Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Diantara Hukum Harta yang Haram dari Sisi mencarinya dan dzatnya. Hukum anak-anaknya mengambil manfaat dan mewariskannya

17-12-2023

Pertanyaan 114798

Ayahku bekerja di perusahan asuransi, ketika bekerja di perusahaan di permulaan beliau tidak mengetahui bahwa bekerja di perusahaan asuransi itu haram, akan tetapi beliau mengetahui bahwa bekerja di sana itu haram ketika beliau berumur 50 tahun. Meskipun begitu beliau tidak meninggalkan pekerjaannya. Sekarang beliau berumur 67 tahun. Dan umur pensiunan sejak tujuh tahun, meskipun begitu beliau tetap bekerja tanpa jabatan, akan tetapi dengan sistem kerja harian, beliau berniat akan meninggalkan pekerjaan ini di akhir tahun ini. Saya telah memberikan nasehat kepada beliau beberapa kali, sementara ayahku mengatakan,”Dalam waktu dekat saya akan meninggalkan pekerjaan ini, saya ingin mengetahui penjelasan tetang harta yang didapatkan oleh ayahku dari perusahaannya itu digunakan untuk sebagai berikut:

Pertama kali beliau simpan uangnya di bank dengan sistem bunga, kemudian setelah itu beliau ambil digunakan untuk investasi pada proyek properti (Proyek halal), dengan penjelasan ini saya mohon dengan hormat, jawaban dari pertanyaan berikut ini:

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Akad asuransi perdagangan (konvensional) yang terkenal di mana-mana, tidak ragu lagi akan keharamannya. Dan penyimpangan agama, ia termasuk akad gambling (tidak pasti) dan perjudian. Pada sebagian macamnya diambil dari orang-orang dalam kondisi terpaksa bukan dengan suka rela, dimana di dalamnya terkumpul banyak akad kejelekan yang berbeda-beda, maka tidak heran para ulama’ hampir semuanya sepakat akan keharamannya, sementara perbedaan yang ada itu syaz (nyeleneh) tidak dianggap.

Kedua:

Khusus terkait dengan pekerjaan ayah anda yang bekerja di perusahaan asuransi, maka kami mengingatkan kepadanya agar bertaqwa kepada Allah ta’ala dahulu, dimana beliau sudah hampir berumur tujuh puluh tahun !!! dan beliau masih bekerja dimana beliau mengetahui bahwa bekerja disitu adalah haram, dan tidak dihalalkan dia tetap didalamnya. Maka kapan beliau akan bertakwa kepada Tuhannya, dan meninggalkan apa yang dimurkai oleh Allah ta’ala dari pekerjaan ini ?? apakah dia menjamin kehidupannya sampai akhir tahun sampai dia tetap bekerja yang haram?? Bagaimana dia rela pada dirinya padahal sudah berumur segini atau diakhiri dengannya sementara dia bermaksiat kepada Tuhannya ta’ala? Seharusnya pada umur segini selayaknya menjaga shalat di masjid desanya, membaca al-Qur’an, sebagai juru dakwah, tempatnya di masjidil haram, dalam kondis berumroh atau beri’tikaf dan beribadah. Bukan ditempat perusahaan perjudian, bukan seharusnya keinginan kuatnya adalah mendapatkan pelanggan, dan menjaga pada yang lainnya. Maka kami memohon kepada Allah ta’ala agar segera mendapatkan hidayah-Nya. Dan dimudahkan akhir kehidupannya dalam kondisi apa yang dicintai oleh Tuhannya.

Terkait dengan harta yang didapatkan dari pekerjaan yang haram tu, kalau sebelum mengetahui keharaman pekerjaannya, maka ia termasuk halal dan gajiaan waktu itu. Sementara apa yang dketahui akan keharamannya, maka haram atasnya dan gajian waktu itu.

Para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ pada sebagian jawabannya mengatakan,”Waktu yang anda duduk di bank untuk bekerja di dalamya, kita berharap kepada Allah semoga diampuni dosanya, sementara apa yang anda kumpulkan dari uang dan anda pegang disebabkan bekerja di bank pada waktu yang lalu, anda tidak berdosa di dalamnya kalau anda belum tahu hukum akan hal itu. Syekh Abdul Aziz bin Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrozzaq Afifi, Syekh Abdullah Godyan, Syekh Abdullah Qo’ud (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (15/46).

Fatwa ini sesuai dengan semua pekerjaan yang didapatkan dari yang haram sementara dia tidak tahu hukumnya, atau dikatakan kepadanya ada orang yang terpercaya bahwa hal itu diperbolehkan. Akan tetapi kehalalan dengan syarat itu, orang tua anda belum melakukannya, yatu meninggalkan pekerjaan, dan menahan untuk melanjutkannya. Menahan dari apa yang diharamkan, Allah menjadikan sebagai syarat akan menjadi halal apa yang telah lalu. Allah ta’ala berfirman:

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ

البقرة/ آية 275

“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);” QS. A-Baqarah: 275

Syekh al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Diantara faedah dari ayat ini adalah bahwa apa yang diambil seseorang dari riba sebelum mengetahui akan keharamannya, maka halal baginya. Dengan syarat dia bertaubat dan berhenti. (Tafsir surat al-Baqarah, (3/377).

Dan pendapat semisal itu juga dikatakan oleh para ulama’ yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah, silahkan untuk melihat fatwa mereka dalam jawaban soal no. (106610).

Sementara setelah mengetahui akan keharamanya, maka tidak halal baginya usahanya, karena pengharaman pekerjaannya itu sendiri.

Ketiga:

Bahwa tidak mengapa untuk mereka terhadap apa yang dinafkahkannya, khusus untuk istri dan anak-anak yang dalam pemeliharaannya dari usaha haram atau dari pekerjaan yang diharamkan atas mereka sebelumnya. Akan tetapi dosanya dan pengharamannya kepada orang yang bekerja saja tanpa yang lainnya. Dari sini kita mengetahui sebab penerimaan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam terhadap undangan orang Yahudi, dan memakan dari makanannya. Padahal mereka berusaha dengan harta dari jalan yang diharamkan.

Syekh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rahimahullah ditanya,”Ayahku –semoga Allah mengampuninya – bekerja di bank konvensional, apa hukum mengambil dari hartanya dan kami makan dan minum dari hartanya? Selain itu kami juga mempunyai pemasukan lain dari jalan kakak perempuanku beliau yang bekerja, apakah kita meninggalkan nafkah ayahku dan kami mengambil nafkah dari kakak perempuanku padahal kami adalah keluarga besar, ataukah kakak perempuanku itu tidak ada kewajiban memberikan nafkah kepada kami sehingga kita mengambil nafkah dari ayahku?

Maka beliau menjawab,”Saya katakan, ambillah nafkah dari ayah kalian, kalian akan mendapatkan keenakan dan dia yang mendapatkan kesusahan. Karena kalian mengambil harta ayah kalian dengan cara benar, dimana dia mempunyai harta sementara kalian tidak mempunyai harta, maka kalian mengambilnya dengan benar, meskipun kesusahan dan tanggungan dan dosanya dilimpahkan kepada ayah kalian. Hal itu tidak menjadi masalah, ini beliau Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menerima hadiah dari orang Yahudi, memakan makanan orang Yahudi, membeli dari orang Yahudi padahal orang Yahudi dikenal dengan (transaksi) Ribanya dan memakan sesuatu yang dosa. Akan tetapi Rasulullah sallallahu’alaihi wa allam memakan dengan cara yang mubah, kalau dia memiliki dengan cara yang mubah, maka tidak mengapa. Silahkan melihat contoh Barirah ‘budaknya Aisyah radhiallahu’anhuma, beliau bersedekah daging kepadanya, kemudian Nabi sallallahu’alaihi wa sallam suatu hari masuk ke rumahnya dan mendapatkan burmah – panci diatas api- maka dihidangkan makanan Cuma tanpa menyuguhkan daging, menyuguhkan makanan tanpa ada dagingnya, maka beliau mengatakan,”Tidakkah saya melihat panci yang di atas api? Mereka mengatakan,”Ya wahai Rasulullah? Akan tetapi ia adalah daging yang disedekahkan dari ‘Barirah’ sementara Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam tidak memakan shodaqah, maka beliau bersabda,”Bagi dia (Barirah) adalah shodaqah tapi bagi kita adalah hadiah. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memakannya, padahal sebenarnya itu haram bagi beliau memakan shodaqah. Karena beliau tidak memegang hal itu adalah shodaqah akan tetapi beliau memegangnya dikarenakan ia adalah hadiah.

Maka mereka para saudara, kita katakan,”Makanlah dari harta ayah kalian dalam kondisi tenang dan nikmat, sementara untuk ayah kalian akan mendapatkan dosa dan celaka. Kecuali ketika Allah memberikan hidayah kepadanya dan bertaubat. Siapa yang bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya.(Al-Liqo’ As-Syahri, (45/ pertanyaan no. 16).

Dan hukum harta yang bercampur, bahwa apa yang diberikan kepada kalian darinya, maka makanlah dengan baik dan enak. Baik berupa uang tunai atau benda seperti rumah atau tanah, dan apa yang ditinggalkan setelah wafatnya, maka lihatlah kalau disana ada pemilik uang yang diwariskan kepada kalian diambil dengan cara dholim, maka kembalikan kepadanya, kalau tidak ada pemiliknya, dan tidak bisa sampai kepadanya maka keluarkan dari kadar harta ini untuk amal kebaikan, dan ini adalah termasuk harta haram itu sendiri. sementara kalau yang didapatkan dari pekerjaan haram, maka ia haram kepadanya bukan untuk yang lainnya. Yaitu bagi kalian halal sebagaimana tadi perkataan Syekh al-Utsaimin rahimahullah, kecuali kalau kaliau menjaga diri darinya, dan kalian keluarkan untuk amal kebaikan akan tetapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan bagi kalian.

Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan,”Ditanya tentang orang yang melakukan riba dan meninggalkan harta dan anak sementara dia mengetahui kondisinya, apakah hal itu menjadi halal untuk anaknya dengan warisan atau tidak?

Kalau kadar yang diketahui oleh seorang anak itu adalah riba, maka dia keluarkan dengan mengembalikan kepada pemiliknya kalau memungkinkan, kalau tidak memungkinkan dia bersedekah dengannya. Sementara sisanya tidak diharamkan atasnya.

Akan tetapi kadar yang masih samar, dianjurkan untuk ditinggalkan kalau tidak diwajibkan untuk melunasi hutangnya atau nafkah keluarganya. Kalau seorang ayah memegangnya dengan muamalah ribawi yang diperbolehkan oleh sebagian ulama’ fikih, maka ahli warisnya boleh memanfaatkannya, kalau bercampur antara halal dengan yang haram, dan dia tidak mengetahui kadar masing-masing, maka dibagi menjadi dua. (Majmu’ Fatawa, (29/307).

Para ulama’ dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan,”Seorang ayah tidak diperbolehkan mendidik anak-anaknya dengan usaha yang diharamkan, hal ini telah diketahui oleh penanya, sementara anak-anak, tidak ada dosa bagi mereka. Akan tetapi dosanya dibebankan kepada ayah mereka. Kalau rumah semuanya itu dari mencuri, maka bagi ahli waris harus mengembalikan curiannya kepada pemiliknya, kalau mereka dikenal. Kalau mereka tidak diketahui, maka diharuskan didistribusikan untuk kegiatan sosial (kebaikan). Untuk memakmurkan masjid, bersedekah kepada orang-orang fakir dengan niatan untuk pemilik barang curian. Dan begitu juga hukum ini kalau sebagian rumahnya dari curian dan sebagian dari harta kakeknya, maka ahli waris harus mengembalikan apa yang dicurinya kepada pemiliknya, kalau diketahui. Kalau tidak diketahui, maka harus didistribusikan untuk kegiatan sosial (kebaikan) seperti tadi.

Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrozzaq Afifi, Syekh Abdullah Gudyan, Syekh Abdullah Qo’ud (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (26/332).

Wallahua’lam

Bertaubat dari Hasil Harta Haram
tampilan di situs islamqa.info