/443-445)

Beliau memerintahkan siapa yang mengatahui status haramnya agar komitmen dengan hal itu dan tidak boleh baginya mengikuti orang berfatwa dengan membolehkannya. Adapun harta yang telah dia dapat berdasarkan pemahaman sebelumnya, tidak wajib untuk dia sadaqahkan sebagiannya, tetapi kepemilikannya dianggap sah.

Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang, maka beliau menjawab, “Mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang adalah keliru, tidak sah. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Siapa yang melakukan suatu amalan yang bukan dari ajaran agama kami, maka dia tertolak.” Sementara terdapat riwayat shahih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فرض رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر ، أو صاعا من شعير

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah, satu sha dalam bentuk kurma, atau satu sha dalam bentuk gandum.”

Faradha artinya kewajiban mutlak.

Akan tetapi sebagian ulama rahimahumullah membolehkan mengeluarkannya dalam bentuk uang. Maka siapa yang mengikuti mereka dan mengeluarkannya dalam bentuk uang, hal itu dianggap sah jika dia tidak mengetahui apa yang benar dalam masalah ini. Adapun siapa yang mengetahui bahwa zakat fitrah harus dalam bentuk makanan pokok tetapi dia mengeluarkannya dalam bentuk uang karena lebih mudah, maka hal itu dianggap tidak sah.” (Fatawa Nurun Alad-Darbi, 2/10)

Berdasarkan hal tersebut, maka tindakan anda yang membayar kafarat sumpah dengan uang, sebagaimana telah dijelaskan, hukumnya sah, dan tidak harus anda mengulanginya kembali mengeluarkan kafarat. Akan tetapi, berikutnya jika membayar kafarat sumpah harus dalam bentuk makanan.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam