Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Adab berkomunikasi dengan wanita secara umum pada beberapa kondisi berikut ini: jual beli, belajar mengajar, pertemuan personal untuk masalah pekerjaan, seperti memahamkannya pada hal tertentu? Bagaimanakah hukumnya menundukkan pandangan pada keadaan di atas, dan kapan dibolehkan melihat wanita secara umum? Saya berharap jawaban rinci yang menyeluruh.
Alhamdulillah.
Berbicara kepada wanita bukan mahram (ajnabiyah), bisa karena ada kebutuhan, bisa juga tanpa kebutuhan apapun:
Jika tidak ada kebutuhan dan dia justeru menikmatinya dengan mendengar suara wanita atau lemah gemulainya, maka hal ini haram. Hal itu termasuk zina lisan dan telinga, seperti dikabarkan oleh Nabi –shallallahu alaihi wa sallam-:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ : فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا ، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ رواه مسلم بهذا اللفظ (2657
“Telah ditetapkan kepada anak Adam bagiannya dari zina, bisa dipastikan dia akan mendapatkannya: kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah menggerakkan, dan kaki zinanya adalah menyentuh, dan hati menginginkan dan mengangankan. Kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mendustakannya”. (HR. Muslim dengan redaksi ini, no. 2657)
Adapun jika ada keperluan untuk berbicara dengan wanita, maka hukum asalnya boleh, namun hendaknya memperhatikan beberapa adab berikut ini:
Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- telah meriwayatkan haditul ifki (tuduhan berzina) yang telah dituduhkan oleh orang-orang munafik, maka ucapan beliau –radhiyallahu ‘anha- adalah:
وَكَانَ صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِىُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِىُّ مِنْ وَرَاءِ الْجَيْشِ ، فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِي فَرَأَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ ، فَعَرَفَنِي حِينَ رَآنِي ، وَكَانَ رَآنِي قَبْلَ الْحِجَابِ ، فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي ، فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي ، وَاللَّهِ مَا تَكَلَّمْنَا بِكَلِمَةٍ وَلاَ سَمِعْتُ مِنْهُ كَلِمَةً غَيْرَ اسْتِرْجَاعِهِ ، وَهَوَى حَتَّى أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ ، فَوَطِئَ عَلَى يَدِهَا ، فَقُمْتُ إِلَيْهَا فَرَكِبْتُهَا ، فَانْطَلَقَ يَقُودُ بِي الرَّاحِلَةَ حَتَّى أَتَيْنَا الْجَيْشَ رواه البخاري (4141) ومسلم (2770
“Shafwan bin Mu’atthal As Sulami Adz Dzakwani ada di belakang pasukan. Dia tiba di tempatku,dia lihat sesosok orang (berbaju) hitam sedang tidur. Ternyata diamengenaliku saat melihatku, dan pernahmelihatku sebelum kewajiban hijab. Aku terbangun karena ucapan istirja’nya (ucapan innaa lillahi) setelah mengetahui bahwa sosok itu adalah aku , maka aku tutup wajahku dengan kerudungku. Demi Allah kami tidak berbicara sedikitpun, aku juga tidak mendengar ucapan apapun darinya, kecuali bacaan istirja. Lalu dia menunduk hingga hewan tunggangannyamenunduk bersandar dengan kakinya.Aku pun menaiki hewan tunggangannya, lalu mulailah kami berangkat dia menuntun hewan tunggangan ini sampai kami bergabung lagi dengan pasukan”. (HR. Bukhari: 4141 dan Muslim: 2770)
Al Iraqi –rahimahullah- berkata:
“Ucapan Aisyah, ‘Aku tidak mendengar darinya satu kata pun’, bukan pengulangan, karena bisa jadi asalnya dia tidak bercakap dengannya, namun berbicara dalam hati atau mengeraskan suara bacaan atau berzikir agar dia dengar. Tapi tidak ada komentar apa-apa darinya,bahkan dia memilih diam dalam kondisi tersebut sebagai adab dan menjaga diri, karena bahayanya kondisi yang saat itu dia alami.
Dalam hadits ini terdapat pelajaran: “...Adab yang baik kepada wanita bukan mahram, apalagi saat berduaan dengan mereka ketika darurat, baik di darat atau yang lainnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Shafwan dengan merendahkan ontanya tanpa bicara dan bertanya”. (Tharhut Tatsrib: 8/53)
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
الأحزاب/32.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata, “Para penyair semuanya berpendapat bahwa berkomunikasi, berbicara, dan memandang wanita non mahram tidak mengapa. Hal ini bertentangan dengan syari’at dan akal. Ini artinya menggoda jiwa manusia secara naluri memiliki kecenderungan kepada lawan jenis. Berapa banyak yang terkena fitnah pada agama dan dunianya.” (Raudhatul Muhibbin: 88)
Telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 1497, 59873 dan 102930 di website kami, terdapat bagian khusus untuk sebagian fatwa yang berkaitan dengan adab-adab berbicara kepada wanita, maka dipersilahkan membukanya.
Wallahu A’lam