Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Jika orang yang musafir tersebut termsuk orang alim atau pencari ilmu yang kuat argumentasinya dan dalam keadaan darurat harus bepergian ke sana untuk bekerja atau tujuan lainnya, dia juga termasuk orang yang berpegang teguh dengan kebenaran, gigih untuk menyebarkan sunnah dan memerangi ahli bid’ah, maka tidak apa-apa bepergian ke sana, dan hendaknya bersabar dengan semua yang akan menimpanya di jalan Alloh. Di antara wasiat Luqman Hakim kepada anaknya yang diabadikan dan dipuji oleh Al Qur’an:
( يَا بُنَيَّ أَقِمْ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنْ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ ) لقمان/17
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman: 17)
Adapun jika orang yang musafir tersebut termasuk orang awam dari kalangan umat Islam, maka tidak boleh pergi ke negara tersebut; karena dia akan mendengar kekufuran dengan telinganya secara langsung dan tidak bisa menolak dan mengingkarinya, bahkan terkadang dia merasa terpaksa untuk menampakkan persetujuannya kepada mereka –atau minimal dia akan menyembunyikan aqidah yang yakini benar dan yang lainnya adalah batil- sehingga dia merasa aman dari kejahatan mereka. Alloh –Ta’ala- telah berfirman:
( وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ ) النساء/140.
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka”. (QS. An Nisa’: 140)
Asy Syaukani –rahimahullah- berkata ketika menafsiri ayat di atas:
“Barang siapa yang mengetahui syari’at yang suci ini dengan sebenar-benarnya, dia akan mengetahui bahwa duduk bersama ahli bid’ah yang menyesatkan termasuk bentuk kerusakan yang berlipat ganda dari pada duduk bersama dengan orang yang melakukan maksiat kepada Alloh untuk melakukan sesuatu yang diharamkan, apalagi bagi mereka yang belum kuat ilmu Al Qur’an dan sunnahnya, karena bisa jadi dia akan benar-benar membantu kedustaan dan perkataan mereka yang tidak masuk akal, maka hatinya akan menjadi cacat dan sulit untuk diperbaiki dan menolaknya, maka seumur hidup dia akan melakukannya, dia akan menghadap kepada Alloh dengan meyakini bahwa hal itu termasuk yang haq, akan tetapi sebenarnya –demi Alloh- adalah termasuk perkara yang sangat batil dan mungkar”. (Fathul Qadir: 2/146)
Seorang muslim yang bermukim di negara tersebut akan mendengar syubhat, kebatilan dan kedustaan mereka, apalagi jika dia tidak mempunyai ilmu yang kuat untuk menjawab syubhat-syubhat tersebut, maka hatinya pasti akan terpengaruh yang bisa jadi akan menerimanya atau akan mulai ragu dan bingung, atau dia akan mengalami kegundahan dan penyakit hati.
Oleh karena itu banyak ulama salaf dan para imam memperingatkan agar tidak mendengarkan dari para tokoh kebatilan, untuk menjaga keselamatan hati.
Imam Abu Utsman ash Shobuni meninggal tahun: 449 H. berkata di dalam Aqidah Salaf wa Ashhabu Hadits (hal. 298-299):
“Dan mereka (para ulama) membenci ahli bid’ah yang mendatangkan hal baru di dalam agama, mereka pun tidak mencintainya, tidak menemani mereka, tidak mendengarkan ucapan mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak mendebat mereka dalam masalah agama, tidak berdiskusi dengan mereka, mereka berpendapat untuk menjaga telinga mereka agar tidak mendengar kebatilan mereka; karena jika masuk ke telinga maka akan masuk ke hati dan akan membahayakannya serta bisikan-bisikan tersebut akan menyeretnya kepada kerusakan”.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- meninggal tahun: 620 H. berkata:
“Ulama salaf melarang untuk duduk bersama para ahli bid’ah, melihat buku-buku mereka dan mendengarkan ucapan mereka”. (Al Aadaab asy Syar’aiyyah / Ibnu Muflih: 1/251)
Adz Dzahabi (meninggal tahun: 748 H) –rahimahullah- memberikan catatan tentang peringatan ulama salaf akan duduk dengan ahli bid’ah: “Kebanyakan ulama salaf berpendapat sesuai dengan peringatan tersebut dan menyatakan bahwa hati itu lemah sedangkan syubhat mudah menyambar”. (Siyar A’lam Nubala’: 7/261)
Atas dasar itulah para imam memfatwakan haram hukumnya bertempat tinggal di negara yang mengejek para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Imam Malik –rahimahullah- berkata: “Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk bertempat tinggal di negeri yang menghina (generasi) salaf)”.
Ibnul Arabi berkata: “Ini benar adanya, bahwa kemungkaran jika anda tidak mampu merubahnya maka beranjaklah darinya, Alloh –Ta’ala- berfirman:
( وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ) الأنعام/68(
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)”. (QS. Al An’am: 68)
(Tafsir Al Qurtubi: 5/350)
Al Buhuti berkata: “Dimakruhkan berbisnis dan bepergian ke negeri musuh dan negara kafir secara umum baik dalam keadaan aman maupun takut, termasuk juga ke negara-negara khowarij, pembangkang (berbuat makar), rafidhah dan pelaku bid’ah yang sesat dan lain sebagainya; karena berhijrah darinya –atau jika tetap di dalamnya- disunnahkan jika dia mampu untuk menampakkan agamanya, namun jika dia tidak mampu menampakkan agamanya maka haram hukumnya bepergian ke sana; karena dia menjerumuskan dirinya ke dalam maksiat”. (Kasyful Qana’: 3/131)
Wallahu A’lam.