Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
..Para ulama Fiqih berpendapat tentang apabila perselisihan antara suami-istri semakin sengit, dan perkara keduanya semakin rumit sedang tidak diketahui dari mana timbulnya keburukan yang terjadi pada keduanya, dan dikhawatirkan perselisihan antar keduanya sampai pada batas melakukan hal-hal yang diharamkan Allah berupa kemaksiatan dan kezaliman, maka menjadikan penengah antara keduanya merupakan suatu yang disyari’atkan sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (سورة النساء: 35)
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An Nisaa: 35)
Dari kitab “Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 40/308.
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata :
“Para Ahli Fiqih menyebutkan, “Apabila terjadi pertikaian antara suami dan istri, maka hendaklah menjadikan seorang hakim yang terpercaya yang melihat perkara keduanya, dan mencegah yang dzalim di antara keduanya dari tindak kezaliman. Apabila perkara keduanya semakin berlarut-larut dan pertikaian antara keduanya seakan tiada henti, maka sang hakim meminta orang yang terpercaya perwakilan dari pihak keluarga istri, dan orang yang terpercaya perwakilan dari pihak keluarga putra, agar keduanya mengadakan rapat dan melihat perkara suami-istri tersebut lalu keduanya melakukan hal yang maslahat yang dipandang perlu untuk diambil sebuah keputusan. Apakah akan terjadi perceraian ataukah tetep langgeng dalam pernikahan, meskipun syariat agama lebih mengutamakan untuk tetap mempertahankan pernikahan. Karena dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman :
إِنْ يُرِيدا إِصْلاحاً يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُما
“Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu ”. Dari “ Tafsir Ibnu Katsir ” ( 2 /259 ).
Dan kerabat merupakan orang yang paling utama dalam hal perbaikan masalah suami-istri tersebut, karena sebagaimana diketahui biasanya mereka lebih mementingkan mempertahankan keutuhan rumah tangga dan berusaha dengan berbagai cara dan upaya untuk mempertahankannya, di sisi lain mereka sangat membenci perceraian dari keduanya.
Ash Shawi Al Maliki menyebutkan dalam Hasyiyahnya, 2/513, “Penjelasan tentang ungkapan: "حَكَمَيْنِ مِنْ أَهْلِهِمَا"dua hakim dari keluarga keduanya, “Karena sesungguhnya kerabat adalah orang yang paling mengetahui relung-relung kehidupan keduanya, dan orang yang paling layak untuk menjadi penengah. Di sisi lain kedua suami-istri lebih nyaman dengan mereka berdua untuk menyampaikan apa yang dipendam oleh pasangan suami-istri baik itu berupa kecintaan maupun kebencian, dan apakah itu keinginan untuk bercerai ataukah tetap mempertahankan pernikahan.”
Dan masuk dalam kategori dua hakim tersebut adalah saudara laki-laki dari istri, demikian pula saudara laki-laki dari suami, yang memang keduanya lebih diutamakan dari yang lainnya, jika memang keduanya orang yang adil, berakal dan shalih. Maka keduanya masuk dalam keumuman ayat "أهله" ، dan "أهلها"tanpa ada keraguan. Bisa saja ditambahkan dengan orang lain selain keduanya karena biasanya kedua orang tersebut lebih menjaga dan mengutamakan ishlah antara kedua suami-istri daripada orang lain yang tidak ada hubungan kerabat. Karena mereka berdua mempunyai kekhususan hubungan dan kekerabatan dengan suami-istri.
Ibnu Hazm Rahimahullah mengungkapkan dalam penafsiran kata “Al Ahl” pada ayat diatas dengan berkata, “Yang dimaksud dengan keluarga adalah mereka para kerabat. Dan termasuk di antara mereka adalah, Ayah, ibu. Dan yang termasuk Al Ahl juga adalah mereka para wali. “ (Dikutip dari kitab Al Muhalla, 9/246).
Sebagai tambahan lihat juga jawaban soal no. 22216.
Wallahu A’lam.