Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Ucapan Abdullah bin Umar radhiallahu anhu tentang orang-orang khawarij sebagaimana disebutkan oleh Bukhari tanpa sanad adalah sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ ، وَقَالَ : إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الكُفَّارِ ، فَجَعَلُوهَا عَلَى المُؤْمِنِينَ
“Ibnu Umar menilai mereka sebagai seburuk-buruk makhluk Allah. Dia berkata, ‘Mereka mencari-cari ayat-ayat yang turun terhadap orang-orang kafir lalu mereka timpakan kepada orang-orang beriman.”
(Fathul Bari, 12/282)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
Ath-Thabary menyambungnya sanadnya dalam musnad Ali min Tahzib Al-Atsar dari jalur Bakir bin Abdillah bin Al-Asyaj, bahwa dia bertanya kepada Nafi, tentang bagaimana pandangan Ibnu Umar terhadap kelompok Haruriyah (nama lain untuk kelompok Khawarij)? Dia berkata, “Beliau berpendapat bahwa mereka adalah seburuk-buruk makhluk Allah, mereka mencari-mencari ayat tentang orang-orang kafir lalu mereka timpakan kepada orang-orang beriman.” Saya katakan, ‘Sanadnya shahih’” (Fathul Bari, 12/286)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara berharga; Kitabullah, beliau mendorong berpegang teguh terhadap Kitabullah. Lalu beliau bersabda, ‘Dan keluargaku, ahli baitku. Aku ingatkan kalian terhadap ahli baitku. Diucapkan sebanyak tiga kali.”
Maka beliau berwasiat kepada kaum muslimin untuk memperhatikan mereka. Beliau tidak menjadikan mereka sebagai imam yang harus menjadi rujukan kaum muslimin. Maka kaum khawarij mengambil Kitabullah, sedangkan kaum syiah mengambil Ahlul Bait, tapi keduanya tidak komitmen terhadap apa yang mereka ambil.
Karena kaum khawarij menyelisihi sunah yang telah diperintahkan Al-Quran untuk diikuti. Mereka mengkafirkan orang-orang beriman yang Allah perintahkan untuk disayangi. Karena itu, Saad bin Abi Waqash menafsirkan ayat berikut ditujukan untuk mereka;
وما يضل به إلا الفاسقين * الذين ينقضون عهد الله من بعد ميثاقه ويقطعون ما أمر الله به أن يوصل ويفسدون في الأرض (سورة البقرة: 26-27)
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.” QS. Al-Baqarah: 26-27.
Mereka mencari-cari ayat yang samar untuk mereka tafsirkan tidak sebagaimana mestinya dan tanpa memahami maknanya serta tidak berdasarkan kemapanan ilmu juga tidak mengikuti sunah dan merujuk kepada jamaah kaum muslimin yang memahami Al-Quran. (Majmu Fatawa, 7/481-482)
Kedua:
Sesungguhnya kaum khawarij memiliki ciri jiwa yang kuat, berani dan militan sehingga orang yang melihatnya menjadi tertarik dan terpesona, sehingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ ، وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِ ) رواه البخاري، رقم 3610 ، ومسلم، رقم 1064 )
“Seseorang akan menghina shalatnya dibanding shalat mereka, menghina puasanya dibanding puasa mereka.” (HR. Bukhari, no. 3610 dan Muslim, no. 1064)
Hanya saja, kekuatan jiwa mereka digunakan untuk berbuat zalim dan aniaya terhadap darah kaum muslimin, kehormatan dan harta mereka berdasarkan kaidah mereka yang batil berupa mengkafirkan kaum muslimin sekedar mereka berbuat dosa. Mereka menghalalkan apa yang terdapat pada kaum mukminin apa yang tidak halal dilakukan terhadap orang kafir. Inilah ciri-ciri khawarij di semua tempat dan zaman .
Ibnu Katsir rahimahullah ta’ala berkata, “Mereka (kaum khawarij) menuju negeri Irak dan Khurasan. Lalu mereka berpecah belah secara fisik, agama, mazhab dan tindakan mereka yang beraneka ragam dan tersebar luas tidak terhitung, karena merupakan cabang dari kebodohan yang bergabung dengan tingkat percaya diri yang tinggi dan keyakinan yang rusak.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 11/668-667)
Ketiga:
Perkataan Ibnu Umar ini dan hadits-hadits yang mengecam kaum khawarij tidak dipahami oleh seorang pun ulama bahwa tidak boleh mengkafirkan orang yang layak dikafirkan dan tidak setiap orang yang mengkafirkan lalu dia pantas disebut kaum khawarij.
Takfir (mengkafirkan) merupakan salah satu hukum Allah Taala. Al-Quran dan Sunah telah menghukumi sebagian ucapan dan perbuatan bahwa itu kufur dan syirik. Mengkafirkan siapa yang berhak dikafirkan merupakan jalan kaum muslimin. Perhatikanlah di kitab-kitab fiqih dalam semua mazhab, disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang murtad adalah dibunuh, lalu disebutkan dalam bab ‘Orang-orang murtad’ tentang sebagian dari ucapan dan perbuatan yang apabila dilakukan seorang muslim maka dia kafir dan keluar dari agama.
Akan tetapi, perbedaan antara ahli sunah dan khwarij dalam masalah ini terletak dalam beberapa perkara penting;
1-Kaum khawarij mengkafirkan muslim semata mereka melakukan dosa, atau dosa yang tidak menyebabkan kekufuran. Bahkan terhadapa sesuatu yang asalnya bukanlah dosa. Adapun ahlussunnah tidaklah mengkafirkan seseorang semata karena dia berbuat dosa. Bahkan aqidah mereka bahwa orang yang berbuat dosa besar tidaklah kafir, hanya saja imannya berkurang sesuai derajat kemaksiatannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Di antara pokok-pokok Ahlusunah adalah bahwa agama dan iman merupakan ucapan dan amal; ucapan hati dan ucapan lisan. Amal hati, lisan dan anggota badan. Dan bahwa iman bertambah dengan taat dan berkurang karena maksiat.
Meskipun demikian, mereka tidak mengkafirkan ahli kiblat hanya karena semata bermaksiat dan melakukan dosa besar, sebagaimana yang dilakukan orang-orang khawarij. Bahkan ukhuwa iman tetap berlaku terhadap ahli maksiat sebagaimana firman Allah Taala dalam ayat qishash
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ (سورة البقرة: 178)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik.” QS: Al-Baqarah: 178.
Dia juga berfirman,
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ، إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (سورة الحجرات: 9-10)
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” QS. Al-Hujurat: 9-10.
(Majmu Fatawa, 3/151)
2. Ahlussunah tidak menghukumi perbuatan atau perkataan bahwa dia kufur kecuali dengan dalil yang jelas dan terang dari Kitab dan Sunah.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah taala berkata, “Sebelum menghukumi kafir, wajib melihat dua perkara;
Pertama, Petunjuk Kitab dan Sunah bahwa suatu perbuatan dianggap menyebabkan kafir, agar jangan sampai ada dusta atas nama Allah.
Kedua, hukum tersebut dapat berlaku pada orang tertentu, dalam arti bahwa semua syarat mengkafirkannya terpenuhi dan tidak adalah halangan-halangan tertentu.’ (Majmu Fatawa, Syekh Ibnu Utsaimin, 2/134)
1.Ahlussunah membedakan antara hukum terhadap perbuatan kufur dan ucapan kufur dengan pelaku dan pengucapnya. Boleh jadi seseorang melakukan amal kufur, akan tetapi dia tidak kafir, karena adanya penghalang yang mencegahnya dari kekufuran. Karena seorang muslim yang mengucapkan atau melakukan suatu perbuatan yang oleh syariat dapat dihukumi kufur; sebab boleh jadi dia memiliki uzur karena ketidaktahuannya, atau terpaksa atau tidak sengaja atau memiliki penafsiran lain. Maka kekufuran tidak dapat disematkan kepada seseorang secara definitive kecuali jika syarat-syaratnya terpenuhi dan tidak ada faktor yang menghalanginya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Ucapan yang didalamnya mengandung kekufuran berdasarkan Kitab dan Sunah serta ijmak, maka dikatakan dia kufur sebagaimana petunjuk syariat tentang hal tersebut. Karena iman merupakan hukum yang diterima dari Allah dan RasulNya, bukan keputusan yang dibuat berdasarkan perkiraan dan hawa nafsu mereka. Hal itu tidak harus kita mengkafirkan setiap orang yang mengucapkan hal itu, bahwa dia kafir, sebelum terpenuhi syarat-syarat untuk mengkafirkannya dan tidak ada faktor-faktor yang mencegahnya. Seperti orang yang mengatakan, bahwa khamar dan riba adalah halal karena dia baru masuk Islam atau karena dia tumbuh di dusun jauh, atau dia mendengar ucapan yang dia ingkar dan dia tidak yakin bahwa hal itu berasal dari Al-Quran juga bukan dari salah satu hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana sebagian salaf mengingkari beberapa perkara sebelum dia yakin bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengucapkannya, juga sebagaimana shahabat meragukan beberapa perkara, seperti melihat Allah atau selainnya, sampai akhirnya mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Atau seperti orang yang berkata, ‘Jika aku mati, seretlah aku dan buanglah aku ke laut, agar aku selamat dari Allah, dan ucapan semacamnya. Sesungguhnya mereka tidak kufur sebelum hujjah terhadap ajaran ini disampaikan kepada mereka, sebagaimana firman Allah Taala,
لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. QS: An-Nisaa’: 165
Allah telah memaafkan kesalahan dan lupa bagi umat ini.” (Majmu Fatawa, 35/165-166)
Sebagai tambahan, perhatikan fatwa no. 85102 seputar ketentuan takfir.
Keempat:
Kebiasaan ini telah dikenal para ulama dari para sahabat dan generasi sesudahnya bahwa mereka mengambil dalil dari nash-nash dan atsar yang yang asalnya diberlakukan kepada kaum musyrikin, terhadap mereka yang berbuat seperti perbuatan mereka di kalangan kaum muslimin.
Di antara dalil yang paling tampak adalah; Hadits Abu Waqid Al-Laitsi, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ketika berangkat ke Hunain, beliau melewati sebuah pohon miliki kaum musyrikin yang disebut sebagai pohon Dzatu Anwath (pohon berduri), di pohon tersebut mereka (kaum musyrikin) menggantungkan senjata-senjata mereka (untuk mendapatkan berkah). Maka mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, jadikan untuk kami dzatu anwath, sebagaimana mereka punya dzatu anwath.” Maka berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
سُبْحَانَ اللهِ ؛ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى : اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ ؛ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ (رواه أحمد ، رقم 21900 ، والترمذي، رقم 2180 ، وقال : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ، وصححه الألباني )
“Maha suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaumnnya Musa, “Jadikan untuk kami tuhan sebagaimana mereka memiliki tuhan” Demi yang jiwaku ada di TanganNya, kalian akan mengikuti ajaran orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, no. 21900, Tirmizi, no. 2180, dia berkata, ‘Haditsnya hasan shahih, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)
Karena itu, terdapat peringatan untuk tidak menyerupai kaum musyrikin serta mengikuti jalan orang-orang sebelum kita dari kalangan Yahudi, Nashrani, Persia dan Romawi. Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah nyatakan bahwa masalah ini pasti an terjadi di kalangan umatnya.
Imam Ath-Thabary rahimahullah, “Yang dimaksud oleh Huzaifah dengan ucapannya, ‘Kalian akan megikuti ajaran orang-orang sebelum kalian satu demi satu’ yaitu bahwa umat Nabi Muhamad shallallahu alaihi wa sallam akan mengikuti ajaran kaum sebelumnya satu ‘quzah’ demi ‘satu quzah’. Quzah adalah bulu pada pangkal panah yang sudah diratakan sehingga ukurannya sama, bersandingan rata, tidak ada yang berbeda dan bengkok. Begitu pula dengan kalian wahai umat ini, kalian akan menyerupai mereka umat sebelum kalian terhadap perbuatan yang mereka lakukan dalam agama mereka serta dalam perkara-perkara baru yang mereka buat, mereka mengarang-ngarang bid’ah dan kesesatan, kalian menempuh jalan mereka dan mengamalkan ajaran-ajaran mereka.” (Tahzibul Atsar, 7/97, Maktabah Syamilah)
Dalam shahih Bukhari (no. 4425) dari Abu Bakrah, dia berkata, “Sungguh Allah telah memberi kepadaku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada saat peristiwa perang Jamal, setelah nyaris saja aku bergabung bersama para sahabat dan berperang bersama mereka. Tatkala sampai berita kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia mengangkat puteri Kisra sebagai pemimpin mereka, maka beliau bersabdan, “Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita.”
Perhatikanlah bagaimana Abu Bakrah radhiallahu anhu berdalil dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat dia tidak ikut para sahabat dalam perang onta (karena perang Jamal dipimpin oleh seorang wanita, yaitu Aisyah radhiallahu anha), padahal Nabi shallallahu alaihi alaihi wa sallam mengemukakan hal tersebut asalnya sebagai komentar atas sikap warga Persia dan mereka adalah kaum kafir.
Al-Marwazi berkata dalam kitab As-Sunah (65) dari Hamam bin Al-Harits, dia berkata, “Kami berada di sisi Huzaifah, lalu mereka menyebut (firman Allah Taala),
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ) [المائدة: 44]
“Siapa yang tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Maka ada seseorang di antara mereka yang berkata, ‘Ayat itu berlaku untuk Bani Israil.’ Lalu berkatalah Huzaifah, ‘Sebaik-baik saudara kalian adalah Bani Israil, jika bagi kalian manis, bagi mereka pahit. Sekali-kali tidak, demi yang jiwaku ada di tanganNya, ajaran kalian akan mengikuti ajaran mereka, satu demi satu!!”
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabary dalam tafsirnya (12027) dan Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak (3218)
Kesimpulannya: Bahwa siapa yang komitmen dengan ketentuan-ketentuan syariat, maka dia jauh dari pemikiran dan mazhab khawarij sejauh jalan yang ditempuh sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dibanding jalan ahli bid’ah dan kesesatan.