Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Jika ternyata sang ibu dipaksa untuk melakukan jimak di bulan Ramadan dari pihak suaminya, maka dia tidak terkena kewajiban kaffarah. Berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجة، رقم 2043، وصححه الألباني في صحيح ابن ماجة )
"Sesungguhnya Allah memaafkan umatku yang kesalahan, lupa dan dipaksa." (HR. Ibnu Majah, no. 2043, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Ibnu Majah)
Adapun jika dia melakukannya secara sukarela, maka dia harus mengqadha puasa hari itu dan membayar kafarat.
Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah Lil Ifta berpendapat tentang orang yang berjimak di bulan Ramadan;
"Yang diwajibkan baginya adalah memerdekakan budak. Jika dia tidak mampu, maka dia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, hendaknya dia memberi makan enampuluh orang miskin, setiap miskin diberi satu mud (gandum). Dia diharuskan mengqadha puasa sebagai pengganti hari itu. Adapun bagi isteri, jika dia melakukannya secara sukarela, maka hukumnya sama dengan sang suami. Jika dia dipaksa, maka dia hanya diwajibkan melakukan qadha saja."
(Fatawa Lajnah Daimah, 10/302)
Jika ternyata ibu anda terkena kewajiban membayar kafarat, maka sebagiamana anda sebutkan dia tidak dapat melakukan puasa, maka berarti cukup baginya memberi makan enampuluh orang miskin.
Lihat jawaban soal no. 1672 untuk mengetahui kafarat jimak di siang hari bulan Ramadan.
Kedua:
Adapun terkait dengan sang bapak, maka wajib baginya berpuasa dua bulan berturut-turut serta mengqadha puasa hari itu yang batal karena jimak. Karena dia wafat sebelum membayarnya, maka, apakah salah seorang anaknya ada yang sukarela berpuasa untuknya selama dua bulan berturut-turut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (رواه مسلم، رقم 1147) .
"Siapa yang mati dan masih menanggung puasa, hendaknya walinya (kerabatnya) berpuasa untuknya." (HR. Muslim, no. 1147)
Tidak boleh membagi kafarat puasa dua bulan itu kepada lebih dari satu orang. Bahkan syaratnya adalah dilakukan puasa oleh satu orang saja sehingga dia dapat dikatakan berpuasa dua bulan berturut-turut.
Atau (jika hal itu tidak dapat dilakukan) hendaknya mereka sebagai anak mewakilinya memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang dia tinggalkan puasa.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika mayat memiliki kewajiban berpuasa dua bulan berturut-turut, maka apakah salah seorang ahli warisnya ada yang sukarela berpuasa untuknya (dua bulan berturut-turut) atau mereka memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan." (Asy-Sarhul Mumti, /453)
Beliau juga berkata, "Terdapat riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa siapa yang wafat dan masih memiliki kewajiban puasa fardhu Ramadan, atau nazar atau kafarat, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya. Maksudnya jika dia bersedia."
(Fatawa Nurun alad-Darb, 20/199)
Syekh As-Sa'dy rahimahullah berkata,
"Siapa yang wafat dan masih memiliki kewajiban qadha ramadan, padahal dia telah sembuh namun belum mengqadhanya, maka wajib dikeluarkan makanan atas namanya untuk diberikan kepada seorang miskin sesuai jumlah hari puasa yang dia tinggalkan."
Irsyadu Ulil Bashair wal Albab, hal. 79
Memberi makan ini wajib diambil dari harta waris. Namun jika ada salah seorang yang sukarela mengeluarkannya dari hartanya sendiri, hal itu tidak mengapa.
Wallahua'lam.