Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu;
Otak; dia adalah pusat berpikir, ingatan dan perasaan.
Otak kecil: Tugasnya adalah menjaga keseimbagan tubuh.
Akar otak: Dia adalah pusat dasar untuk bernafas dan mengontrol jantung dan aliran darah.
Jika otak besar atau otak kecil yang merupakan bagian dari otak telah mati, maka masih mungkin bagi seseorang untuk hidup dengan kehidupan yang tidak normal, disebutkan sebagai kehidupan flora.
Adapun jika yang mati adalah pangkal otak, maka inilah yang disebut sebagai akhir kehidupan menurut medis. Karena, jika ada anggota atau fungsi utama lainnya, seperti jantung, organ pernafasan berhenti sementara, masih dapat dilakukan pertolongan dan sejumlah pasien dapat terselamatkan, selama pangkal otaknya masih hidup.
Adapun jika pangkal otaknya telah mati, maka tidak ada harapan untuk menyelamatkannya, berarti sang pasien telah tamat kehidupannya, walaupun di dalam mesin masih tersisa gerak atau fungsinya.
(Lihat Majma’ Al-Fiqhul Islamy, 2/2/hal. 440)
Berdasarkan hal tersebut, muncul beberapa masalah fiqih, di antaranya; Apakah seseorang ditetapkan telah mati apabila dia telah mati otaknya atau apakah juga harus mati jantungnya?
Bolehkan mencopot alat-alat bantu pernafasan kepada orang yang telah mati otaknya walaupun jantungnya masih bekerja?
Adapun mencabut alat bantu pernafasan dari orang yang secara klinik telah ditetapkan mati otakanya, maka mayoritas ulama fiqih masa kini berpendapat hal itu dibolehkan, karena tidak ada keharusan melanjutkan pemasangan alat tersebut jika tidak ada harapa lagi kesembuhannya. Hal ini telah diputuskan oleh berbagai lembaga fiqih.
Lihat jawaban soal no. 115104.
Kedua:
Adapun menghukumi kematiannya berdasarkan syariat, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang kematian pangkal otak, apakah hal ini dianggap sebagai akhir kehidupan seseorang? Ada dua pendapat;
Pendapat pertama; Menganggap matinya pangkal otak seseorang sebelum kematian jantungnya, dianggap sebagai kematian hakiki, tidak diharuskan jantung berhenti berdetak sehingga seseorang dihukumi telah mati.
Ini merupakan keputusan Lembaga Fikih Islam yang bernaung dibawah Organisasi Konferensi Islam pada pertemuannya yang dilaksanakan di Amman, tahun 1986.
(Lihat Majalah Majma Al-Fiqhul Islamy, 3/2/809)
Disebutkan dalam surat keputusannya, “Secara syar’i seseorang dianggap telah mati, dan ketika itu berlaku semua hukum terkait orang yang telah mati secara syar’i, jika telah jelas padanya dua tanda berikut ini;
1-Jika jantung dan pernafasan telah berhenti total dan tim medis telah menetapkan bahwa berhentinya ini tidak akan dapat kembali lagi.
2-Jika seluruh fungsi otaknya telah berhenti secara total. Dan para medis telah memutuskan bahwa hal itu tidak akan kembali lagi dan otaknya sudah lumpuh.
(Qororot wa Taushiyat Majma Al-Fiqhul Islamy, hal. 12)
Mereka berdalil tentang pendapat tersebut bahwa bayi yang dilahirkan, apabila dia tidak bersuara maka dia tidak dianggap hidup, walaupun dia beranfas, atau kencing atau bergerak, karena perbuatan yang terjadi tanpa disadari atau bukan sebagai respon dari fungsi otak maka dia tidak dianggap sebagai tanda kehidupan. Hal ini terjadi pada mereka yang mati fungsi otaknya, maka dianggap seperti bayi yang dilahirkan tak bersuara.
Pendapat ini dikritik; bahwa masalah bayi yang dilahirkan berbeda kasusnya. Karena bayi yang baru dilahirkan masih diragukan kehidupannya, berbeda dengan kita, karena asalnya sang pasien adalah hidup, maka dia tidak pindah dari asalnya tersebut kecuali dengan yakin.
Pendapat kedua: Matinya otak tanpa matinya jantung tidak dianggap kematian. Tapi jantung harus berhenti berdetak agar dapat diputuskan kematian seseorang.
Inilah yang ditetapkan oleh Al-Majma Al-Fiqhi yang berada di bawah naungan Rabithah Alam Islamy pada pertemuannya yang kesepuluh yang diadakan di Mekah 1408 H.
Dalam surat keputusannya disebutkan, “Pasien yang pada tubuhnya telah dipasang peralatan bantu, boleh dilepas jika seluruh fungsi otaknya telah lumpuh sama sekali yang telah diputuskan oleh oleh ti medis dari tiga dokter spesialis bahwa kelumpuhan ini tidak dapat pulih kembali, walaupun jantung dan pernafasan masih bekerja secara otomatis karena pengaruh alat bantu tadi.
Akan tetapi, orang tersebut tidak dapat diputuskan telah mati secara syar’i kecual jika pernafasan dan jantungnya telah berhenti secara total setelah alat-alat bantu tadi diangkat.
(Qororot Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islamy, Rabithah, hal. 49)
Mereka berdalil dengan kisah Ashabul Kahfi dan firman Allah Taala,
Pemahaman dalilnya adalah firman Allah Taala (بعثناهم) maknanya adalah: Kami bangunkan mereka. Ayat-ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa sekedar merasakan saja tidak menjadi dalil yang cukup untuk menghukumi seseorang telah mati, sebagaimana ditunjukkan pada ayat tersebut.
Karena ‘Perkara yakin tidak hilang dengan keraguan’ dan keyakinan dalam kondisi yang diperselisihkan ini adalah; bahwa sang pasien itu asalnya hidup dan bahwa jantungnya masih berdetak, sedangkan kematiannya masih meragukan, karena otaknya telah mati, maka kita wajib bersandar pada yang yakin.
Asalnya, seorang pasien adalah hidup, maka dia tetap dalam asalnya hingga telah dipastikan berakhir kehidupannya.
Hakekat kematian menurut para ahli fiqih adalah berpisahnya ruh dari badan. Dan hakekat berpisah adalah terlepasnya seluruh anggota badan dari ruh, dalam arti sudah tidak tersisa sama sekali sisa-sisa kehidupan dalam organ tubuhnya.
Syekh Bakar Abu Zaid berkata, “Sebagaimana tidak dibenarkan diumumkannya kematian seseorang sekedar berhentinya detak jantung, karena masih adanya keraguan, demikian pula tidak dibenarkan mengumumkan kematian dengan kematian otak dan berhentinya detak jantung sementara nafas masih tersisa melalui alat-alat bantu.”
Sebagaimana berhentinya jantung belum dikatakan kematian hakiki, akan tetapi merupakan tanda kematian, karena mungkin sekali jantung berhenti berdetak namun seseorang kembali hidup lagi melalui alat-alat bantu atau tanpa usaha dan sebab.
Begitu juga, dengan kematian otak, dia merupakan salah satu tanda kematian, tapi bukan kematian seluruhnya, dalil dalil ada beberapa kejadian yang diakui para ahli medis, orang yang telah mati otaknya kemudian hidup lagi. Maka perkara ini kembali seperti yang telah ditetapkan para ulama dan ahli fiqih, bahwa kematian hakiki adalah berpisahnya ruh dari jasad.
Ketika itu, ada ungkapan Al-Ghazali yang penting untuk mengetahui masalah ini, dia berkata, “Berpisahnya anggota badan dari ruh”, maksudnya, hingga tidak tersisa lagi bagian dari tubuh manusia yang masih tersambung dengan ruh. Wallahu ta’ala a’lam.” (Fiqhun-Nawazil, 1/232)
Yang lebih dekat dengan kebenaran, wallahu a’lam, “Tidak kita hukumi seseorang telah mati kecuali jika kita yakin tentang hal itu, yaitu dengan berhentinya jantung dan pernafasan secara total. Meskipun berhentinya otak pasien merupakan tanda yang kuat bagi kematiannya, akan tetapi menghukumi kematiannya berdampak perkara-perkara syar’i, seperti pembagian waris, menikahnya sang isteri jika dia berminat dan sebagainya. Karena itu, tidak boleh menghukumi kematiannya kecuali jika telah yakin.
Maka, tidak boleh dihukumi mati kecuali sekedar berhentinya nafas, begitu juga berhentinya detak jantung atau matinya pangkal otak sementara tanda-tanda zahir dan batin yang menunjukkan kehidupan masih ada.
Jika kematian adalah berpisahnya ruh dari tubuh, maka perpisahan ini tidak dapat ditangkap secara indra, karena ruh tidak dapat ditangkap oleh indra. Akan tetapi berpisahnya ruh dari tubuh memiliki tanda-tanda yang telah ditunjukkan para ahli fikih atas kematian yang tampak pada seseorang, di antaranya; Berhentinya kerja jantung, terputusnya nafas, lemasnya persendian dan urat dan tubuh tak bergerak dan tenang, warna tubuh berubah, mata terbelalak, mata tidak berkedip ketika disentuh, pelipis menjadi cekung, hidung menyamping, kedua bibir menganga, kulit muka kendor. Itulah tanda-tanda yang tidak tampak pada pasien yang mengalami gagal fungsi otak yang secara singkat dinamakan sebagai ‘kematian klinis’.
Pada tubuh mereka masih mengalir unsur kehidupan, karena sebagian organ masih bekerja seperti jantung, kedua ginjal, dan selainnya.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ahli fikih dan peneliti masa kini, di antaranya adalah Syekh Bakar Abu Zaid, Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah, Syekh Muhamad Mukhtar Syinqithi dalam makalahnya, ‘Ahkam Al-Jirahah Ath-Thibiyah’
Lihat: Fiqh An-Nawazil, Syekh Bakar Abu Zaid (1/232), Ahkam Al-Jirahah Ath-Thibiyah, Syekh Muhamad Mukhtar Asy-Syinqithy, hal. 325, Majalah Al-Majma Al-Fiqhul Al-Islamy, Munazamah Muktamar Islamy, edisi 3, Juz 2, hal. 545.
Berdasarkan hal tersebut:
1-Tidak dibenarkan menjadikan diagnose ini (kematian klinis) sebagai alasan untuk menetapkan kematian secara syar’i.
2-Sebagaiman tidak dibenarkan mengambil salah satu bagian tubuhnya yang masih hidup, bagi mereka yang berpendapat boleh mengambil organ tubuh orang yang telah mati, bukan yang masih hidup.
Sebagai tambahan, silakan lihat Al-Mausu’ah Ath-Tibbiyah Al-Fiqhiyah Wan-Nawazil Al-Mu’ashirah, 2/36-61, karangan DR. Muhamad bin Abduljawad Annatsyah.
Wallahu a’lam.