Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah secara syariat seorang suami dibolehkan memasukkan dan membawa serta lelaki asing ke dalam rumahnya dan tinggal seatap di rumahnya tanpa persetujuan dan keridaan istrinya? Apakah persetujuan istri dalam kondisi semacam ini sangat prinsip? Dan bagaimanakah hukum Syariat Islam terkait perkara semacam ini ?
Alhamdulillah.
Kewajiban suami adalah menyediakan untuk istrinya tempat tinggal khusus yang bisa menutupinya dan menghindarkannya dari pandangan orang lain, melindunginya dari dinginnya cuaca dan teriknya matahari, dan di dalam rumah tersebut memungkinkan baginya untuk menjaga privasinya tanpa ada seorang pun yang menyusahkan aktifitasnya. Tidak sepatutnya suami memaksa istrinya untuk tinggal bersama orang lain, karena hal itu bisa menyulitkannya. Aturan yang mengharuskannya menyediakan tempat tinggal khusus bagi istri ini diatur oleh syariat.
Al Kasani Rahimahullah berkata, “Jika suami hendak mengajak istrinya tinggal bersama istrinya yang lain atau kalangan keluarga mertua istri seperti ibunda suami, bibinya atau putri dari istrinya yang lain serta kerabat suami yang lain sedang istri enggan dalam hal tersebut, maka suami harus menempatkannya dalam rumah pribadi. Karena bisa jadi mereka semua akan menyulitkannya ketika tinggal bersama dalam satu atap. Keengganannya ini merupakan bukti ketidaknyamanannya tinggal bersama mereka. Karena sesungguhnya suami sewaktu-waktu memiliki hajat untuk menggaulinya dan berhubungan badan dengannya dan hal ini membutuhkan waktu yang sangat pribadi. Hal ini tidak mungkin terwujud dengan hadirnya orang ketiga di dalam rumah, bahkan meskipun di dalam rumah sepi tidak ada orang sama sekali, suami istri harus menutup rumah dan pintu kamarnya, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya istri tidak semestinya menuntut rumah yang lain.” (Bada’i Ash Shona’i, 4/23).
Dan telah disebutkan sebelumnya penjelasan tentang hak istri untuk tinggal di rumah secara pribadi dan pendapat para ulama tentang hal tersebut dan bisa dilihat dalam jawaban dua fatwa no. 142998 dan 167997.
Adapun khusus soal dari penanya maka jawaban akan hal tersebut berbeda dengan perbedaan kondisi menetapnya lelaki asing ini di dalam rumah :
Jika tinggalnya dalam jangka waktu tertentu karena keperluan bertamu misalnya, maka kasus semacam ini merupakan hak suami, dan istri tidak boleh keberatan apalagi menolak yang demikian, selama tersedia ruang atau bilik yang aman di dalam rumah untuk istri sekiranya privasinya tidak terganggu dan terhindar dari pandangan tamu. Maka, seorang istri rumahnya boleh ditinggali orang asing dengan dua syarat:
Pertama : Hendaknya istri didampingi oleh mahramnya atau suami
Kedua : Hendaknya kamar yang tersedia berjumlah banyak dan ruangan rumah yang luas sekiranya orang asing tidak dapat melihat istri.
Di dalam kitab ‘Al Gharar Al Bahiyyah Fi Syarhil Bahjah Al Wardiyyah’ karangan Syaikh Zakaria Al Anshari, 4/364, “Dari sini dapat diketahui kejelasan dua perkara penting yaitu perkara; dibolehkan di rumah istri ada lelaki asing apabila ada mahram. Hal ini sudah dimaklumi. Yang kedua adalah tinggal dan menginapnya lelaki asing dalam satu rumah adalah dilarang kecuali apabila di rumah tersebut tersedia ruang kamar yang cukup banyak atau ruangan rumah yang cukup luas sekiranya antara istri dan tamu tidak saling melihat satu sama lain.”
Dan dalil yang menunjukkan akan dibolehkannya suami menerima tamu di rumahnya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2084.
Dari Jabir bin Abdillah Radliyallahu Anhuma sesungguhnya Rasulullah Shallallhu Alaihi Wassallam bersabda kepadanya :
فِرَاشٌ لِلرَّجُلِ ، وَفِرَاشٌ لِامْرَأَتِهِ ، وَالثَّالِثُ لِلضَّيْفِ ، وَالرَّابِعُ لِلشَّيْطَانِ
“Satu dipan untuk suami, satu dipan untuk istri, dipan yang ketiga untuk tamu dan dipan keempat untuk syetan.”
Hadits ini mengisyaratkan bahwa tidak menjadi masalah suami menerima tamu dan menginap di rumahnya jika dia telah menyiapkan tempat tidur khusus baginya.
Disebutkan dalam kitab Faidlul Qadir Syarhul Jami’is Shaghir, 4/424, “Adapun dipan untuk tamu maka hendaknya tuan rumah menyiapkannya, karena hal itu termasuk memuliakannya dan memenuhi haknya. Sesungguhnya tidak disyaratkan baginya menginap dan tidur bersamanya dan keluarganya di atas satu dipan. Adapun maksud dari hadits di atas adalah apabila seseorang ingin menambah dipannya maka hendaknya dia mencukupkan tiga dipan saja sebab sebenarnya dia tidak membutuhkan dipan keempat karena hal itu termasuk berlebih-lebihan ”.
Telah kami telah jelaskan dalam fatwa no. 117957, bahwa seorang istri tidak berhak menolak tamu suami yang ingin bertamu ke rumahnya selama hal itu tidak mengganggu dan menyulitkannya.
Adapun apabila tinggalnya orang asing di rumahnya ini sifatnya selamanya atau dalam jangka waktu yang lama maka dalam kondisi semacam ini istri berhak menolaknya. Dan suami tidak diperkenankan memaksanya agar istrinya mengizinkannya, karena dia akan merasa terganggu dengan keberadaan orang asing di rumahnya, karena suami telah mengabaikan hak istri dengan tidak menyediakan baginya tempat tinggal yang khusus.
Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan perkara ini yaitu menghindari berduaan antara tamu atau orang asing yang menginap di rumah dengan istri, maka hendaknya tetap menjaga pandangan dan adab-adab Syar’i yang lainnya, dan terkait hukum berduaan atau bersepi-sepi dengan orang asing bisa dirujuk dalam fatwa no. 940419.
Adapun pelayanan istri terhadap tamu suaminya maka hal ini terdapat perbedaan pendapat antar ulama, maka Malikiyah dan yang sepaham dengannya berpendapat bahwa tidak wajib bagi seorang istri melayani tamu suaminya meskipun sampai kondisi dia wajib berkhidmah kepada suaminya.
Diriwayatkan dalam kitab As Syarhul Kabir Lis Syaikh Ad Dardir Wa Hasyiyatud Dasuqi, 2/511, “Seorang istri apabila tidak mampu memberikan pelayanan untuk tamu, atau dia mampu untuk melayani akan tetapi suami seorang yang fakir dan serba kekurangan maka hendaknya dia tetap memberikan pelayanan dengan cara sembunyi-sembunyi walaupun sebenarnya dia mampu membuat suguhan, menyapu, memasak untuk suaminya bukan ntuk tamunya.” dinukil dengan sedikit perubahan.
Sebagian ulama berpendapat wajibnya seorang istri menjamu dan melayani tamu secara baik, Al ‘Aini Rahimahullah menyebutkan yang di dalamnya terdapat ungkapan, “Sesungguhnya anak dan anggota keluarga yang lain diwajibkan bagi mereka mamberikan pelayanan kepada tamu selayaknya tuan rumah.” (Dikutip dari kitab, Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, 5/110).
Dan pendapat yang dijadikan pegangan oleh ulama adalah bahwa seorang istri diwajibkan melayani tamu suaminya secara baik.
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah pernah ditanya tentang seorang istri yang diminta oleh suaminya di beberapa malam di malam bulan Ramadhan agar membuatkan makanan untuk tamu suaminya. Ketika dia melaksanakan perintah itu dia merasa sangat tertekan dan dia tidak mampu melayani pada malam-malam itu. Maka apakah wajib atas istri mentaati suaminya dalam hal itu meskipun kondisi tersebut akan berlangsung lama di malam-malam bulan Ramadhan?
Beliau menjawab, “Diwajibkan atas istri agar hubungannya dengan suami baik, demikian pula suami juga harus mempergauli istrinya secara baik, Allah Ta’ala berfirman :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
سورة النساء: 19
“Dan pergauilah mereka para istri secara baik.” (QS. An Nisa: 19)
Sebenarnya tidak baik bagi suami memaksa istrinya untuk melayaninya di waktu seperti ini (malam bulan Ramadhan) dan dengan kondisi istrinya yang seperti itu. Akan tetapi apabila kondisi istri telah kembali optimal maka sudah selayaknya istri mentaati suaminya..Jika memang nantinya dia akan merasa kecapekan karena telah membantu suami dalam menjamu tamunya maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencatatkan pahala baginya apa yang telah dia niatkan dan apa yang telah dia lakukan. Karena sesungguhnya ketika dia meninggalkan beribadah di malam Ramadhan, adalah karena dia mempunyai uzur yaitu demi malakukan ketaatan yang wajib dia berikan kepada suaminya ”.
Wallahu A’lam.