Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Saya terjebak dalam kebiasaan buruk onani. Hampir setiap Ramadhan saya melakukan onani pada siang harinya. Padahal saya mengetahui hukumnya, akan tetapi saya tidak melaksanakan qadha karena malas. Saya terus melakukan kebiasaan tersebut pada bulan-bulan Ramadhan berikutnya. Hari ini dan dalam rangka menyambut kedatangan bulan Ramadhan saya bertekad untuk melakukan tobat nasuha. Tapi apa yang harus saya lakukan terhadap puasa-puasa yang saya tinggalkan di bulan Ramadhan yang lalu? Sebagai catatan, bulan Ramadhan kemarin, saya melakukan kebiasaan tersebut hanya empat hari. Apakah diwajibkan atas saya qadha? Jika diwajibkan, bolehkah saya melakukan qadha itu setelah bulan Ramadhan ini? Karena saya belajar di luar negeri, di negeri non muslim. Puasa di sana cukup melelahkan karena tidak ada penyesuaian waktu belajar.
Alhamdulillah.
Pertama,
Kami memohon kepada Allah agar menerima tobatmu, mengampuni dosamu, dan meneguhkan pendirianmu dalam ketaatan dan istiqamah. Membatalkan puasa secara sengaja di siang hari Ramadhan adalah dosa besar. Karena itu merupakan kejahatan terhadap kewajiban agung yang diwajibkan Allah ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, kita dan orang-orang sebelum kita. Jika kejahatan ini dilakukan dengan melakukan kejahatan lain, yakni onani, maka dengan begitu terkumpullah dua kejahatan. Besar pula dosa yang diakibatkannya. Kami memohon kepada Allah kebaikan. Kami telah memaparkan penjelasan mengenai haramnya kebiasaan ini dan pengaruhnya terhadap puasa dalam soal-jawab nomor 40587.
Kedua,
Kamu diwajibkan meng-qadha puasa-puasa yang telah kamu tinggalkan. Jika kamu tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya sebelum Ramadhan maka itu tetap menjadi hutang yang wajib dibayar, dan kamu harus melakukannya setelah Ramadhan. Sebaiknya, kamu juga membayar kafarat untuk setiap puasa yang kamu tinggalkan itu, yaitu berupa memberi makan satu orang miskin dengan setengah sha’ beras atau makanan pokok lain. Setengah sha’ kira-kira sama dengan satu setengah kilo.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
Siapa yang wajib atasnya puasa Ramadhan boleh mengakhirkannya selama belum memasuki Ramadhan berikutnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Aku punya tanggungan puasa Ramadhan, aku tidak membayarnya sampai datang bulan Sya’ban.” Muttafaq ‘alaih.
Perlu diingat, tidak boleh menunda qadha Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya tanpa ada alasan syar’i. Karena Aisyah tidak menunda qadha-nya sampai Ramadhan berikutnya. Jika boleh, tentu ia akan mengakhirkannya sampai Ramadhan berikutnya. Jika diakhirkan sampai Ramadhan berikutnya, maka kita lihat dulu, apakah penundaan tersebut karena ada alasan syar’i, jika ada maka tidak ada sanksi apa-apa kecuali pelaksanaan qadha tersebut. Namun jika tanpa ada alasan syar’i maka qadha tersebut harus diiringi dengan pemberian makan orang miskin. Demikianlah yang dikatakan Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Mujahid, Sa’id bin Jabir, Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i dan Ishaq.
Hasan, an-Nakha’i, dan Abu Hanifah berkata:
Tidak ada fidyah atasnya. Karena qadha puasa Ramadhan adalah puasa wajib. Jika diakhirkan, tidak ada kewajiban kafarat atasnya, seperti halnya jika ia mengakhirkan nadzar. Demikian. Dinukil dari “al-Mughni” (3/40).
Kafarat ini tidak berulang dengan berlalunya tahun. Siapa yang mengakhirkan qadha puasa Ramadhan bertahun-tahun kemudian, maka ia hanya diwajibkan satu kafarat untuk setiap qadha puasa yang diakhirkannya.