Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Kekhususan yang paling menonjol dari kelompok yang selamat (firqoh Najiyah) adalah berpegang teguh dengan apa yang ada pada Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Empat hal ini anda dapatkan firqoh najiyah ini yang tampak di dalamnya.
Dalam aqidah, anda dapatkan sangat memegang dengan apa yang ditunjukkan dalam Kitab dan Sunah RasulNya sallallahu alaihi wa sallam. Dari kemurnian tauhid dalam Uluhiyatullah, Rububiyah dan Asma’ Wa Sifat-Nya.
Dalam ibadah, anda dapatkan kelompok ini sangat berbeda dalam komitmennya yang sempurna serta pelaksanaannya sebagaimana yang dilakukan Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Beribadah dalam sifat, kadar, waktu, tempat dan sebabnya. Anda tidak dapatkan mereka melakukan bid’ah dalam agama Allah. Mereka sangat beradap dengan Allah dan Rasul-Nya. Tidak pernah mendahulukan Allah dan RasulNya dengan memasukkan sesuatu dalam ibadah yang Allah tidak mengizinkannya.
Dalam akhlak, anda dapati mereka unggul dari yang lainnya. Dengan akhlak yang mulia seperti cinta kebaikan kepada umat Islam, berlapang dada, wajah mudah tersenyum, bagus ucapan dan dermawan, berani dan sifat akhlak mulia lainnya.
Dalam muamalat, anda dapati mereka bermuamalah dengan manusia dengan kejujuran, menjelaskan seperti yang diisyaratkan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya:
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما , وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما
“Dua orang jual beli dalam pilihan selagi belum berpisah, kalau keduanya jujur dan saling menjelaskan. Maka keduanya akan mendapat keberkahan dalam penjualannya. Kalau bohong dan menyembunyikan (aib), maka keberkahannya akan dihapus dalam penjualannya.”
Kekurangan dari kekhususan ini, tidak menjadikan seseorang keluar dari firqoh Najiyah. Akan tetapi masing-masing ada derajatnya sesuai dengan amalannya. Kekurangan dari sisi tauhid, bisa jadi keluar dari firqoh najiyah. Seperti tidak ada ikhlas, bagitu juga dalam bid’ah, terkadang melakukan bid’ah yang dapat mengeluarkan dari firqoh najiyah (kelompok selamat).
Sementara dalam masalah akhlak dan muamalat, tidak mengeluarkan (dari firqoh najiyah) meskipun kurang pada keduanya menyebabkan berkurang dari sisi derajatnya. Terkadang kita butuhkan perincian dalam masalah akhlak, karena yang terpenting dalam akhlak adalah kesatuan kata, bersatu dalam kebenaran yang diwasiatkan Allah kepada kita dalam firman-Nya:
شَرَعَ لَكُمْ مِنْ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ (سورة الشورى: 13)
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS: As-Syuro: 13)
Dan memberitahukan bahwa orang yang memecah belah agama dan mereka berkelompok-kelompok, Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam berlepas darinya. Maka Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ (سورة الانعام : 159)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS; Al-An’am: 159)
Maka kesatuan kata dan kesatuan hati, termasuk spesifikasi yang menonjol dalam -firqoh najiyah- ahlus sunah wal jamaah. Mereka jika terjadi perbedaan di antara mereka yang timbul dari ijtihad dalam masalah ijtihadiyah, hal itu tidak menjadikan iri hati, permusuhan, kebencian sebagian dengan sebagian lainnya. Bahkan mereka meyakini semuanya adalah saudara meskipun terjadi perbedaan di antara mereka ini. Bahkan di antara mereka shalat di belakang orang yang berpendapat dia tidak dalam kondisi berwudhu, sementara imam lain berpendapat dia dalam kondisi berwudu. Contoh seseorang di antara mereka shalat dibelakang orang yang memakan daging unta. Imam ini berpendapat tidak membatalkan wudu. Sementara makmumnya berpendapat hal itu membatalkan wudu. Maka dia berpendapat shalat di belakang imam ini sah. Jika dia shalat sendirian dia berpendapat shalatnya tidak sah.
Semuanya ini, Karena mereka berpendapat bahwa perbedaan yang timbul dari ijtihad yang memungkin seseorang berijtihad, hakekatnya tidak ada perbedaan. Karena masing-masing telah mengikuti apa yang seharusnya dia ikuti dari dalil yang tidak boleh berpaling darinya. Mereka berpendapat bahwa saudaranya yang berbeda dalam suatu amalan tertentu, mengikuti dalil, hakekatnya dia telah sepakat dengannya. Karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimana saja. Kalau dia berbeda karena sesuai dalil yang ada padanya maka pada hakekatnya dia sepakat dengannya. Karena dia berjalan sesuai apa yang diajak dan menunjukkan untuk berhukum dengan Kitabullah dan sunah Rasululah sallallahu alaihi wa sallam.
Tidak tersembunyi lagi bagi kebanyakan ahli ilmu, adanya perbedaan di antara para shahabat seperti masalah ini, bahkan terjadi pada masa Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang mencelanya. Bahwa beliau sallallahu alaihi wa sallam ketika pulang dari perang Ahzab, Jibril datang dan memberi isyarat agar beliau berangkat ke Bani Quraidhah yang mengkhianati perjanjian. Maka Nabi sallallahu alahi wa sallam mengajak kepada para shahabat dengan mengatakan,”Janganlah kalian melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah.”
Maka berangkatlah mereka dari Madinah ke Bani Quraidhah. Lalu mereka mendapatkan shalat Ashar. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat asar sampai ke Bani Quraidhah meskipun telah keluar waktunya karena Nabi bersabda, “Hendaklah kalian jangan melakukan shalat asar kecuali di Bani Quraizah.” Di antara mereka ada yang shalat pada waktunya. Dia mengatakan sesungguhnya Rasulullah sallallahu alai wa sallam menginginkan kamu untuk segera keluar, tidak menginginkan kita mengakhirkan shalat dari waktunya –dan mereka adalah yang benar- akan tetapi meskipun begitu, Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak mencela seorangpun dari kedua kelompok itu. Hal itu juga tidak menyebabkan permusuhan dan kebencian satu dengan lainnya disebabkan perbedaan dalam memahami nash ini.
Oleh karena itu, saya berpendapat, selayaknya bagi orang yang menyandarkan kepada Sunah seharusnya menjadi umat yang satu. Tidak menjadi berkelompok di antara mereka. Yang ini kelompoknya ini dan yang lain ke kelompok lain, yang ketiga ke kelompok ke tiga. Begitulah sehingga mereka berselisih di antara mereka dengan beradu mulut yang sengit dan saling bermusuhan dan saling membenci karena perbedaan yang seseorang dapat berijtihad. Tidak perlu saya sebutkan secara khusus kelompok tertentu, Akan tetapi orang yang berakal memahami dan jelas perkara ini.
Maka saya berpendapat bahwa seharusnya ahlus Sunah wal jamaah hendaknya bersatu meskipun terjadi perbedaan di dalam ruang dimana mereka dibolehkan berbeda pendapat sesuai cakupan nash sesuai dengan pemahaman. Karena masalah ini alhamdulillah luas. Yang terpenting kesatuan hati dan kesatuan kata . Tidak diragukan bahwa musuh-musuh Islam senang umat Islam berpecah bela. Baik musuh yang terang-terangan mengatakan permusuhan atau musuh yang pura-pura dekat dengan umat Islam beragama Islam, padahal mereka tidak termasuk di dalamnya. Maka seharusnya kekhususan ini dimiliki dan disinilah kekususan kelompok yang selamat yaitu bersatu dengan satu kata.