Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Jika perbuatan zina itu terjadi setelah akad, walaupun sebelum resepsi, maka pernikahan anda sah. Namun anda harus bertaubat dari perbuatan dosa yang terjadi pada anda tersebut.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika seorang isteri berzina, atau suaminya berzina, pernikahan mereka tidak batal, apakah hal itu terjadi setelah mereka hidup bersama atau sebelumnya, berdasarkan pendapat mayoritas ulama.” (Al-Mughni, 9/565)
Kedua:
Jika zina tersebut terjadi sebelum akad, maka akadnya tidak sah, kecuali jika sang wanita telah dinyatakan bebas rahimnya dengan datangnya haid, berdasarkan pendapat yang lebih kuat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Menikahi seorang pezina diharamkan sebelum dia bertaubat, baik dia yang menzinahinya atau orang lain. Inilah pendapat yang benar tak diragukan lagi dan ini merupakan mazhab sejumlah ulama kalangan salaf (dahulu) dan kholaf (belakangan). Di antaranya adalah Ahmad bin Hambal dan selainnya. Banyak juga dari kalangan salaf dan kholaf yang membolehkannya. Pendapat ini terbagi dalam tiga pendapat lagi. Imam Malik mensyaratkan bebasnya Rahim dari kehamilan, Abu Hanifah membolehkan akad sebelum pernyataan bebasnya Rahim dari kehamilan jika dia ternyata hamil akan tetapi tidak boleh digauli sampai melahirkan. Sedangkan Imam Syafii membolehkan akad dan digauli secara mutlak. Karena air mani seorang pezina tidak dihormati dan hukumnya tidak diiikuti oleh nasabnya, ini adalah aib baginya. Akan tetapi Abu Hanifah membedakan antara hamil dan tidak hamil. Jika dia hamil dan digauli, berarti dia pasti telah mengangkat anak yang bukan anaknya, berbeda jika wanita tersebut tidak hamil. Imam Malik dan Ahmad menetapkan syarat bersihnya rahim dari kehamilan, inilah pendapat yang benar. Akan tetapi Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat berpendapat bahwa bebasnya Rahim dari kehamilan cukup dibuktikan dengan satu kali haid, sedangkan dalam riwayat lain dari Imam Ahmad dan inilah yang dijadikan pendapat mayoritas pengikutnya, seperti Qadhi Abu Ya’la dan para pengikutnya, bahwa hal tersebut terbukti dengan tiga kali haid. Yang benar adalah semua itu tidak wajib, yang wajib hanyalah kepastian bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.” (Majmu Al-Fatawa, 32/110)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Kitab Asyarhul Mumti, 13/382, “Bahkan, pendapat yang diriwayatkan dari Abu Bakar serta sejumlah shahabat radhiallahu anhum bahwa wanita yang dizina tidak ada iddahnya sama sekali serta tidak perlu kepastian bebasnya Rahim dari kehamilan. Apalagi jika dia memiliki suami. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Anak itu untuk suami yang sah.” Justeru hendaknya jika seseorang mengetahui bahwa isterinya telah berzina, nauzu billah, dan taubat hendaknya dia menjimaknya segera agar tidak timbul dalam hatinya keraguan, apakah wanita tersebut hamil karena zina atau tidak? Jika dia menjimaknya, maka jika hamil, sang anak akan dinisbatkan kepada suami, bukan kepada laki-laki yang menzinahinya.
Adapun jika wanita yang berzina tersebut tidak memiliki suami, maka (sebelum menikah) dia harus memastikan rahimnya bebas dari kehamilan dengan sekali haid, berdasarkan pendapat yang lebih kuat.
Karena masalah ini merupakan perbedaan pendapat yang diakui di antara para ulama, dan membatalkan pernikahan serta pengakuan berzina pada saat itu dapat berakibat keburukan yang besar serta menyingkap apa yang telah Allah sembunyikan kepada anda dan mengundang terjadinya fitnah, maka kami berpendapat, wallahu a’lam, bahwa anda tidak wajib memberitahu suami anda akan apa yang sesungguhnya telah terjadi sampai akad diperbarui. Adapun dalam pendapat lain dari sebagian ulama bahwa tidak disyaratkannya kepastiian bebasnya Rahim dari kehamilan, hal itu memberikan keluasan. Hal ini berlaku sebagaimana kami katakan, jika zina terjadi sebelum akad dan sebelum kepastian bebasnya Rahim dari kehamilan.
Karnena Allah Ta’ala telah menutup aib anda, maka hendaklah anda menutup aib anda sendiri. Imam Bukhari (6069) dan Muslim (2990) meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ : يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Seluruh umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan. Yang dimaksud adalah orang yang melakukan sebuah perbuatan (dosa) di malam hari dan telah Allah sembunyikan (dosanya) namun dipagi harinya dia berkata, ‘Wahai fulan, aku tadi malam melakukan ini dan itu.’ Dia sudah ditutupi aibnya semalaman, namun dipagi harinya apa yang telah Allah sembunyikan justeru dia bongkar.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا
يَسْتُرُ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Tidaklah Allah menutup aib hambanya di dunia, kecuali Dia akan menutup aibnya di hari kiamat.”
Baihaqi (18056) meriwayatkan dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah dia merajam Al-Aslamy, dia berkata,
اجتنبوا هذه القاذورة التى نهى الله عنها فمن أَلَمّ فليستتر بستر الله عز وجل (وصححه الألباني في "الصحيحة" ، رقم 663)
“Jauhi kotoran ini yang telah Allah larang darinya. Siapa yang mengalaminya, hendaklah dia menyembunyikan aibnya sebagaimana Allah telah sembunyikan aibnya.” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahihah, 663)
Keempat:
Anak anda sekarang adalah anak anda yang sah dari suami anda, tidak ada keraguan padanya, insya Allah.
Adapun janin yang telah anda gugurkan, apabila digugurkan sebelum tertiupnya ruh, sebelum empat bulan, maka tidak ada kafarat dan diyatnya, akan tetapi anda harus bertaubat dan menyesal serta beristighfar dari perbuatan tersebut. Namun apabila dilakukan setelah empat bulan, maka anda harus membayar kafarat dan diyat.
Diyatnya adalah membebaskan budak laki-laki atau perempuan, jika tidak didapatkan, maka dikeluarkan sesuai harganya, yaitu 5 onta.
Adapun kafaratnya adalah memerdekakan budak, jika tidak didapat, diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.
Lihat jawaban soal no 106448.
Wallahu ta’ala a’lam.