Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Jika sang wanita tersebut telah masuk Islam dan suaminya tetap dalam kekufurannya, maka dia menjadi haram atas suaminya dan mereka resmi bukan suami isteri setelah selesai masa iddah semenjak dia masuk Islam. Jika sang suami masuk Islam sebelum selesai masa iddahnya, maka pernikahan mereka tetap berlaku. Jika ternyata dia tidak masuk Islam hingga masa iddahnya habis, maka pernikahan mereka batal dengan sesndirinya sejak dia masuk Islam.
Ibnu Qudamah rahimahullahh berkata dalam kitab Al-Mughni (7/117)” Jika masuk Islamnya salah satu dari keduanya setelah mereka berhubungan suami isteri, maka dalam hal ini pendapat Imam Ahmad ada dua; Salah satunya, ditunggu hingga selesai masa iddah. Jika pasangannya masuk Islam sebelum habis masa iddahnya, maka pernikahan mereka tetap berlaku, jika pasangannya tidak masuk Islam hingga berakhir masa Iddahnya, maka pernikahan mereka batal sejak agama mereka berbeda. Maka tidak perlu lagi mengawali masa Iddah. Ini merupakan pendapat Az-Zuhri, Laits, Hasan bin Shaleh, Al-Auzai, Asy-Syafii, Ishaq. Juga berpendapat demikian adalah Mujahid, Abdullah bin Umar dan Muhammad bin Hasan.”
Masa iddahnya adalah tiga kali haidh bagi yang masih haidh dan tiga bulan bagi yang tidak haidh.
Maka dengan demikian, jika anda menikahinya setelah selesai masa iddahnya, maka pernikahan anda dengannya sah, tidak bermasalah jika dia berdasarkan catatan undang-undang masih merupakan isteri dari suami (yang pertama dan kafir). Adapun jika pernikahan anda dengannya terjadi sebelum masa iddahnya selesai, maka pernikahan anda tidak sah. Sang isteri harus menyempurnakan iddahnya. Kemudian setelah itu anda baru menikahinya.
Kedua:
Walaupun pernikahan anda berdua dianggap sah, jika terjadi setelah selesai masa iddah, akan tetapi sang isteri harus menyelesaikan urusan pernikahan sebelumnya sesuai UU, karena beberapa perkara;
1. Tetapnya status menikah akan menyebabkan beberapa hukum tetap berlaku, seperti warisannya dari orang itu, atau warisan orang itu darinya, sedangkan mereka berdua sudah tidak saling mewarisi berdasarkan syariat.
2.Jika UU tidak memberikan santunan dan jaminan sosial kepada wanita yang telah dicerai, maka tidak boleh mencari modus untuk mendapatkannya.
Jika peraturan memutuskan bahwa dia harus membayar harta atau pajak atau atas anaknya, maka dia hanya boleh mengambil sesuai yang telah dia bayarkan saja. Kemudian setelah itu dia tidak boleh mengambil selebihnya.
3.Anda harus mencatatkan secara resmi pernikahan anda kepadanya untuk menjaga hak anda, hak isteri anda dan hak anak-anak anda. Hal tersebut tidak mungkin selain dengan pernyataan talak dari suami pertamanya.
Adapun kekhawatiran dia anda akan menceraikannya, kami tidak mengira bahwa dia akan kembali lagi ke suami pertamanya, karena suami pertama kafir yang tidak halal baginya dan seandainya suami pertama masuk Islam, mereka sudah tidak boleh lagi rujuk kecuali dengan akad baru. Yang tampak adalah dia ingin tetap mendapatkan fasilitas Negara berupa materi untuknya dan untuk anak-anaknnya. Maka dikatakan kepadanya ketika itu, “Dengan tetap menjaga akad nikah dari suami pertama anda melakukan beberapa kerusakan dan mengambil harta yang bukan milik anda. Jika hal tersebut menyebabkan akad pernikahan anda tidak dapat dicatat resmi, maka hal itu dianggap sebagai mengabaikan perkara wajib.
Ketiga: Anak yang lahir dari pernikahan kalian berdua dinisbatkan kepada anda. Karena jika pernikahannya setelah selesai masa idah, maka pernikahannya sah sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Namun jika pernikahannya terjai sebelum habis masa iddahnya, maka pernikahannya batal. Akan tetapi berdasarkan keyakinan bahwa pernikahan kalian adalah sah, maka nasab anak tersebut disandarkan kepada anda.
Anda harus mengatasi masalah ini dengan lembut dan bijak.
Wallahu a’lam.